Total Pageviews

Friday, November 21, 2008

MALAY’S SOCIETY:SORROWFUL REALITY " A BIG CLAN" IN SOUTH-EAST ASIA



Oleh Wannofri Samry

Very recently, the relationship between the governments of Indonesia and Malaysia has not been so amicable. This is caused by several problems such as frontier conflict, Indonesian labourers (Tenaga Kerja Indonesia) in Malaysia, and the copyrighting of the song “rasa saying-sayange”. These problems has become a serious dilemma in the “Malay” societies in Southeast Asia, like Indonesia, Malaysia, parts of Thailand, Singapore, and Brunei. On the one hand, they feel to belong to a clan or “serumpun”, on the other hand, they all live in different states. They are seen in a different political entity; their political and cultural views interfere.
In resolving this problem, like the case of Indonesia and Malaysia, can be usually solved by a political paradigm. Perspectives on politics always encourage the spirit of patriotism and nationalism. Therefore, both nations become too angry at each other. This conflict can be resolved through a historical perspective. By tracing both countries’ histrocial roots and analyze the value of each state might help in resolving this problem. Thus, the paper wishes to present the truth of the Malay culture and society through historiy and anthropology(Note: Please contact me if you want to read this full paper)

PERS TAK MENGGIGIT

Oleh Wannofri Samry

Menurut Duncan MC Cargo(2000) ada beberapa pradigma yang sering berlaku dalam literatur politik dan media. Pertama, hegemony of state power(dominasi kekuasaan negara). Dalam hal ini media hanyalah sebagai bidak dan pelayan negara. Fenomena ini sangat kentara di berbagai dunia ketiga seperti Thailand, Malaysia dan Indoensia. Sebelum jatuhnya Soeharto, pers tidaklah bebas. Berbagai media menjadi corong pemerintah dan menyalurkan kepentingan-kepentingan penguasa. Istilah Goenawan Mohammad, pers ibarat ‘pesawat yang dibajak’. Artinya ia dikendalikan. Pers semacam ini sulit diharapkan bisa mengkritisi pemerintah. Dalam konteks literatur sejarah pers Indonesia, pers semacam itu bukan pers yang berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Pradigma lain adalah media sebagai watchdog, ia sebagai anjing penjaga dari pada kepentingan publik. “Suatu teori tentang watchdog adalah: pers sebagai wali oposisi dan bertindak dengan kuat menentang segala penyimpangan serta mempromosikan kepentingan publik. Dalam konteks ini pers merupakan media yang progesif untuk demokratisasi.
Ketiga media sebagai institusi yang netral, menengahi kepentingan publik, ia mendedahkan berita ke pembaca dan meninggalkan pembaca begitu saja. Pembaca dan media berjalan sendiri-sendiri, silakan pembaca untuk mengambil kesimpulan dan tindakan terhadap informasi yang diberikan media. Kalau banyak media mengemukakan informasi tentu banyak informasi yang diolah. Dalam media seperti itu tentulah semua informasi telanjang, lalu masyarakat dan pemerintah siap menerima apa adanya.
Pandangan lain adalah media sebagai agenda setter; yaitu untuk mengembangkan isu, dan menempatkan mereka dalam agenda debat dan diskusi publik. Model ini sering berhubungan dengan analogi watchdog, yang sering menafsirkan dan menghadirkan dengan a highly positive light. Keberhasilan pers dalam pradigma ini adalah sejauhmana ia mampu mengangkat isu-isu publik ke permukaan dan menjadi agenda bagi pemerinitah dan masyarakat dalam meningkatkan kemajuan hidup mereka. Pers semacam ini tentu juga berani untuk berdebat mengenai berbagai masalah yang peka terhadap kekuasaan sekalipun.

Pers Kita
Dimanakah posisi pers kita? Kalau 10 tahun lalu hegemoni negara begitu kuat, pers dibajak, maka tidaklah aneh jika pers berada dalam ketakutan, kemudian dengan berbagai alasan menyalurkan ‘nafsu’nafsu kekuasaan” serta menyembunyikan suara publik di belakang meja redaksinya. Kini demokratisasi dan desentralisasi sudah berjalan, semua relatif bebas bicara(tetapi bicara apa?). Apakah pers masih dalam ketakutan dan menjalankan tipikal hegemony of state power? Mampukah pers menjadi watchdog, yang tidak hanya menggonggong tetapi menggigit. Tetapi, jika menggongong pun tidak juga maka mungkin ini masalahnya kembali ke perangkat-perangkat dasar dari material pers itu sendiri.
Banyak orang menganggap bahwa masalah pengembangan pers tergantung pada financial dan pada masa Orde Baru dianggap aturan yang mengekang adalah penyebab pers tidak berkembang.Walaupun didukung finansial yang banyak dan terbukanya pembuluh demokrasi, ternyata masih banyak pers yang bertipikal pelayan dari penguasa-negara, bukan publik. Pers sering menampilkan a big shot dari tokoh-tokoh politik dan birokrat. Wartawan dan media banyak yang senang dan bangga mengadakan relasi dengan pemeritah dengan para penguasa. Keinginan pers menampilkan tokoh-tokoh birokrasi ibarat kecanduan bergoyang dangdut di tengah pesta kemabukan. Wartawan-wartawan muda, yang kata Dahlan Iskan akan menentukan nafas pers pada masa depan, tidak dilatih dengan semangat juang “pers yang menggigit” mereka dilatih membuat berita di teras-teras istana pemerintah yang tidak mempunyai tantangan kecuali penemuan sebuah relasi dan koneksi pemberitaan. Para jurnalis, jika dalam zaman pergerakan sebagai pemburu berita, kini sebagai a servant of power.
Fenomena dalam sebahagian pers kita hari ini adalah ketergantungan mereka akan iklan, yang ada pada banyak pengusaha dan penguasa. Di banyak daerah yang tidak tergarap ekonominya, maka pemerintah dan politisi adalah sumber iklan utama. Setiap hari berita ucapan selamat secara terang-terangan muncul dari politisi dan birokrat. Profil-profil tokoh-politik dan birokrasi muncul di halaman depan dan halaman-halaman penting lainnya. Isinya adalah salinan dari pikiran tokoh tersebut yang dibantu oleh wartawan menuliskannya. Walaupun tidak ada penelitian khusus tetapi realitas ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai media.
Kesalahannya jelas dari alas bakul berdirinya sejumlah media; hanya sebagai alat mencari uang. Jelas sukar untuk membandingkannya dengan beridrinya media-media besar semacam Mingguan Tempo dan Harian Kompas, apalagi dibandingkan dengan media masa pergerakan seperti Pedoman, Pandji Islam dan lain-lain. Media massa kita banyak diawali dengan komitmen jurnalistik yang rendah dan tidak mempunyai visi bahkan low teknis.
Masalah lain juga akan berhubungan dengan para editor, reporter dan penulis. Para editor yang tidak berpengalaman menulis, lalu tiba-tiba menjadi pengedit berita dan tulisan, ini juga tidak menghasilkan konten pers yang bagus. Perkara lain adalah kemalasan untuk memeriksa dan langsung copy-paste. Banyak reporter hanya menjadi pers tempat persinggahan, bukan pilihan hidup dan bahagian dari sebuah proses yang penting dalam dunia intelektual mereka. Berita banyak reporter hanya sebagai pemindahan kata-kata ke mesin ketik dan komputer, nilai-nilai humanisme dan intelektual tidak menjadi roh.
Penurunan berita, tulisan juga sering tanpa sebuah rencana yang matang. Berita hari ini muncul, besok berganti berita lain. Tulisan hari ini dimuat, besok habis begitu saja. Tidak ada discourse konten, yang terjadi hanya komunikasi satu arah. Ruang polemik sering juga ditutup dengan berbagai alasan para editor ataupun redaktur. Karena itu tidak akan pernah terjadi saat ini polemik seperti polemik M. Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan negara, ataupun seperti polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana(STA), Ki Hadjar Dewantara, Armijn Pane dan tokoh-tokoh lainnya. Mungkin kita juga merasakan tidak dalam pergerakan lagi, tetapi dalam masa akhir perjuangan dan ingin menikmati. Karena itu pers kita tidak menggigit, paling-paling juga sedikit menggonggong.***

Tuesday, April 15, 2008

INDO, INDON DAN INDONESIA

Oleh Wannofri Samry*

“Don’t marry an Indo! Don’t associate with him. Our future does not lie here, but in Europe. Repair the mistake once made by our ancestor. Create chances for your children in Holand”(Paul van der Veur, 1969).

Begitulah imej seorang warga Negara Belanda tentang warga keturunan Indonesia-Belanda sampai pasca kemerdekaan. Mereka adalah orang-orang hina yang tidak pantas menjadi kawan, teman sosial dan lain-lain. Imej itu tentu berakar pada sejarah Hindia Belanda yang diskriminatif, yang menganggap kaum pribumi Hindia Belanda sebagai orang-orang bar-bar dan inlander.
Akhir-akhir ini permasalahan yang serupa muncul kembali di Malaysia, saat Malaysia lebih jaya, sementara Indonesia lebih terpuruk secara ekonomi. Karena itu banyak Tenaga Kerja Indonesia(TKI) pasca 1990-an yang mencari kerja ke Malaysia, baik secara legal maupun secara ilegal. Tetapi umumnya TKI itu merupakan tenaga kerja kasar(buruh perkebunan, buruh kasar di pabrik, pembantu rumah tangga, dan penjaga kedai runcit). Sedikit sekali orang Indonesia yang bekerja di sektor terhormat, yang mengunakan skill tinggi. Kondisi itu membangun imej pada Malaysia bahwa Indonesia adalah negara miskin dan pengimpor tenaga kerja kasar dan kelas jongos. Imej itu melekat sampai ke anak-anak, sehingga mereka menyebut Indonesia menjadi ‘Indon’. Kata itu mirip secara sosial ucapannya dengan sebutan ‘Indo’ bagi keturunan Indo-Eropa di Hindia Belanda. Indo-Eropa juga tidak dihormati dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum indo dalam tatanan hukum kolonial Belanda berada dua tingkat dari orang Eropa dan satu tingkat di bawah timur asing.
Sebutan ‘Indon’ di Malaysia telah menjadi sebutan umum, bahkan media massa Malaysia mempublikasikan kata itu tanpa merasa bersalah. Umpamanya saat artis-artis dari Indonesia show di Malaysia, media Malaysia dengan seronok menulis “artis Indon akan show”. Sebutan itu memang tidak aneh kedengarn di mana-mana d seluruh wilayah negara jiran itu.
Para pelajar Indonesia di Malaysia tentu yang paling kenyang dengan sebutan itu, sering mereka merasa geram. Paling-paling mereka bisa menjelaskan bahwa sebutan itu tifdak mereka sukai. Tetapi tidak mungkinlah setiap saat menjelaskan itu kepada setiap orang Malaysia, bisa menghabislkan energi.
Sebutan ‘Indon’ yang kurang mengenakkan itu sebenarnya belum ada dalam literatur sosial, sejarah dan politik Indoneisa, yang ada hanya kata “indo” dan “Indonesia”. Indo untuk keturunan Eropa-Indonesia, dan Indonesia untuk seluruh masyarakt yang berada di wilayah negara Indonesia.
Paul W. van der Veur dalam Race And Color I Colonial Society: Biographical Skeches By A Erusian Woman Concerning Pre World War II Indonesia (Jurnal Indonesia, 1969) menjelaskan bahwa sebutan Indo itu dilekatkan terhadap orang keturunan Indonesia-Eropa. Dalam banyak literatur sejarah ditemui bahwa Indo-Eropa seperti tidak diakui dalam dua budaya; dalam masyarakat Indonesia mereka tidak mendapat tempat karena warna kulit dan budaya mereka yang berbeda. Orang-orang Indo juga agak malas bergaul dalam masyarakat pribumi, karena mereka sendiri menganggap lebih tinggi startifikasi sosialnya. Sebaliknya orang-orang Eropa juga kurang menerima mereka, sebab separoh darah mereka mengalir darah pribumi, yang alam dalam startifikasi masyarakt kolonial Belanda dianggap lebih rendah dan sama dengan pribumi.
Paul van der Veur(1969) mengungkapkan, ada kesedihan dan kerisihan bagi orang-orang keturunan Indo-Eropa terutama bila berada di Eropa, sebab mereka tidak diperlakukan sebagai orang Belanda. Para orang tua Belanda sering mengingatkan anak-anak mereka agar jangan bergaul dengan para “Indo”. Mereka ngingatkan, “jangan bemain sama mereka, mereka adalah orang kotor, tak bisa dipercaya. Jangan berteman dengan dia, sebab dia tidak baik”. Stigma rendah, hina semacam itu sejak zaman penjahan dilekatkan pada pribumi sehingga melekat juga pada keturunan Indo-Eropa. Pada zaman kolonial Belanda memang banyak orang-orang pribumi(Hindia Belanda) yang menjadi jongos, kuli, babu, gundik(terutamaorang Jawa). Sementara sebagaimana yang ditulis oleh Husein Al-Atas, orang pribumi sering dicap sebagai “pribumi malas”.
Di zaman kolonial banyak kaum pribumi bekerja di perklebunan secara asal-asalan, atau malas. Kemalasan mereka tentu tidak boleh dilepaskan dari penindasan kolonial Belanda. Tenaga mereka dikuras sementara kesejahteraan mereka tidak diperhatikan, produksi yang mereka lakukan pun diangkuit ke Eropa. Malas tentu sebuah strategi perlawanan terhadap kaum kolonial.
Masalah di Malaysia tentu jauh berbeda, para pekerja itu umumhya pekerja giat,sebab mereka memakai sistem kontrak, dan pengiriman tenaga kerja itu umumnya diatur dalam undang-undang ketenagaan kerjaan kedua negara. Jadi mereka bekerja dengan kesepakatan bersama.

“Indon”

Kata ‘Indon’ memang asli muncul di Malaysia. Kosa kata “indon” seakan akan menjadi sebutan tanpa dosa bagi sebahagian besar orang-orang Malaysia terhadap orang-orang Indonesia. Bukan hanya pekerja kasar dipanggil Indon, para pelajar dan pejabat-pejabat Indonesia di Malaysia pun disebut Indon.
Bagi orang Indonesia yang terpelajar ‘Indon’ itu sama dengan sebutan inlander(pribumi tengik) di zaman kolonial Belanda. Mereka itu dianggap kaum tidak beradab, musiknya hanya ngangik ngok, tampilannya dekil, wawasannnya sempit, pemberontak, perusuh dan sebagainya.
Di mana-mana di Malaysia, seperti di bandara, pasar dan lingkungan sosial lainnya, seorang Indonesia sering merasa bahwa ada sikap yang merendahkan secara sosial. Bila mereka(orang Malysia) kenal bahwa yang mereka hadapi orang Indonesia, mereka lebih suka berbicara meninggi, mereka tidak lagi memakai stratifikasi bahasa sosial sebagaimana yang sering diterapka di Malysia untuk kata sapaan. Umpamanya tanpa memanggil ‘Cik’ untuk perempuan bujang, ‘puan” untuk perempuan sudah menikah, ‘encik’ untuk laki-laki yang lebih terhormat.Di kedai-kedai mereka enak saja memanggil ‘you’, ‘kamu’ dan ‘kau’ terhadap orang Indonesia. Terutama ‘kamu’ dan ‘kau’ adalah paanggilan kasar di Malaysia. Umpamnya saat membeli di kedai runcit seseorang pelayan kedai yang masih remaja, enak saja bilang dengan sombong, “kamu nak beli apa?”.
Di Bandara sering orang Indonesia diperiksa dengan kasar oleh pihak migrasi.Petugas sering juga memeriksa uang yang dibawa oleh orang Indonesia ke Malaysia. Dalam pikiran mereka orang Indonesia itu miskin dan membuat Malaysia susah. Karena itu mereka harus memastikan bahwa orang Indonesia yang ke Malaysia mempunyai uang yang cukup.
Walaupun warga Indonesia sering dianggap ‘Indon’, tetapi dalam banyak hal sebenarnya Malaysia itu menganggumi Indoensia dari segi bahasa, budaya, demokratisasi dan kemolekan dan keluasan wilayah. Beberapa professor di Malaysia mengagumi sejarah kebijakan Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Seorang sejarawan di UKM mengatakan, bahwa bangsa Indoenesia sangat tepat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan”.Sementara bahasa daerah juga berkembang sebagai kekayaan budaya. “Akademisi budaya dan bahasa di Malaysia umumnya merisaukan ketidakberkembangan bahasa Melayu di Malaysia, bahkan kini tidak hanya terdesak oleh Bahsa Inggris tetapi juga olejh bahasa Cina dan India. Kekaguman lain yang terlihat adalah beredarnya lagu-lagu Indoenesia di Malaysia, lagu-lagu itu diputar di dalam bus, di kafe, televisi dan radio. Namun ini pun menjadi masalah juga; bagaimanakah hak ciptanya? Hal yang jelas sumbangan seniman Indonesia sangat besar terhadap masyarakat Malaysia. Hal itu juga terjadi dalam bidang sastra, mereka mengagumi sastrawan-sastrawan senior Indonesia, seperti Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Karya dua sastrawan itu pun menjadi bacaan umum di Malaysia.
Perhatian Malaysia yterhadap karya cipta intelektual Indonesia sangat mengagumkan juga, perhatian mereka mungkin melebihi perhatian orang Indonesia. Buktinya karya-karya pemikiran klasik Indonesia sampai yang mutkahir bolehlah dikatakan cukup lengkap dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Ini juga tantangan bagi Indonesia ke depan.

Malaysia-Indonesia:
Kalau dikaji sejarah Malaysia dan Indonesia memang banyak kesamaan, dalam naskah-naskah Melayu semuanya akan terbaca. Bagi masyarakat di seluruh Nusantara, wilayah Semenanjung, Jawa, Sulewesi dan sekitar kepulauan Indonesia, adalah jaringan dagang dan budaya yang tidak bisa di pisahkan. Penduduk-penduduk di kawasan ini memang sudah lama sering bermigrasi atau bertuakar tempat. Malaka dibangun pertama sekali oleh orang Sumatera, Parameswara. Johor-Riau Lingga pernah menjadi satu kerajaan. Hanya Inggris yang memisahkan mereka tahun 1824.
Banyak kaum pergerakan Idonesia lari ke Malaysia tahun 1930-an sehingga menjadi tokoh pergerakan pula di Malaysia, contohnya Tun Abdul Razak yang kini dilekatkan namanya di Dewan Conseleri Universitas Kebangsaan Malaysia, juga keturunan Indonesia. Begitu juga Hamka tahun 1972 pernah dinobatkan menjadi Doktor di UKM. Dan, kini nama Hamka pun dilekatkan di bahagian dokumentasi UKM. Hampir semua kaum cerdik pandai di Malaysia mengagumi Hamka dan juga Natsir sebagai tokoh Islam.
Sejak masa Orde Baru dirasakan bahwa Indonesia penting sebenarnya bagi Malaysia, terutama dalam memberikan keseimbangan politik di Malaysia. Masa Soeharto, diakui ada kerjasama pengiriman Emigrasi ke Malaysia, dan ini penting bagi orang-orang Melayu, untuk memberikan keseimbangan politik terhadap golongan etnis Cina. Selain itu orang Indonesia juga penting sebagai sumber tenaga kerja murah dan gigih.
Bagi Indonesia, Malaysia juga penting, selain sebagai kawan serumpun juga sebagai katub pengaman ekonomi yang selalu krisis. Sebab jika tidak ada Malaysia juga akan menimbulkan masalah pengangguran besar-besaran di Indonesia. Menurut keterangan resmi Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia(HIMSATAKI)tahun 2008, maka jumlah TKI Indonesia di Malaysia hampir 700.000 orang, artinya hampir sama dengan penduduk Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau. Ini tentu belum termasuk ribuan TKI yang ilegal dan para pedagang yang bolak balik ke Malaysia. Menurut data kedutaan Malaysia ada antara 500-1000 orang TKI legal bermasalah di Malaysia(www.Detik.Com, 17/11/2007). Limpahan TKI ini pula yang merendahan bangsa Indoensia, karena mereka bekerja pada sektor buruh dan pekerja kasar.
Pemerintah mesti memikirkan bagimana menghapuskan imej “indon” yang mirip dengan inlander itu. Sebab stigma negatif yang diberikan oleh orang lain terhadap bangsa Indonesia, tidak hanya penghinaan tetapi juga pemukulan mental dan identitas. Pemulihan nama itu tidak hanya cukup dengan himbauan pelarangan terhadap pemerintah Malaysia, tetapi juga membangun bangsa ini agar kepalanya tegak dan berjalannya tegap. Karena itu keseriusan pemerintah untuk menyiapkan berbagai pra syarat kesejahteraan; seperti pendidikan, lapangan kerja dna berbagai fasilitas pelayanan publik adalah penting. Bagaimana pun bangsa Indonesia juga tidak ingin menjadi beban dan tergantung pada bangsa lain. Pantaslah “kita” malu, Indonesia sebagai saudara tua dari Malaysia, mesti “merengek” secara ekonomi ke Malaysia.

*Wannofri Samry, Dosen di Universitas Andalas, Padang, pelajar PhD di Pusat Kajian Sejarah, Politik dan Strategi, Universitas kebangsaan Malaysia(UKM), Selangor.

Friday, February 08, 2008

BUDAYA KUASA

Oleh Wannofri Samry


Pemilihan Umum Presiden RI masih dua tahun lagi, namun beberapa tokoh sudah menyatakan untuk maju, sebahagian lagi memberikan sinyal untuk ikut menjadi kandidat presiden 2009. Keinginan sang bakal calon Presiden tersebut sudah dilansir beberapa media massa nasional sekitar dua minggu belakangan ini. Bahkan beberapa kali berita itu menjadi head line. Pertanyaan publik adalah, apakah sikap elit tersebut tidak ibarat ayam berkokok kepagian? Apakah ini tidak mengganggu poemerintahan di saat Indonesia masih mengalami krisis dan dan bencana?

Apakah yang dipikirkan?
Apakah yang dipikirkan Sang Bakal Calon Presiden? Adakah pemimpin kita sadar bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang menyelesaikan krisis, baik yang disebabkan oleh belum benarnya pengelolaan negara maupun oleh bencana alam yang datang bertubi-tubi? Pengumuman kesediaan menjadi calon Presiden ke tengah publik di saat pemerintahan separoh jalan bagaimanapun mengganggu pemerintahan. Itu kelihatan dengan terpancingnya elit lain bersama kelompok politiknya untuk ambil bagian dalam menanggapi isu pencalonan Presdien tersebut. Hal yang paling mengganggu tentu isu sinyal keinginnan Jusuf Kalla untuk maju dalam pemilihan Presiden. Pada hal saat ini Kalla adalah Wakil Presiden, yang semestinya bekerjasama secara maksimal dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sinyal dari Kalla itu, bagaimanapun, akan mengganggu kelancaran penanggulangan krisis. Bagi Yudhoyono, jika tidak ditanggapi dengan kedewasaan politik tentu akan “merisihkan”.
Publik melihat, para elit tersebut seakan-akan menjadikan politik benar-benar menjadi permainan yang nikmat di tengah kepahitan hidup. Ibarat main bola, para elit membikin klub, kemudian mengatur strategi dan menyusun permainan semaunya. Mereka menyerang dan bertahan kapan mereka mau, kemudian publik mendanai mereka dengan membeli karcis. Bila pemain mengarak bola mereka bersorak. Bila gol, penonton berjingkrak. Namun setelah semua klub itu bersama sang bintang mendapat hadiah dan piala, penonton pulang dengan kelelahan. Anehnya klub-klub-klub itu terus mampu menguras penonton dengan gampangnya. Tampaknya permainan ini sampai pada titik ekstase, dimana setiap orang lupa akan bahayanya di belakangan.
Pemain politik apapun, apa lagi bakal calon Presisiden RI selalu tampil mengesankan, berwibawa dan bisa menundukkan pikiran rasional masyarakat. Mereka tampil ke masyarakat dengan kata-kata bijak, santun seakan-seakan penuh dengan tanggungjawab moral semuanya. Mereka mempunyai rancangan program yang lengkap dan bijak. Tetapi apakah “kita” pantas percaya pada setiap permainan yang disajikan elit politik itu bersama paguyuban poilitik mereka? Sebab setiap pergantian presiden lain model kebijakan dan lain pula penderitaan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat seperti selalu menunggu datangnya kesejahteraan, seperti si katak ridukan bulan. Apakah pemimpin pernah memikirkanya?

Tanpa Kaderisasi
Ada fenomena pemain-pemain politik lama masih saja ramai untuk ambil bahagian pada pemilihan Presiden tahun 2009. Ini membuktikan bahwa tidak terjadi kaderisasi dalam partai politik tersebut. Politik itu jelas bergerak lamban dan menuju konservatif. Partai politik yang maju selalu memperhatikan pengkaderan dan selalu mengadakan ruling kader mereka untuk naik menjadi pemimpin.
Kita mesti juga bertanya, kenapa ada kandidat yang tak bosan-bosannya mencalonkan diri untuk menjadi Presiden, pada hal mereka sesunguhnya tidak diinginkan masyarakat. Tetapi sang bakal calon itu masih saja menjadikan lingkungan politiknya (yang tidak cerdas itu) untuk mengusungnya. Kalau diikuti pradigma sepak bola tadi, maka “kita” masih memakai pemain-pemain lama yang nafasnya sudah habis, sudah kelelahan dimakan usia. Pemain-pemain lama memang berpengalaman, tetapi tendangan mereka pasti sudah melempem. Larinya pasti tidak kencang. Kegeneiusan mereka untuk memasukkan bola pasti sudah jauh berkurang, apa lagi dalam zaman yang serba cepat ini. Zaman sudah berubah, Indonesia memerlukan pembugaran dalam segala bidang, termasuk kepemimpinan nasional. Kalau dihitung-hitung, sudah satu dekade pula berlangsung pergerakan reformasi, para demonstran yang dulu turun ke jalan-jalan raya dan merangsek ke pusat-pusat birokrasi , kini sebahagian sudah memainkan peran di dalamnya. Tetapi kenapa pemimpin mereka masih juga pemain-pemain masa Orde Baru yang berganti baju dengan reformasi? Anehnya para demonstran yang dulunya memperjuangkan reformasi, ikut pula bergabung dengan kelompok status quo yang mereka tentang, bahkan menjadi kaki tangannya.

Berjuang Tak Tahan Menderita
Bagi Agus Salim, berjuang adalah menderita, namun para tokoh pergerakan kita hari ini tampaknya jarang yang memaklumi itu. Salim memperjuangkan Indonesia dari rumah-rumah kontrakan dan kampung kumuh di berbagai tempat di Jakarta, namun saat ini pemimpin ingin berkuasa dengan kehidupan yang mewah dan kekayaan milyaran rupiah. Semboyannya saat ini, berkuasa adalah bermewah-mewah.
Bermewah-mewah, perbaikan ekonomi adalah landasan dasar untuk masuk ke ruang politik, baik menjadi pimpinan daerah, legislatif maupun menjadi presiden. Buktinya setiap pejabat-pejabat pemerintah bila sudah duduk menjabat maka mereka berusaha memperjuangakn gaji mereka, mobil, rumah dinas dan kurang peduli dengan penderitaan rakyat. Mestinya, dalam saat krisis seperti ini setiap pejabat menahan diri mereka untuk berhemat, baik lewat efisiensi gaji maupun berbagai fasilitas. Nyatanya, setiap periode jabatan, negara membuang-buang uang untuk berbagai hal yang tidak diperlukan seperti gonta-ganti mobil dinas, pembangunan rumah dinas, berbagai kebutuhan uang jalan dan uang rapat. Para pemimpin bangsa itu seakan lupa bahwa mereka hidup dalam syorga kemewahan di tengan penderitaan yang selalu mengancam bangsanya.
Mestinya sudah perlu dipertimbangkan kembali gaji dan masukan para pejabat termasuk presiden, apakah gaji peresiden dan para pejabat kita tidak terlalu timpang dengan pendapat masyarakatnya? Pada hal presiden dan pejabat-pejabat negara mendapat fasilitas yang lengkap, mulai dari rumah, kebutuhan dinas dan kebutuhan sehari-hari. Lalu presiden dan kepala daerah yang kehidupan sehari-harinya sudah ditanggung seluruh kebutuhannya, apakah masih pantas dibayar dengan gaji yang besar? Kata teman-teman, tanpa menerima gaji pun para kepala daerah dan presiden itu bisa hidup. ***

Sunday, February 03, 2008

RUANG DISKUSI

MASALAH PENDIDIKAN
Ketertinggalan kita berawal dari tidak seriusnya pemerintah dalam mengelola pendidikan. Ini berimbas terhadap berbagai persoalan. pendidikan kita centang perenang. UAN seperti main-mainan semata. Perguruan tinggi tanpa standar menajemen dan ruang pustaka yang layak. Yakinlah, kata seorang kawan, kita akan terpuruh berpuluh tahun lagi.Namun para pejabat terus berpidato dengan berapi-api untuk pembangunan bangsa.Kini bangsa kita terpuruk dari segi harga diri dan kedaulatan. Ini masalah penting yang mesti didiskusikan. Para pembaca yang budiman boleh mengirim komentar ke blog ini ata ke wannofri@yahoo.com. Nanti akan dimuat di blog ini.