Total Pageviews

Monday, February 05, 2007

KOTA TERCINTA, KOTA TERMINAL

Oleh Wannofri Samry

Membaca riwayat kota Padang, sambil duduk di Pantai Muara, lalu berjalan menyusuri Pantai Purus arah ke Utara sungguh sangat menyenangkan. Kita bayangkan sekitar satu setengah abad yang lalu kapal-akapal asing berlabuh. Sejauh-jauh mata memandang lautan benar-benar biru. Di sana sun set terbenam di sore hari. Masa depan terasa indah. Pantaslah dulu Padang diberi julukan Padang Kota Tercinta. Semboyan itu jelas terasa mengandung unsur empati dan simpati, sejuk, damai, dsb.
Masa tahun 1980-an Padang menjadi kota teladan, paling tidak kota inilah sebagai penggagas pengumpulan sampah dengan kantong plastik. Kota bersih. Di mana-mana masyarakat takut buang sampah karena takut kena denda.
Kita masih ingat, terminal dalam kota, Andalas namanya. Sekitar 200 meter dari sana juga ada terminal oplet. Tak ada macet, karena memang penduduknya masih belum seperti sekarang. Lagi pula tidak ada pula plaza dan supermarket, yang ada adalah Pasar Raya, Pasar yang merakyat. Namun Padang masuk ke hati masyarakat, sebagai Kota Tercinta.
Sudah berjalan satu generasi, 26 tahun yang lalu. Padang berubah wajah. Plaza dan supermarket bermunculan. Mobil dan Honda mulai bertebaran dan berseliweran. Di mana-mana macet. Terminal Andalas berubah menjadi Andalas Plaza, megah. Ini Plaza kaum megapolis, berwajah kapitalis global. Di bekas terminal oplet, atau eks Goan Hoat, mucul pula super mall baru. Jadi bangunan-bangunan beton sebagai wujud kemodernan muncul.
Siapapun tidak ada yang takut munculnya bangunan-bangunan beton, walaupun ada kalanya menyesakkan pasar rakyat dan menggaggu ekologi kota. Walaupun kadang kala kota jadi sumpek.
Beberapa masalah yang dicemaskan oleh warga kota adalah pembangunan yang tidak berorientasi rakyat dan lingkungan. Kota dibanguna sejarah digusur, kota makin sumpek, sampah m,enjadi berseliweran di mana-mana, jalan-jalan jadi macet dan sebagainya. Masalah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat kota tentulah bukan melulu masalah investasi dan fisik. Penting juga dipermbangkan adalah kedamaian, ketenangan dan keamanan.
Entah orientasi pembangunan yang salah atau kebijakan yang tidak pada tempatnya, yang jelas sampah bertebaran dimana-mana. Tong-tong sampah yang dibangun di berbagai sudut kota hanya menjadi tempat pembusukan belaka dan sampat berseliweran di sekitarnya. Artinya Tong sampah menambah penyebaran sampah.
Macet sudah menyebar di mana-mana. Kemacetan mungkin belum disebabkan oleh kekurangan jalur, sebab banyak- jalur-jalur tertentu yang kosong. Tampaknya ada miss policy dalam mengatur jalur.Lihatlah, dimana-mana sudah menjadi terminal, ada Terminal Minang Plaza, Terminal Angkot di depan mesjid Muhammadyah, di Simpang Cangkeh, di depan Rocky Plaza, di Jalan Permindo, pokoknya tidak jelas mana yang jalan dan mana yang terminal.
Kini Dinas Perhubungan Kota Padang sibuk pula mengatur jalur Utara-Selatan agar bus-bus antar kota masuk kota. Ini adalah sebuah kemunduran dan menghabiskan energi. Memberikan kebijakan untuk masuk terminal yang sudah diterapkan sebelumnya itu sudah tepat, tetapi bagaimana mendisiplinkan mereka. Kota-kota moderen tidak ada yang busnya masuk kota, sebab kota sudah beggitu macet. Lagi pula bila bus antar kota masuk kota juga memprsempit pendapatan pengusaha angkot dan memperlambat pengembangan kawasan lainnya.
Terminal Bingkuang sudah dibangun dengan milyaran rupiah, tempatnya sudah baik. Itu positif untuk pembangunan dan pengembangan kota. Tetapi kenapa Terminal Bingkuang masih belum bisa dimaksimalkan pada hal sudah mau hancur pula?
Di manapun Terminal bus, kalau masyarakat membutuhkan pasti dicari masyarakat penggunanya. Itu jika sistem dn pengaturannya jelas. Terminal akan ramai bila penggunanya memang terkait dengan terminal tersebut. Umpamanya di sana ada kawasan pertokoan, grosir, perkampungan dan sebagainya. Kemudian bagi masyarakat yang penting adalah terminal tersebut aman, nyaman dan ada transportasi yang baik untuk ke sana. Bagi pemilik bus, aturan termninal dipatuhi jika memang ada aturan yang jelas dan kebijakan yang tegas.
Selama ini terkesan pemerintah ragu-ragu menerapkan aturan. Terminal dibangun, bus antar kota disuruh masuk terminal sementara “bus-bus nakal” dibiarkan ngetem di luar terminal tanpa ada sangsi yang konsisten. Ini tentu merugikan sebahagian pengusaha dan sopir yang patuh pada aturan.
Kini pembangunan dan kebijakan kota mesti dikaji ulang dengan melibatkan seluruh ahli, baik dari pemerintah maupun dari perguruan tinggi serta dari berbagai bidang ilmu. Kota ini mesti diatur dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan ilmu kira-kira. Karena kadang kala, ada yang dilihat baik tetapi secara ilmu pengetahuan tidak baik. Mungkin tidak baik jika kita hanya memberi obat untuk penahan sakit sementara sakitnya terus berkembang, tetapi bagaimana kita mencari solusi jangka panjang. Seiring kata orang bijak, “kita jangan menunda kekalahan”, begitu juga dengan kehancuran sebuah kota”. Karena itu mari dibela.***