Total Pageviews

Tuesday, August 22, 2006

FOSIL KULTURAL DI TANGAN GUS TF SAKAI


Foto: Suku Terasing Sungai Sadap, Batam
Judul buku: Laba-Laba
Penulis: Gus tf Sakai
Penerbit: Gramedia Pustaka UtamaTahun
Terbit: Juni 2003
Memahami cerpen-cerpen Gus tf Sakai bagi kebayakan pembaca tidaklah mudah. Cerpen-cerpen Gus mengandung banyak dimensi: sosial, psikologis, kultural, dan ada juga unsur politik. Dari 14 cerpen yang dimuat dalam Laba-Laba (Gramedia Pustaka Utama, Juni, 2003), 8 cerpen berlatar budaya yang kuat, sisanya berlatar sosial-psikologis. Namun, apa pun latarnya, tampak ia berbicara mengenai kondisi sosial-budaya kita hari ini dan masa depan. Gaya cerpen Gus yang berdimensi banyak itu adalah sesuatu yang mengasyikkan, dan mungkin juga merupakan cerpen Indonesia paling mengagumkan. Ia berbeda dari pendahulu-pendahulunya, seperti A.A. Navis, Umar Kayam, maupun cerpenis yang mendekati generasinya sepeti Seno Gumira Ajidarma.
Secara umum cerpen-cerpen Gus tf Sakai menunjukkan wawasan bacaan yang luas, mengambil masalah-masalah kultural dan lokal, bukan sekadar deskriptif tetapi mengolahnya menjadi lebih berarti dan juga mempertanyakannya. Budaya lokal di tangan Gus tf Sakai menjadi hal yang universal dan milik semua orang. Budaya lokal digunakan Gus sebagai medium, suasana, dan sekaligus mengemukakannya menjadi suatu masalah. Latar budaya digunakan secara baik sehingga memberi kesan kepada pembaca bahwa kita ada "di sana". Fosil-fosil kebudayaan di tangan Gus tf Sakai menjadi realitas baru yang memberikan rangsangan pada pikiran.Aspek kebudayaan yang diangkat dalam cerpen-cerpen ini adalah yang partikular, sesuatu yang bagi orang lain mungkin tidak menarik, bahkan bagi antropolog dan sejarawan sekalipun, tetapi bagi Gus menjadi hidup kembali. Cerpen-cerpen yang delapan itu adalah Kupu-kupu, Nagari, Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat, Pot Na Enga Tako, Wabah, Lembah Tabbenai, Tuge, dan Lowe Lomo.
Kupu-kupu, Nagari, dan Wabah mengambil latar kebudayaan Minanangkabau. Kupu-kupu menggunakan medium kupu-kupu, televisi, penonton (seseorang), dan tambo (historiografi tradisional Minangkabau). Pengarang dengan lancar membuat tambo baru: menghubungkan tambo Minangkabau dengan kupu-kupu kuda, sejenis kupu-kupu yang kata Gus sangat dibenci oleh nenek moyang orang Minangkabau. Kupu-kupu ini suka membentuk barisan seperti tentara, atasan, dan bawahan. Tidakkah ini bertentangan dengan sistem egaliter Minangkabau?
Nagari juga membuat mitos baru yaitu pohon nagari, yang sebenarnya tidak ada di Minangkabau. Nagari dalam sistem kultural Minangkabau adalah sistem pemerintahan yang otonom, sejenis republik kecil, sedangkan pada masa Orde Baru ia dibagi-bagi sehingga mengacaukan sistem sosio-kultural dan politik Minangkabau. Dalam cerpen ini nagari "dijelmakan" Gus jadi sebatang pohon yang dipertengkarkan dua keluarga. Pohon ini tumbuh di perbatasan tanah, atau dalam istilah Minangkabau disebut sipadan. Pohon itu jadi sumber malapetaka. Mereka bertaruh, bila suatu saat pohon itu tumbang ke tanah suatu keluarga maka keluarga itulah pemiliknya. Di sini Gus menghadirkan persoalan tentang kebudayaan Minangkabau ketika nagari dihancurkan oleh proses sosial politik.
Dalam Wabah Gus tf Sakai menggunakan medium budaya palasik, yang merupakan satu dari kebiasaan negatif dari sedikit orang di Minangkabau. Budaya itu sudah lama tidak dikenal masyarakat, apa lagi oleh generasi yang hidup dalam 30 tahun terakhir. Para palasik adalah pengisap darah bayi secara diam-diam, sehingga mengakibatkan kematian. Dalam cerpen Wabah ini Gus sekaligus mempertanyakan realitas budaya, mengenai sikap apriori masyarakat yang tanpa alasan, yang mengakibatkan tekanan psikologis bagi seseorang. Sedangkan Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat, Gus tf Sakai menunjukkan masalah syirik yang dieksploitasi oleh oknum-oknum tertentu sesuai dengan kepentingan. Di sini pengarang lebih banyak bicara mengenai masalah sekarang, etos kerja, dan suasana sosial masyarakat yang tidak kondusif.
Pot Na Enga Tako, menceritakan perdagangan mumi di Toraja, yang menghadapkan tradisi sakral budaya setempat (Toraja) dengan dunia modern dan bisnis. Pada cerpen ini Gus, lewat tokoh Tanete (keluarga Mumi), mengritik upacara kematian yang menghabiskan uang begitu banyak. Pada sisi lain juga tergambar begitu rasional dan pragmatisnya masyarakat lokal dalam menyikapi hidup masa depan. Tuge dan Lowe Lomo tampaknya berangkat dari pandangan terdesaknya masyarakat lokal dan marjinal. Lowe Lomo mempunyai latar belakang masyarakat Minahasa yang kemudian tidak bisa mengikuti perkembangan modernisasi. Tuge berlatar budaya suku Moni, Papua, yang dieksploitasi oleh masyarakat luar sementara masyarakat setempat tidak bisa berbuat apa-apa.
Di luar delapan cerpen tersebut, sisanya adalah cerpen-cerpen berlatar sosial dan psikologis. Ini bukan berarti cerpen-cerpen di atas tidak berbicara sosial dan psikologis, karena setiap cerpen Gus berdimensi banyak. Ia bisa dengan lancar memindahkan suatu latar ke latar lain, atau dari suatu dimensi ke dimensi lain. Dalam bercerita Gus tf Sakai meninggalkan model alur konvensional, A-Z. Ia seenaknya bolak-balik dari satu waktu ke waktu lain, dan dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan kita harus sangat teliti membacanya, karena adanya lapisan-lapisan cerita. Masa kini, masa lalu, dan masa datang mendapat tempat yang proporsional dalam cerpen-cerpen Gus.
(Sudah dimuat di ruang Buku Koran Tempo, Minggu 02 Mei 2004)