Oleh: Wannofri Samry
Ketimpangan dan Klaim
Kelemahan pemerintah dari masa ke masa tampaknya terjebak dalam wacana-wacana besar dan mengklaim kesuksesan-kesuksesannya dengan angka-angka statistik. Tanpa bermaksud menurunkan kredibilitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perhatikanlah iklan Partai Demokrat bersama Presiden SBY. Iklan yang bertema “Berjuang untuk Rakyat” itu menyatakan 69% rakyat puas dengan kinerja Presiden. Disana ada klaim tentang membaiknya cadangan devisa, membaiknya program pro-rakyat, menaiknya anggaran kesehatan dan pendidikan, serta membaiknya produksi beras, pemberantasan korupsi dan penghasilan. Kemudian klaim pemerintah juga mengenai penurunan beberapa harga sembako serta pengurangan pengangguran, kemiskinan dan hutang negara. Klaim-klaim seperti ini tentu selalu dilakukan oleh semua penguasa, sejak Soekarno sampai SBY. Klaim-klaim demikian, akhir-akhir ini hampir memenuhi ruang-ruang media massa.
Realitas berbeda, sebagai kaca lain, ruang publik sangat pantas menjadi kaca bersama. Apa yang diklaim pemerintah di berbagai media menjadi jauh berbeda dari pada apa yang terjadi di tengah masyarakat. Dari sektor pembangunan umpamanya, apakah terjadi peningkatan pembangunan jalan raya yang di luar Jawa sejak awal reformasi sampai saat ini? Jalan-jalan luar Jawa, sebagai sumber penyalur devisa yang sangat besar, masih saja ketinggalan sekian kali lipat dibandingkan dengan jalan-jalan raya di Jawa. Semua orang berpikir ulang jika ingin menempuh jalan-jalan raya di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, apa lagi di Papua. Infrastruktur-insfrasturktur pembangunan luar Jawa tetap hanya menjadi wacana yang menarik di ruang-ruang umum dan media massa, namun pembangunan di sana berjalan seperti semut.
Ketimpangan pembangunan seperti itu tentu akan tetap mengendapkan keirian, kedengkian dan tensi emosi. Makanya, pemekaran-pemekaran wilayah di berbagai daerah pada saat ini dianggap sebagai solusi terbaik oleh banyak orang, sebab memang ada daerah-daerah yang berkembang lebih pesat setelah diadakan pemekaran. Namun, realitasnya pemerintah sangat lemah dalam menjalankan pemerintahan sehingga demokrasi dan budaya menerabas dan mobokrasi tidak terkawal. Pemerintatah juga tidak mempunyai kearifan yang tinggi untuk meratakan pembangunan sejak awal
Kekacauan Budaya Publik
Saat berjalan di ruang publik semua orang boleh berpikir dan frustrasi; kenapa sesuatu yang diklaim pemerintah di media massa tidak ditemukan di ruang-ruang publik? Klaim pemerintah selalu menunjukkan peningkatan pada setiap tahun namun di ruang publik realitas itu tidak ada. Setiap orang, dengan kasat mata, bisa melihat orang setengah mati(kelaparan) bergelimpangan di kota-kota karena tidak makan berhari-hari.
Jika orang memperhatikan infrastruktur publik maka tampaklah pemerintah membangun kepentingan publik itu dengan setengah hati. Pasar-pasar yang tidak sehat dan becek, jalan raya yang tidak kunjung bertambah baik di saat tidak adanya kebijakan pembatasan kenderaan bermotor, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak teratur dan memadai, masyarakat yang keluar dari sistem aturan karena tidak adanya penegakan aturan dengan baik dan sebagainya.
Jalan raya sangat tepat sebagai reprsentasi keseluruhan daripada kepribadian dan budaya demokrasi yang sedang kita lewati. Di jalan raya bisa diperhatikan bagaimana kepribadian bangsa ini sedang mengalami kekacauan yang sangat parah; di sana tampak budaya korupsi, kesembronoan, keengkaran dan menerabas. Pada jalan raya tidak muncul kearifan budaya yang sebenarnya berkembang subur di berbagai budaya etnis di seantero Indoensia. Di jalan raya susah dibedakan siapa ustaz, guru, aparat, kaum professional, birokrat, preman dan sebagainya; semuanya menempuh jalan raya dan cara yang sama; tidak beretika. Lihatlah motor menyalib kiri-kanan, tidak mau antri saat macet, menyerempet ke jalur trotoar di mana pejalan kaki sudah terdesak, masuk ke jalur bus way secara sembarangan. Para pengendara seenaknya berhenti di persimpangan, angkot berhenti di jalur-jalur terlarang, bus umum menurunkan penumpang di tengah jalan raya. Di pinggir-pinggir jalan gerobak asong berdiri seenaknya, di sana juga banyak warga yang kencing dan membuang sampah sesukanya. Ini adalah wajah Indonesia yang sedang mengalami kekacauan budaya atau terlepas dari orbit-orbitnya.
Umumnya, di ruang publik orang merasa berkepentingan dan merasa berhak walaupun sering melanggar kepentingan hak orang lain. Orang tidak perlu terikat sama budaya dan sistem yang dibuat, karena sistem itu juga tidak pernah dibentuk secara baik dan ditegakkan secara konsisten. Walaupun begitu banyaknya pelanggaran di ruang publik secara kasat mata, yang membahayakan banyak nyawa, tetapi jarang ditegur, diberi sanksi atau didera secara kosisten. Semuanya bisa tarik ulur sesuai dengan kepetingan saja. Semua tidak berjalan menurut aturan yang dibuat. Maka, Orang membuang sampah dan kencing di ruang-ruang
Peran Media dalam Abnormal
Saat wakil-wakil rakyat kurang menyuarakan kepentinhgan publik dan ketika para birokrat kekuranagn nyali dan tidak mau peduli dengan kebijakan-kebijakan kerakyatan, semestinya media memainkan peran besar dalam mendorong pemerintah untuk memperhatikan masalah-masalah publik. Sebab media menurut Melvin L De Fleur akan mampu mengarahkan sikap dan tingkah laku orang untuk bertindak. Karena itu, dalam sistem yang abnormal, di mana orang-orang terlepas dari orbitnya atau belum mempunyai jati diri sama sekali, maka media
Saat ini, dalam kondisi pers yang non-perjuangan, pertimbangan kapital tampknya lebih mengemuka. Media terjerat iklan dan hubungannya dengan birokrat(sosok yang juga ber-uang). Maka media tidak mampu tampil sebagai wali oposisi, media lebih suka bermain dalam wacana-wacana besar demokrasi dan aman; politik pemilihan presiden dan berbagai hal yang terkait dengan hingar-bingar politik. Media kurang menyediakan halaman untuk menata sistem dan mengekspos masalah-masalah kerakyatan. Kalau pun ada, itu pun kutipan-kutipan dari elite partai sebagai serangan terhadap elite lain. Media menjadi terlalu elitis untuk banyak orang.
Laporan-laporan utama media memang sering mengejutkan, dan menyenangkan untuk dibaca. Namun banyak media yang hanyut ke dalam wacana-wacana besar demokrasi. Ia memang membangkitkan nyali-nyali demokrasi dan politik kebangsaan namun tidak akan memberikan apa-apa kepada rakyat yang tak berdaya. Kejutan-kejutan media masih jauh dari ide-ide kesejaheteraan rakyat bawah.; the big shot-nya masih berkisar masalah-masalah partai, legislatif, wacana penangkapan korupsi, BUMN, dan lain-lain. Ia kurang memberitakan kepentingan-kepentingan publik yang urgen seperti kondisi pemukiman rakyat yang tidak sehat, etika dan tidak tegaknya sistem transportasi rakyat, jumlah pajak rakyat yang tidak seimbang dengan pembangunan infrstruktur dan lain-lain. Pers tidak mampu secara konsisten dan sistemik mendorong pemerintah untuk membangun insfrastruktur publik yang nyaman.