Oleh : Wannofri Samry
Seni-budaya bisa menjadi katrol pengaman dari egosentrisme lokal, suku, dan kelompok.. Rendahnya perhatian akan masalah seni-budaya mungkin salah satu penyebab dari radikalisme, kekerasan dan konflik di berbagai aspek.
Problem: Masalah seni budaya lokal Sumatara Barat saat ini berhubungan dengan arus globalisasi. Globalisasi dengan berbagai aspeknya seakan-akan menjadi “peluntur” bahkan “pemusnah” seni-budaya setempat.Perhatikan berbagai atribut seni yang masuk ke dalam masyarakat, semuanya seakan memberikan imajinasi, fantasi, pola budaya luar (terutama Eropa) yang tidak dimengerti akar sejarahnya oleh masyarakat. Budaya itu diterima oleh masyarakat karena memiliki medium atau sarana yang tersedia secara massal, seperti televisi, vcd, permainan elektronik dan sebagainya.
Pada sisi lain seni-budaya lokal tidak mendapat sarana atau media yang tepat. Televisi, radio, dunia digital lainnya tidak menyediakan ruang yang luas untuk seni-budaya lokal, ia terdesak oleh seni-budaya yang kapitalistik dan eropasentrisme. Pada hal dalam seni-budaya lokal itu sendiri mempunyai makna yang dalam, pada hal kalau seni budaya lokal bisa berkembang maka akan membentuk identitas sosial-budaya dan politik.
Ujud yang paling jelas dari pelunturan dan musnahnya seni budaya lokal adalah mulai menghilangnya seni-seni tradisi karena tidak ada regenerasi penciptaan dan pemaknaan, hilangnya dokumentasi seni-budaya karena merasa tidak diperlukan dan lain lain-lain sebagainya.
Dalam kondisi proses globalisasi yang terjadi sebagai “predator” (istilah Yasraf A Piliang) itu juga tidak adanya kebijakan yang signifikan dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk menghidupkan dan merevitalisasi seni-budaya lokal Sumatra Barat. Baik masyarakat maupun pemerintah, nampaknya memandang revitalisasi seni budaya lokal hanya sebagai membuang-buang dan dan tidak ekonomis. Itu terlihat dari minimnya perhatian, terlihat dari skala prioritas dari kegiatan dan anggaran pemerintah.
Upaya yang dilakukan: Perhatian pemerintah bukan tidak ada sama sekalai terhadap perkembangan seni-budaya lokal. Ada beberapa kebijakan yang mendukung perkembangan seni-budaya seperti didirikannya Dewan Kesenian Sumatera Barat (merupakan anjuran masa Orde Baru). Dewan kesenian itu juga muncul di sebahagian kabuptaen dan kota, seperti di Bukittinggi dan Kabupaten Limapuluh Kota, namun kegiatannya boleh dikatakan tidak jalan karena pemerintah hanya menjadikannya sebagai alat politik dan “hiburan”(peninabobokan seniman) dan tidak dijadikan sebagai lembaga penguatan budaya.
Selain itu juga ada Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya Sumatera Barat yang gedungnya berdiri di Padang. Di sini ada ruang pementasan, latihan, ruangan pameran, ruang pertemuan, taman terbuka dan mushola.Taman Budaya Sumatera Barat selama ini sering diprotes keberadaannya oleh seniman dan budayawan Sumatera Barat karena pengelolaannya tidak profesional, saranannya kurang di perhatikan dan tidak dilandasi strategi pemngembangan seni budaya yang tepat, sebab tidak melibatkan para kurator maupun orang perguruan tinggi bidang budaya.
Kemudian beberapa even-even seni juga dilakukan, umpamanya Festival Seni Pesisir, Alek Nagari Batipuah dan Penstas Seni oleh DKSB, serta beberapa even lain yang sporadis dan tidak berkelenjutan di berbagai dinas, instansi, komunitas dan lain-lain.
Hambatan: Hambatan dalam pengembangan dan revitalisasi seni-budaya sebagai medium untuk menguatkan identitas dan ketahananan nasional adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat bersama pemerintah akan pentingnya peran seni-budaya. Akibatnya adalah kurangnya inisiatif, kreativitas dan kemauan politik untuk menumbuhkembangkan seni-budaya. Konsekwensinya pemerintah sedikit sekali (bahkan tidak ada) mengalokasikan dana untuk pengembangan seni-budaya.
Pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat tidak mempunyai strategi yang jelas dalam pengembangan seni-budaya, sehingga terjadi tumpang tindih antara lembaga dan instansi dalam pelaksanaan even-even budaya. Ini tentu tidak efektif, baik dari segi pelaksanaan maupun dana.
Pada sisi lain tidak ada lembaga di tingkat kabupaten sampai ke nagari yang mendukung secara jelas pengembangan seni-budaya. Akibatnya kegiatan seni-budaya di
tingkat bawah berjalan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan militansi yang ada.
Tidak disediakan sarana dan media sampai ke nagari/pedesaan oleh pemerintah untuk pengembangan seni-budaya, sementara masyarakat juga tidak mampu mengadakan sarana itu. Akibatnya tidak terjadi pembaruan budaya, tidak adanya pertukaran budaya, tidak adanya trans budaya dan sebagainya. Kondisi seperti ini bisa mendatangkan ego budaya atau pandangan budaya sempit.
Hambatan lain dalam pengembangan seni-budaya adalah kurang baiknya menajemen organisasi, baik di tingkat pemerintah maupun di tingkat komunitas seni-budaya.
Seni-budaya bisa menjadi katrol pengaman dari egosentrisme lokal, suku, dan kelompok.. Rendahnya perhatian akan masalah seni-budaya mungkin salah satu penyebab dari radikalisme, kekerasan dan konflik di berbagai aspek.
Problem: Masalah seni budaya lokal Sumatara Barat saat ini berhubungan dengan arus globalisasi. Globalisasi dengan berbagai aspeknya seakan-akan menjadi “peluntur” bahkan “pemusnah” seni-budaya setempat.Perhatikan berbagai atribut seni yang masuk ke dalam masyarakat, semuanya seakan memberikan imajinasi, fantasi, pola budaya luar (terutama Eropa) yang tidak dimengerti akar sejarahnya oleh masyarakat. Budaya itu diterima oleh masyarakat karena memiliki medium atau sarana yang tersedia secara massal, seperti televisi, vcd, permainan elektronik dan sebagainya.
Pada sisi lain seni-budaya lokal tidak mendapat sarana atau media yang tepat. Televisi, radio, dunia digital lainnya tidak menyediakan ruang yang luas untuk seni-budaya lokal, ia terdesak oleh seni-budaya yang kapitalistik dan eropasentrisme. Pada hal dalam seni-budaya lokal itu sendiri mempunyai makna yang dalam, pada hal kalau seni budaya lokal bisa berkembang maka akan membentuk identitas sosial-budaya dan politik.
Ujud yang paling jelas dari pelunturan dan musnahnya seni budaya lokal adalah mulai menghilangnya seni-seni tradisi karena tidak ada regenerasi penciptaan dan pemaknaan, hilangnya dokumentasi seni-budaya karena merasa tidak diperlukan dan lain lain-lain sebagainya.
Dalam kondisi proses globalisasi yang terjadi sebagai “predator” (istilah Yasraf A Piliang) itu juga tidak adanya kebijakan yang signifikan dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk menghidupkan dan merevitalisasi seni-budaya lokal Sumatra Barat. Baik masyarakat maupun pemerintah, nampaknya memandang revitalisasi seni budaya lokal hanya sebagai membuang-buang dan dan tidak ekonomis. Itu terlihat dari minimnya perhatian, terlihat dari skala prioritas dari kegiatan dan anggaran pemerintah.
Upaya yang dilakukan: Perhatian pemerintah bukan tidak ada sama sekalai terhadap perkembangan seni-budaya lokal. Ada beberapa kebijakan yang mendukung perkembangan seni-budaya seperti didirikannya Dewan Kesenian Sumatera Barat (merupakan anjuran masa Orde Baru). Dewan kesenian itu juga muncul di sebahagian kabuptaen dan kota, seperti di Bukittinggi dan Kabupaten Limapuluh Kota, namun kegiatannya boleh dikatakan tidak jalan karena pemerintah hanya menjadikannya sebagai alat politik dan “hiburan”(peninabobokan seniman) dan tidak dijadikan sebagai lembaga penguatan budaya.
Selain itu juga ada Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya Sumatera Barat yang gedungnya berdiri di Padang. Di sini ada ruang pementasan, latihan, ruangan pameran, ruang pertemuan, taman terbuka dan mushola.Taman Budaya Sumatera Barat selama ini sering diprotes keberadaannya oleh seniman dan budayawan Sumatera Barat karena pengelolaannya tidak profesional, saranannya kurang di perhatikan dan tidak dilandasi strategi pemngembangan seni budaya yang tepat, sebab tidak melibatkan para kurator maupun orang perguruan tinggi bidang budaya.
Kemudian beberapa even-even seni juga dilakukan, umpamanya Festival Seni Pesisir, Alek Nagari Batipuah dan Penstas Seni oleh DKSB, serta beberapa even lain yang sporadis dan tidak berkelenjutan di berbagai dinas, instansi, komunitas dan lain-lain.
Hambatan: Hambatan dalam pengembangan dan revitalisasi seni-budaya sebagai medium untuk menguatkan identitas dan ketahananan nasional adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat bersama pemerintah akan pentingnya peran seni-budaya. Akibatnya adalah kurangnya inisiatif, kreativitas dan kemauan politik untuk menumbuhkembangkan seni-budaya. Konsekwensinya pemerintah sedikit sekali (bahkan tidak ada) mengalokasikan dana untuk pengembangan seni-budaya.
Pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat tidak mempunyai strategi yang jelas dalam pengembangan seni-budaya, sehingga terjadi tumpang tindih antara lembaga dan instansi dalam pelaksanaan even-even budaya. Ini tentu tidak efektif, baik dari segi pelaksanaan maupun dana.
Pada sisi lain tidak ada lembaga di tingkat kabupaten sampai ke nagari yang mendukung secara jelas pengembangan seni-budaya. Akibatnya kegiatan seni-budaya di
tingkat bawah berjalan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan militansi yang ada.
Tidak disediakan sarana dan media sampai ke nagari/pedesaan oleh pemerintah untuk pengembangan seni-budaya, sementara masyarakat juga tidak mampu mengadakan sarana itu. Akibatnya tidak terjadi pembaruan budaya, tidak adanya pertukaran budaya, tidak adanya trans budaya dan sebagainya. Kondisi seperti ini bisa mendatangkan ego budaya atau pandangan budaya sempit.
Hambatan lain dalam pengembangan seni-budaya adalah kurang baiknya menajemen organisasi, baik di tingkat pemerintah maupun di tingkat komunitas seni-budaya.