Total Pageviews

Tuesday, August 22, 2006

FOSIL KULTURAL DI TANGAN GUS TF SAKAI


Foto: Suku Terasing Sungai Sadap, Batam
Judul buku: Laba-Laba
Penulis: Gus tf Sakai
Penerbit: Gramedia Pustaka UtamaTahun
Terbit: Juni 2003
Memahami cerpen-cerpen Gus tf Sakai bagi kebayakan pembaca tidaklah mudah. Cerpen-cerpen Gus mengandung banyak dimensi: sosial, psikologis, kultural, dan ada juga unsur politik. Dari 14 cerpen yang dimuat dalam Laba-Laba (Gramedia Pustaka Utama, Juni, 2003), 8 cerpen berlatar budaya yang kuat, sisanya berlatar sosial-psikologis. Namun, apa pun latarnya, tampak ia berbicara mengenai kondisi sosial-budaya kita hari ini dan masa depan. Gaya cerpen Gus yang berdimensi banyak itu adalah sesuatu yang mengasyikkan, dan mungkin juga merupakan cerpen Indonesia paling mengagumkan. Ia berbeda dari pendahulu-pendahulunya, seperti A.A. Navis, Umar Kayam, maupun cerpenis yang mendekati generasinya sepeti Seno Gumira Ajidarma.
Secara umum cerpen-cerpen Gus tf Sakai menunjukkan wawasan bacaan yang luas, mengambil masalah-masalah kultural dan lokal, bukan sekadar deskriptif tetapi mengolahnya menjadi lebih berarti dan juga mempertanyakannya. Budaya lokal di tangan Gus tf Sakai menjadi hal yang universal dan milik semua orang. Budaya lokal digunakan Gus sebagai medium, suasana, dan sekaligus mengemukakannya menjadi suatu masalah. Latar budaya digunakan secara baik sehingga memberi kesan kepada pembaca bahwa kita ada "di sana". Fosil-fosil kebudayaan di tangan Gus tf Sakai menjadi realitas baru yang memberikan rangsangan pada pikiran.Aspek kebudayaan yang diangkat dalam cerpen-cerpen ini adalah yang partikular, sesuatu yang bagi orang lain mungkin tidak menarik, bahkan bagi antropolog dan sejarawan sekalipun, tetapi bagi Gus menjadi hidup kembali. Cerpen-cerpen yang delapan itu adalah Kupu-kupu, Nagari, Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat, Pot Na Enga Tako, Wabah, Lembah Tabbenai, Tuge, dan Lowe Lomo.
Kupu-kupu, Nagari, dan Wabah mengambil latar kebudayaan Minanangkabau. Kupu-kupu menggunakan medium kupu-kupu, televisi, penonton (seseorang), dan tambo (historiografi tradisional Minangkabau). Pengarang dengan lancar membuat tambo baru: menghubungkan tambo Minangkabau dengan kupu-kupu kuda, sejenis kupu-kupu yang kata Gus sangat dibenci oleh nenek moyang orang Minangkabau. Kupu-kupu ini suka membentuk barisan seperti tentara, atasan, dan bawahan. Tidakkah ini bertentangan dengan sistem egaliter Minangkabau?
Nagari juga membuat mitos baru yaitu pohon nagari, yang sebenarnya tidak ada di Minangkabau. Nagari dalam sistem kultural Minangkabau adalah sistem pemerintahan yang otonom, sejenis republik kecil, sedangkan pada masa Orde Baru ia dibagi-bagi sehingga mengacaukan sistem sosio-kultural dan politik Minangkabau. Dalam cerpen ini nagari "dijelmakan" Gus jadi sebatang pohon yang dipertengkarkan dua keluarga. Pohon ini tumbuh di perbatasan tanah, atau dalam istilah Minangkabau disebut sipadan. Pohon itu jadi sumber malapetaka. Mereka bertaruh, bila suatu saat pohon itu tumbang ke tanah suatu keluarga maka keluarga itulah pemiliknya. Di sini Gus menghadirkan persoalan tentang kebudayaan Minangkabau ketika nagari dihancurkan oleh proses sosial politik.
Dalam Wabah Gus tf Sakai menggunakan medium budaya palasik, yang merupakan satu dari kebiasaan negatif dari sedikit orang di Minangkabau. Budaya itu sudah lama tidak dikenal masyarakat, apa lagi oleh generasi yang hidup dalam 30 tahun terakhir. Para palasik adalah pengisap darah bayi secara diam-diam, sehingga mengakibatkan kematian. Dalam cerpen Wabah ini Gus sekaligus mempertanyakan realitas budaya, mengenai sikap apriori masyarakat yang tanpa alasan, yang mengakibatkan tekanan psikologis bagi seseorang. Sedangkan Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat, Gus tf Sakai menunjukkan masalah syirik yang dieksploitasi oleh oknum-oknum tertentu sesuai dengan kepentingan. Di sini pengarang lebih banyak bicara mengenai masalah sekarang, etos kerja, dan suasana sosial masyarakat yang tidak kondusif.
Pot Na Enga Tako, menceritakan perdagangan mumi di Toraja, yang menghadapkan tradisi sakral budaya setempat (Toraja) dengan dunia modern dan bisnis. Pada cerpen ini Gus, lewat tokoh Tanete (keluarga Mumi), mengritik upacara kematian yang menghabiskan uang begitu banyak. Pada sisi lain juga tergambar begitu rasional dan pragmatisnya masyarakat lokal dalam menyikapi hidup masa depan. Tuge dan Lowe Lomo tampaknya berangkat dari pandangan terdesaknya masyarakat lokal dan marjinal. Lowe Lomo mempunyai latar belakang masyarakat Minahasa yang kemudian tidak bisa mengikuti perkembangan modernisasi. Tuge berlatar budaya suku Moni, Papua, yang dieksploitasi oleh masyarakat luar sementara masyarakat setempat tidak bisa berbuat apa-apa.
Di luar delapan cerpen tersebut, sisanya adalah cerpen-cerpen berlatar sosial dan psikologis. Ini bukan berarti cerpen-cerpen di atas tidak berbicara sosial dan psikologis, karena setiap cerpen Gus berdimensi banyak. Ia bisa dengan lancar memindahkan suatu latar ke latar lain, atau dari suatu dimensi ke dimensi lain. Dalam bercerita Gus tf Sakai meninggalkan model alur konvensional, A-Z. Ia seenaknya bolak-balik dari satu waktu ke waktu lain, dan dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan kita harus sangat teliti membacanya, karena adanya lapisan-lapisan cerita. Masa kini, masa lalu, dan masa datang mendapat tempat yang proporsional dalam cerpen-cerpen Gus.
(Sudah dimuat di ruang Buku Koran Tempo, Minggu 02 Mei 2004)

Sunday, August 13, 2006

Sajak-sajak

Wannofri Samry
KOTA TAMBANG I

1891, di bawah tangan van hooze, penambang nasib menaklukkan waktu
sepanjang sungai lunto, dalam bau jejak-jejak de greve si penakluk bara
buliran-buliran keringat pecah menelusup ke akar-akar ke perut-perut bukit
meraba tulang-tulang mati, taklukkan lobang demi lobang

dalam jarak yang panjang, pada nasib yang panjang,
dalam abad yang berat, sebuah kota lumpuh, kota rapuh
tertunduk di langkahmu di hadapanku

segumpalan saputan keringat orang-orang rantai, kuli-kuli kontrak
melayang ke hidungku, di mataku, di matamu mengalir darahnya ke taman-taman resah, di ruang-ruang kota tua

direntang siang direntang malam, kota tampak terbujur
bangkai-bangkai ombilin, besi-besi tua kesepian
dibiarkan menangis di rimba itu di aliran cemasmu

kotanya ijzerman, kotanya para tangkapan
dagingnya busuk di nederland dan batavia.


Sawahlunto, 5 April 2004


Wannofri Samry
KOTA TAMBANG II


udara mayat dan anyir darah dalam kota di bawah jejak-jejak rel kereta
tangis etnis berbagai rupa pada lubang-lubang tambang, di bekas kubur reruntuhan
menanti dirimu. kota pelan-pelan mersik dan kurus menanya namanya
menanya jalan dan rumah-rumah, menanya ayah dan bunda

kau sudah dapatkan saja kepedihan
aku sudah rasa kesedihan
kau jadi ragu

dulu ia lupa dan dungu akan tujuan,
saat menner belanda menggesekkan biola di gedung kota
gadis-gadis kota menari saat musik itu meliukkan pinggangya

Sawahlunto, April 2004


Wannofri Samry
NGILU RIWAYAT ITU
(KOTA TAMBANG III)


pada sebuah kota ngilunya masih terasa,
terbaca pada puing-puing berantak-bersilang
berjejer-jejer kata di mulut-mulut berbusa ,
namun riwayat kota gundah

siang tanpa percikan matahari malam tanpa bulan
bunga-bunga patah terpekur ke sebuah kali
seorang janda tua bertanya
kota, kenapa kau menangis?
+aku kenang masa mudaku sambil dengar orang menggesek biola
di atas nyawa melayang-layang pada lobang-lobang bara
waktu terus mereguk seamsal sembilu
setiap kutulis diriku penaku gemetar
---tak sanggup kubaca riwayat itu.

Sawhlunto-Padang, 2004


Wannofri Samry
SAJAK LUMPUH

aku zigot di rahim ibuku dengarkan ribuan teriakan
aku pandang jalan-jalan, duka memanjang
aku harus hadir padamu

trotoar sepanjang taman meratap sepanjang hujan
kau berlari kejar bunga-bunga itu
bawalah aku ke ujung-ujung hidupmu, kudengar suaramu
angin meringis gesek dinding gedung di sana seperti suara
anak-anak yang lama menangis

“kirimkan aku bunga saat hujan ini juga ke ujung hidupku”, tak henti-hentinya

anak-anak tak bisa berlari.


Padang, 2004.


Wannofri Samry
___ ...___
*kepada yang berjalan


bilang datang, biarlah! ia terus berjalan bagai air mengalir dari hulu
aku berakit sepanjang sungai itu.


Padang, 2004


Wannofri Samry
IMPIAN YANG MEMPORANDAKAN

hari ini
setelah masa dibuka rongganya, kau meronta ke ruang lain
ribuan mimpi datang bagai burung-burung gelisah, kepala-kepala diserbu
gelap-lelap membujur-memanjang

kau menangis---
aku menangis---
bila kau tertawa
aku tertawa liris

lalu, aku berayun, berayun-ayun pada waktu yang belum datang
pada seberkas bias cahaya di celah udara

rumah besar tua dimasuki
dirimu tidak ada, aku pun tidak ada
hanya bangkai-bangkai tua, makhluk-makhluk punah dan zigot-zigot purba

bingkai-bingkai masa lalu dibujurkan
tiang demi tiang dipatah, dibakar
apinya melalar bagai di hutan-hutan kering

di bawah reruntuhan yang terus berjatuhan
kau bertanya aku bertanya tentang masa lalu
tentang waktu: jam berapakah berangkat?

rumput-rumput liar, kecambah-kecambah sudah bertumbuhan
terasa waktu menyalip.


Padang, 2004

Sajak Wannofri Samry
TIGA GORESAN YANG HILANG

goresan pertama: bagi selasih
aku temukan namamu dalam debu lembaran di ruang lupa
terbayang jalan-jalan pergerakan di sana, aliran deras di kamar kertas berguguran,
di tinta-tinta meleleh, sebuah mata tajam menatap, sealiran gerak darah menegakkan raga masuk ke pembuluh pena, kata-kata berlahiran menyapa lewat ujung-ujung jarimu

“puluhan tahun begitu saja ia disembunyikan di bawah debu museum khatulistiwa“

tintamu deras, dadamu bebas
nyawamu ibu, bernyanyi di kamar kecilku

kau dada, darah sejarah yang hilang seperti jatuh ke pasir di waktu bergulir

goresan kedua: bagi sa’adah
kupandang singapura, malaka, saat batam menggigil
di sana hang tuah melempar jangkarnya sehabis berlayar keliling samudra
kulihat laut bagai perempuan setia memapah setiap nahkoda
kubalik sejarah kenapa lelaki semua
pada hal semua petualang dan pedagang dari seluruh benua
sudah melempar sauhnya di pinggir pulaumu.
nongsa, di sana bagai nama perempuan kubaca, apapun sejarahmu tak juga dirasa
karimun, tanjung pinang dan ribuan pulau kecil di dadamu,
berapakah perempuan tersembunyi di selatmu.

goresan ketiga: bagi yang dihukum mati
dinihari si bocah menangis, “mana ayah?”, jeritnya
seorang ibu meraung; “kasih punah di tanah, sebuah kereta telah mengangkut nayawanya entah kemana, ribuan fakta luka pembantaian bersamanya”.

sebarisan peluru juru tembak mengatasnama malaikat maut
memakasa nafasnya, atas nama cinta

di hadapan gelas minum pagi
perempuan berpikir tentang kehamilannya
tentang anak yang dibedung dimamah
ia bertanya: apakah tuhan tersenyum di tiang pancungan
di luar gugur darah balas gugur darah di ngiang gugur bunga

seekor burung putih pagi itu menghardik atas nama nyawa: hentikan!


Padang, 2006

Sajak Wannofri Samry
SEUNTAI CERITA

ujung 1960-an di musim mendaki, di tepi jalan kerusuhan
di pinggiran pasar kekalahan, seorang anak bersama ibunya menatap sebuah mainan
ia kulum senyuman; gerobak-gerobak tua

di matanya lapangan luas sabana, gerobak-gerobak desa meluncur di tangannya
di bawah hujan bagai burung-burung di musim semi berlompatan

gerobak-gerobak kecil bermain di matanya, di ruangan pondok papan menjerit
bagai rumput liar di tepi jalan
“ia masuk ke dalam dunia , berpeluk di pangkuan ibu”
waktu terus mendaki, ia telusuri sungai-sungai cadas ke hulu rimba
ia rekam bunyi-bunyi kebuasan, di jalan-jalan setapak di siang dan malam hari
ia susur petak-petak sawah di ruang-ruang derit suara petani

di pinggiran yang sunyi di tengah alam yang merdu
ia dengar nyanyi nun jauh saat-saat mengaji
ia susuri kampung di ujung sana, bayang-bayangan mencengangkan
di malam hari setiap saat tidur, begitu lama, ia tergoda, indahnya, di manakah ia?

waktu bayang-bayang menampak, di ruang raung suara di guyuran keringat ibu, aku
angan-angan yang jauh, melangkah
lalu ibu, terpana di sebuah toko. “langitmu jauh!”, desisnya
; “pacu kudamu, pacu di pasir kehausan itu!”

tahun-tahun bunga berat merekah dalam bayangan berjuta, di pematang sawah

di jalan-jalan sekolah, di kandang belakang rumah
bayangan itu sungguh celaka, seperti apakah jakarta, surabaya, bali, wah, washington, berlin, london, tokyo..? entah!
(di sekolah ia membaca gerak bibir guru, di luar hamparan daun yang berserakan)


masa yang terlupa, di antara kabut pagi, saat-saat sayur masih kedinginan
aku mesti makan ke sekolah dalam kabut memberat
ayah mesti mengajar demi bangsa, ibu mesti ...berjalan

aku kejar di bukit itu waktu-waktu lari
mengejar bayangan yang kupasang pada puluhan tahun lalu.


Padang, 2006


Sajak Wannofri Samry
KAU MELAYANG

di sini, zoon coen, major jantje dan michiels telah dikubur, slavenorkest tak tampil lagi
di koepel, stamboelan tak bersama landher, namun kursor microsoft yang membiuh.

“walaupun aku bisa melayang menyelinap ke ruang-ruangmu, tapi aku
bukanlah angin yang ringan, bebas-lepas mengendap-endap ke setiap pembusukan
minumku kehausanku bukan tetesan peluh pengelana, kata orang adalah advangarde yang terpana oleh kedap-kedip kursor di ruang maya”

larut malam ia masih berada dalam portal-portal maya, melayang di seluruh pelosok paling riuh, saru dan menakjubkan. dalam ribuan keajaiban ia berpelukan
sebelum matahari tersentak waktu ingin dipintas ke ujungnya
energi telah disedot bagai manusia melahap sebuah binatang ke tulang-tulangnya
bagai listrik menyerap semua tenaga

seluruh jalan di sebuah kota yang dikunjungi
sebuah daerah yang tak pernah ia mimpi
ia hafal seluruh nama dan bagiannya
namun di sebuah selokan di depan tamannya, ia lupa ke mana mengalir airnya
sebuah jerit di belakang gang ia rasakan sunyi
sebuah pohon yang tercerabut akarnya, terlupa!

pada setiap kerdip kursor dalam kedalaman makna cahaya
beribu mimpi ahira luar biasa dipompanya jantung-jantung anak terjajah
“larilah dengan luar biasa”, katanya. aku pun lari lompati tanah-tanah nusa dan benua
bersemedi di rongga-rongga para filsuf-filsuf, melayang ke aras mimpi.



Padang, 2006

SIKAP PEMERINTAH DAN SASTRAWAN KITA

Beberapa waktu lalu Presiden Megawati Soekarno Putri mengungkapkan bahwa Ia merasa malu dengan prestasi Indonesia di Sea Games, karena Indonesia hanya meraih juara tiga, kalah dari Vietnam dan Thailand. Walaupun begitu, sepanjang sejarah olah raga Indonesia, penghargaan dan bonus terhadap Olahragawan tetap berlimpah dibandingkan dengan penghargaan terhadap sastrawan. Olahragawan memang berbeda dengan sastrawan, Olahragawan berjuang saat latihan dan bertanding dengan tubuh tegap dan sehat. Sastrawan berjuang setiap hari dengan ‘pikiran’ dan badan rata-rata kering dan kurus. Kebudayaan dan kehidupan bangsa yang baik ke depan adalah impian setiap sastrawan, itulah yang menjadi beban pikiran mereka setiap hari. Tetapi kenapa pimpinan kita tidak pernah mengungkapkan rasa malunya terhadap kondisi sastrawan kita: tentang pikiran-pikiran mereka yang tidak mampu dibukukan dan tentang perhatian yang minim terhadap para sastrawan ?
Beberapa waktu yang lalu Ajip Rosidi seorang sastrawan Indonesia menulis keprihatinannya tentang nasib sastrawan dalam artikel “Hanya Dijadikan Objek’ (Kompas, Minggu 29 Juni 2003). Pada artikel itu Ajip menguraikan mengenai aktivitas dan prilaku “kurang proporsional” lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kebudayaan. Ajip mengemukakan kekecewaannya terhadap prilaku pekerja lembaga kebudayaan yang katanya ingin mengangkat citra kesusastraan namun “jatuh” pada “pelecehan” para sastrawan. Menurut Ajip: “ Sekarang banyak lembaga yang didirikan dengan alasan untuk mengentaskan kemiskinan atau berbagai usaha guna memperbaiki kehidupan dan memajukan rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga demikian mendapat bantuan dari luar negeri. Sementara rakyat yang konon ditolongnya tetap melarat, para pengurus lembaga-lembaga itu hidupnya jadi makmur.” Kenyataan itu seperti yang diuraikan Ajip telah menimpa dunia kesusastraan Indonesia, termasuk Ajip sendiri. Menurut saya pernyataan Ajip itu mesti diurai dan ditambah lagi. Pada kalimat itu Ajip hanya menuding lembaga non pemerintah, pada hal pelecehan dari pemerintah terhadap sastrawan dan karyanya juga terjadi. Pemerintah Indonesia kurang menghargai keberaadaan sastrawan, pada hal ia telah berjuang sepanjang hari, membongkar dan merumuskan kehidupan sosial budaya kita. Pernahkah pemerintah berpikir; tanpa sastrawan apakah bangsa Indonesia akan tetap hidup dan menemukan identitasnya?
Pemerintah kita sangat menghargai jasa para politisi, tentara dan birokrat. Kita lihat mereka rata-rata sangat makmur karena digaji dengan berlimpah dan fasilitas mewah. Sementara kaum sastrawan, dan juga banyak kaum intelektual lain, banyak yang hidup sekedarnya. Sering kaum intelektual , “mengemis pada birokrat” untuk menerbitkan karya dan buah pikirnya demi masa depan bangsa. Sementara kaum intelektual yang tidak tahan dengan hidup sederhana terapaksa menjualbelikan buah pikir (untuk mengatakan tidak menggadaikan) pada politisi maupun birokrat ataupun pada orang-orang kaya. Sebahagian lagi terpaksa menyeberang ke dunia politik meninggalkan area kultural mereka. Apakah pemerintah tidak malu dan risau terhadap realitas seperti itu?
***
Bagi sejarawan dan peneliti kesusatraan Indonesia, jasa sastrawan dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Para sastrawan telah memberikan dasar arah kebudayaan Indonesia; identitas Indonesia mengental dan terumuskan dari pikiran-pikiran para sastrawan yang tersebar dari berbagai media yang ada di Nusantara. Puisi, cerpen, novel dan esei yang ditulis oleh sastrawan telah memberikan pandangan-pandangan baru terhadap masyarakat Nusantara sejak lama. Karya-karya itu membongkar dan mebentuk pikiran masyarakat untuk menentukan Indonesia pada masa depan. Pertama, mendorong rasa etnisistas menjadi nasionalisme Indonesia . Pada tataran ini para pengarang sudah membuka aura kebersamaan dengan mengemukakan berbagai dilema di bawah pemerintahan kolonial. Kita bisa lihat banyak cerita dan puisi Indonesia yang terbit sebelum Sumpah Pemuda 1928. Bahkan pada tahun 1920 seorang Penyair Indonesia, M. Yamin menggagas mengenai “Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia di Masa Depan”.
Pada tahun 1930-an sekelompok pengarang yang terhimpun dalam Pujangga Baru mendiskusikan mengenai arah dan identitas masa depan Indonesia. Pada tahun itu muncul pemikiran-pemikiran tajam dari pengaranag muda, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana dan Armeijn Pane. Takdir dan Armeijn beserta pengarang lainnya yang menulis puluhan tulisan dalam Panji Pustaka, kemudian dalam majalah Poejangga Baroe, berpikir keras bagaimana membentuk “masyarakat Indoensia baru” dengan medium “Menuju Kesusatraan Baru”. Dalam konteks itu para pengarang pada masa peregerakan tersebut menguras pemikiran mereka untuk menciptakan suatu kondisi kebudayaan Indonesia yang dinamis. Karena dengan begitulah bangsa Indonesia akan maju dan lepas dari penjajahan.
Kedua, para pengarang sudah memberikan komunikasi kebangsaan secara luas. Para pengarang yang berasal dari berbagai suku menulis berbagai latar belakang kebudayaan dalam berbagai karya mereka. Karang-karangan itu dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia dan memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk memahami diri mereka dan diri masyarakat lain. Artinya para pengarang sejak awal sudah mendorong pluralisme sekaligus kesatuan sebelum Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara. Pemahaman itu tidak mungkin tuimbul dalam diri para politikus maupun negarawan begitu saja, karena politikus dan negarwan sering berpikir dari sisi praksis sementara para pengarang berpikir dalam tataran kemanusiaan yang paling dalam.
Ketiga, pengarang juga membentuk iklim demokratis tanpa kekerasan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan. Sumbangan ini sangat penting bagi pertumbuhan Indonesia. Senjata para pengarang adalah pena dan pikiran; apa pun masalah, bagi pengarang cara penyelesaiannya adalah dengan pikiran dan pena ; mereka menuliskan gagasan mereka. Gagasan itu akan menjadi bahan dasar bagi paraktisi untuk bertindak. Sebutlah contoh mengenai gagasan pengembangan pendidikan, teknologi dan kebudayaan , ide-ide itu secara tajam bisa kita baca pada polemik Pujangga Baru tahun 1930-an. Gagasan-gagasan itu terus bergulir dan ditindaki sampai saat ini.
Pada berbagai kesempatan sastrawan Indonesia juga mengoreksi pemerintahan yang korup dan menindas. Karangan masa pergerakan menampar hati dan membuka hati banyak orang bahwa mereka berada dalam kondisi yang sangat riskan: penindasan di bawah kolonialisme. Karena itu masyarakat disadarkan oleh pengarang bahwa mereka harus membentuk sejarah baru, identitas baru yang merdeka. Kemudian sajak-sajak masa revolusi, sudah tidak asing lagi, memberikan roh akan perlawanan keras terhadap kolonial. Fakta kultural yang jelas dapat dibaca antara lain dalam puisi-puisi Chairil Anwar, yang telah menjadi simbol revolusi dalam kesusastraan Indonesia.
Secara resmi para sastrawan Indonesia juga pernah memainkan politik kultural sebagai perjuangan demokrasi. Ada beberapa pernyataan resmi yang dikenal secara nasional, seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Pernyataan ini digagas oleh mereka yang aktif berkumpul dalam “Gelangang” (1946), suatu perkumpulan diskusi yang dibentuk secara tidak resmi oleh Chairil Anwar dan pengarang-pengarang yang ingin menyumbangkan pemikiran terhadap perkembangan revolusi kemerdekaan. Setelah masa revolusi tahun 1950-an tampaknya keprihatinan akan perjalanan bangsa yang lamban mengental. Saat itu mereka ingin mengingatkan akan perkembangan kebudayaan Indonesia, bahwa mereka adalah “ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia” dan tidak akan melap-lap kebudayaan lama”. Kontek waktu dari pernyataan itu membangkitkan semangat dan kesadaran identitas bahwa “Indonesia sama dengan bangsa lain” dan kebudayaan Indonesia harus digali agar lebih dinamis.
Pernyataan lain adalah Manifes Kebudayaan (1963) yang dimotori oleh H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito. Manifes itu sebagai tanda perlawanan terhadap pemrintahan Orde Lama yang otoriter dan sentralistik. Gagasan Manifes Kebudayaan adalah melepaskan diri kebudayaan dari tekanan politik dan menjadikan kebebasan berpikir dan berkereasi sebagai elan vital kebangsaan Indonesia. Pernyataan ini sebenarnya suatu fakta dari akibat pertarungan politik yang “tidak fair” di tingkat kebudayaan, namun diolah secara produktif oleh pengarang.
Pada masa orde baru banyak gagasan pembaruan yang muncul dari para sastrawan lewat sajak, cerpen, novel dan esei yang diterbitkan di media massa dan buku. Hampir setiap media massa sebelum kejatuhan Soeharto memuat karangan-karangan yang mengingatkan pentingnya suatu pembaharuan di Indonesia, dan beberapa diantara sastrawan seperti WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohammad Emha Ainun Najib dan Wiji Tukul (sekedar menyebut beberapa nama) membacakan karangan-karangan mereka secara lantang, sehingga kadang membuat mereka berurusan dengan pihak berwajib. Namun semua itu adalah dalam tataran membentuk sebuah bangsa yang dinamis dan baru.

***
Tingginya sumbangan sastrawan terhadap perubahan kebangsaan Indonesia tidak sejajar dengan perhatian pemerintah, masyarakatt dan perubahan tingkat kelayakan hidup para sastrawan. Sastrawan makin terpinggirkan dalam berbagai proses kebijakan sosial, politik dan ekonomi. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap sastra tidak kian maju. Para sastrawan makin baik secara kuantitatif dan kwalitatif namun tetap tidak bergerak secara sosial dan ekonomi. Penghargaaan pemerintah dan masyarakat terhadap sastrawan jauh di bawah penghargaan terhadap dunia olah raga dan penyanyi dangdut. Dunia olah raga misalnya, bisa mendapatkan dana milyaran dan jaminan hidup dari negara. Penyanyi dangdut bisa dihargai masyarakat dengan tayangan khusus di televisi dengan bayaran puluhan juta sekali panggung. Sastrawan menerbitkan karyanya sendiri dan mendanai kegiatannya dengan jerih payah keringatnya. Mereka hidup secara swasembada, tetapi dipandang dengan “sudut mata kiri”.
Sejarah memang menunjukkan, menjadi sastrawan memang penuh dengan idealisme; hidup adalah berjuang dalam kesepian. Sementara, pada sisi lain, kapitalisme, akibat perkembangan pengetahuan dan tekonologi, makin maju. Dunia ini memang mengutamakan pasar ekonomi yang praktis: semua berujung pada uang dan materi. Produk sastra kadangkala dianggap sebagai barang tidak laku, walaupun ia telah membuktikan mampu mengubah dinamika dunia. Kapitalisme dan materialisme mencakar ke mana-mana sampai ke pojok kampung. Tawaran-tawaran kesenangan setiap hari bermunculan dan berdatangan di depan kehidupan manusia, termasuk pada sastrawan. Para sastrawan tidak bedanya dengan manusia lain, mereka membutuhkan kebutuhan pokok, biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan lainnya. Sementara kebutuhan tertier sudah begitu meruyaknya (umum) sedangkan kebutuhan pokok saja susah dipenuhi oleh sastrawan. Ini membuat mereka memang berjuang dengan sekuatnya: apakah mereka mengarang sekedar menghasilkan karya, kebenaran tanpa memperhatikan kehidupan keluarga ataukah untuk segalanya. Tampaknya rayuan materialisme sungguh tidak mungkin dielakkan.
Sekarang sastra (wan) dalam lingkaran kapitalisme dan materialisme pada satu sisi tersisihkan namun pada sisi lain telah diolah oleh pelaku kapitalis sebagai komoditi. Sebahagian lagi sastrawan sudah masuk pula dalam kegiatan “gerakan kebudayaan” yang bergantung pada dunia kapitalis. Sastra(wan) sudah menjadi komoditi yang bisa didagangkan dan ditawar. Dalam tataran ini terjadi juga persaingan antara sastrawan untuk memasuki pasar, karena dalam dunia kapitalisme yang kuat dan cepat akan menjadi subjek, maka yang lain akan menjadi objek. Kadangkala objek dimainkan dengan begitu “murahnya”,. Sehingga “gerakan kebudayaan” jatuh pada kegiatan tidak manusiawi: menjual sastra (wan). Dalam tataran ini hanya sastrawan yang mau mengikuti pasar dan dekat dengan pusat kekuasaan politik dan ekonomi yang akan muncul kepermukaan, sementara yang jauh dari orbit itu akan ketinggalan dan tidak diketahui. Di sini terlihat sastra Indonesia tidak muncul ke permukaan dengan fair dari segala potensi dan pelosok, bahkan sebahagian sastrawan dikorbankan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
***
Pada bahagian akhir ini saya hanya ingin menegaskan dan ikut bersambung pikiran dan perasan akan keprihatinan Ajip Rosidi, “ Indonesia merdeka sastrawan terlupa”. Karena itu saya ingin menanyakan perlukah satu gerakan sastrawan yang terpadu, menyeluruh dan simpati untuk membangkitkan perhatian pemerintah dan masyarakat? Dalam pikiran saya, sudah saatnya masyarakat sastrawan dan pecinta sastra Indonesia berjalan bersama, memberi pencerdasan pada pemerintah dan masyarakat demi majunya sastra dan sastrawan Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus digerakkan hatinya agar menyediakan perhatian kongkrit terhadap perkembangan sastra di masa depan.***

*Wannofri Samry, Penyair dan Peneliti pada Lembaga Kajian Starategi Budaya (Lekas Budaya), penulis pada berbagai media massa lokal dan nasional.