Oleh Wannofri Samry*
“mata hari meninggi, kemaren kau sama-sama tidur di ruangan yang sama, kini temanmu berlari jauh, jauh dan jauh. Kau adalah si Minang yang terbangun di pojok nagari dengan badan yang berat”
Tanggal 19-21 Oktober 2007 para saudagar asal Minangkabau mengadakan acara Silaturrahmi Saudagar Minang(SSM) se-dunia. Mereka berkumpul di Pangeran Beach Hotel Padang, Sumatera Barat. Ini adalah pertemuan yang sangat prestisius. Selain mempertemukan seluruh saudagar asal Minangkabau dari seluruh dunia juga dinyatakan sebagai peninjauan kembali keberadaan seluruh saudagar Minangkabau yang sebelum kolonial Belanda terkenal menguasai jalur Pantai Timur dan Barat Sumatera (antara entrepot dagang Padang Pariaman/Padang dan Malaka). Kini peran mereka tidak kelihatan lagi. Ada apa dengan orang Minangkabau dan nilai-nilai entrepreneurship yang melekat pada masyarakatnya?
Beberapa Fenomena
Sejak meletusnya peristiwa Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI) tahun 1958 yang melibatkan berbagai elemen di Sumatera, terutama masyarakat Minangkabau, maka dirasakan adanya penyusutan peran orang Minangkabau. Bahkan oleh Harun Zain(mantan Gubernur Sumatera Barat) dihubungkan dengan hilangnya rasa percaya diri orang Minangkabau. Fakta politik pasca PRRI menunjukkan terjadi pengucilan politik terhadap tokoh-tokoh penting asal Minangkabau dan mereka yang terlibat PRRI umumnya.
Pembangunan mental orang Minangkabau dimulai kembali tahun 1960-an lewat isntitusi pendidikan Universitas Andalas, yaitu dengan mendukung penuh program pemerintah pusat dan mengonsentrasikan diri dalam pembangunan fisik. Hal itu ditunjukkan dengan diadakannya Seminar Pembangunan I (1964) oleh Universitas Andalas di bawah arahan Harun Zain.
Dari berbagai seminar (setidaknya sejak 1970-an) terindentifikasi bahwa terjadi kegelisahan yang sangat dalam pada diri masyarakat Minangakabu. Orang Minangkabau merasakan kian berkurangnya peran mereka di pentas nasional, baik dari sisi ekonomi maupun politik, dua bidang ini terasa menonjol sebelum kemerdekaan. Menurut Taufik Abdullah(1992) sekitar 1930-an orang Minangkabau yang masuk lngkaan elit nasional ada sekitar 30%, sementara tahun 1950-an 11%. Julah ini tentu terus menurun walaupun sebahagian orang Minangkabau tetap menepuk dada bahwa orang Minangkabau masih dominan di tingkat nasional(Padang Ekpres, Jumat 19 Oktober 2007). Namun, pernyataan bahwa “orang Minangkabau masih dominan” itu menyelipkan kerisauan akan masa depan peran orang Minangkabau di masa depan.
Berkurangnya peran orang Minangkabau itu dijawab oleh pemerintah Sumatera Barat bersama para perantau dengan merevitalisasi kolaborasi antara kampung halaman dengan rantau. Beberapa hal yang dicoba adalah dengan membuat Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) di awal 1990-an dan membuat NDC (Nagari Development Cooperation). Niatnya, lembaga ini diharapkan mampu menggaet orang rantau untuk menanamkan investasinya di kampung halaman. Tetapi oraganisasi yang berpradigma ekonomi-materialistis itu gagal, baik dilihat dari sisi investasi yang ditanamkan di kampung halaman maupun dari sisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu Gebu Minang direvitalisasi lagi di awal tahun 2000(?) dengan menjadikannya Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangakau. Artinya pradigma budaya dijadikan sejalan dengan pradigma ekonomi. Tentu ini kesadaran kembali, bahwa budaya secara historis adalah bahagian penting dari gerakan kemajuan di Minangkabau. Kegagalan ekonomi juga berarti kegagalan budaya, yang sejak 1970-an terasa diabaikan.
Kegagalan memainkan peran di pentas nasional secara ekonomi dan politik, maka orang Minangkabau mencoba berkolaborasi dengan elit dari etnis lain yang dianggap mampu membantu mengangkat peran dan eksistensi orang Minangkabau. Realisasi kolaborasi ini adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh penting di luar etnis Minagkabau sebagai Datuk (penghulu suku). Beberapa tokoh di luar etnis yang pernah dilewakan (dikukuhkan) sebgaai Datuk adalah Dr. Mustari Pide (Makasar), Hamengkubuwono X (Yogyakarta), Taufik Kiemas (Lampung), Anwar Nasution (Mandailing), dan Susilo Bambang Ydhoyono (Jawa). Alasan orang Minangkabau untuk mengangkat tokoh-tokoh ini adalah untuk menjadikan kemanakan mereka terlindung atau mempunyai mamak di rantau. Ini, tentu kental muatan ekonomis dan politisnya. Realisasinya, muatan politis lebih menonjol dari ekonomi.
Bagi masyarakat Minangkabau yang ada di kampung halaman, malewakan tokoh lain sebagai Datuak, dengan akar budaya dan historis yang dicari-cari, tetap menjadi pertanyaan besar dan mengacauakan cara berpikir budaya Mianangkabau. Itu dianggap sebagai bahagian kegiatan politis saja dari elit-elit Minangkabau. Sementara pada sisi lain menunjukkan ketidakberdayaan orang Minangkabau dalam bertarung di kancah nasional dan global. Pengangkatan tokoh lain sebagai Datuak adalah jalan pintas yang menerabas.
SSM yang digagas oleh pihak rantau dan kampung halaman adalah revitalisasi juga terhadap kegagalan gerakan Gebu Minang dan masyarakat kampung dalam mengangkat ekonomi daerah. Sekali lagi, nampaknya ini akan kental juga fenomena ekonomis dan politisnya. Dalam talkshow yang yang digelar TVRI Sumbar tanggal 17 Oktober 2007 terlihat bahwa SSM gunanya adalah untuk menjawab rendahnya Anggaran Pendapat Daerah yang hanya kurang dari 2 trilyun. Artinya pradigma pembangunan Sumbar belum berubah sejak tahun 1970-an; ekonomis-materialistis.
***
Christine Dobin(1992) menjelaskan bahwa kebangkitan enterpreneur Minagkabau selain berkaitan dengan kebangkitan Islam dalam akhir abad ke-18 dan awal abad ke19 juga berhubungan dengan cara orang Minangkabau memandang dirinya di tengah-tengah percaturan dunia. Orang Minangkabau melukiskan daerahnya di sebuah peta yang dinukilkan oleh Dobbin adalah negeri yang paling elok. Orang Minangkabau menempatkan daerah mereka di dataran tinggi dengan puncaknya gunung berapi dan lembah-lembahnya adalah persawahan dan perkebunan yang subur. Sementara bahagian lain adalah negeri yang tidak teratur. Posisi geografis itu dijadikan sumber spirit untuk mencapai keunggulan di tengah-tengah bangsa lain. Hal penting yang dimiliki oleh orang-orang dataran tinggi adalah kerja keras, dinamis dan menaklukkan alam. Kondisi itu membangun mentalitet merantau dan menjadi saudagar. Perantau dan saudagar adalah dua sosok yang siap singgah di setiap lapau dan kampung, siap jatuh dan bangun. Ini sejalan dengan sikap orang gunung yang bisa menaiki dan menuruni lembah untuk mendapatkan hasil-hasil alam, dan bangun lagi setelah jatuh berburu di antara semak belukar.
Saat ini yang terjadi adalah kerapuhan mental orang Minangkabau. Kerapuhan mental ini, mungkin ada hubungannya dengan sikap politik orang Minangkabau dan pengaruh global yang kuat. Secara politis, pasca PRRI Harun Zain menghembuskan ruh inferiroritas ke tengah masyarakat Minangkabau, di mana orang Minangkabau dianggap sebagai orang-orang kalah dan harus tunduk kepada pemerintahan pusat secara berlebihan. Penghembusan ruh “orang-orang kalah perang” ini menciutkan mental orang Minangkabau dan secara politis menggiring ke bentuk pemahaman politik pembangunan yang sentralistis. Imbasnya memang ada bahwa masa Orde Baru orang Minangkabau banyak menjadi menteri. Anggaran Belanja Pembangunan nasional memang banyak mengalir ke Sumatera Barat. Tetapi orang Minangkabau ibarat kerbau yang ditusuk hidungnya; mereka bisa dihela kian kemari tanpa kepribadian yang jelas. Orang Minangkabau kehilangan daya kreativitas, kehilangan dinamika individual, dan semangat perantau serta entrepreneurship mereka tidak berkembang. Umumnya pada masa Orde Baru para pejabat-pejabat Minangkabau menjadi orang senang dan malas berpikir untuk membangun masyarakatnya, karena semuanya sudah disediakan oleh pusat.
Masyarakat mencari kreativitas sendiri tanpa berlandaskan budaya yang jelas. Para saudagar Minangkabau tidak terbina, mereka berjuang mencari hidupnya sendiri-sendiri. Pedagang Minangkabau malas mengikuti proses yang jelas dan tidak mencerminkan sikap enterpreneurship yang ulet.. Kesan orang berhadapan dengan pedangang Minangkabau adalah bengkok, sebuah cap yang unproductive untuk para saudagar. Tetapi sulit juga dipungkiri, kesan orang banyak (baik tamu, orang rantau maupun orang kampung) bahwa para saudagar Minangkabau banyak yang culas dan kasar. Di Pasar Raya Padang umpamanya, jika ada yang terlalu lama menawar barang, namun tidak jadi membeli, maka calon pembeli akan dikasari dengan kata-kata X (maaf, untuk menyebut suatu yang tabu di Minangkabau). Begitu juga kalau membeli buah-buahan, sudah menjadi rahasia umum kalau membeli 1 kg akan didapat 7 atau 8 ons. Ini adalah sikap saudagar yang tidak baik. Buruknya etika bisnis ini mungkin salah satu penyebab yang menghalangi tumbuhnya saudagar besar asal Minangkabau saat ini.
Di bidang pendidikan terjadi penurunan yang drastis, ini terlihat dari rendahnya Posisi Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa di Sumbar tahu 2003. Kejadian itu menyentak seluruh masyarakat, yang selama ini memitoskan bahwa pendidikan sumatera Barat adalah baik, dan secara historis daerah Sumatera Barat merupakan tempat belajar bagi orang lain termasuk dari Singapura dan Malaysia. Rendahnya posisi UAN kemudian disiasati oleh pemerintah agar pada tahun berikutnya terjadi peningkatan. Tetapi usaha untuk meningkatkan kualitas UAN di Sumbar tidak dilakukan dengan sungguh-sunguh, tetapi dengan jalan pintas. Ada fenomena bahwa secara birokratis anak-anak diberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan. Berdasarkan survey (2007) yang dilakukan, sekitar 90 % peserta UAN di SMA bekerjasama dengan guru dan Panitia untuk mendapatkan nilai tertinggi. Artinya UAN hanya sekedar main “teater bersama” , sekaligus mewarisi sikap menerabas kepada generasi muda.
Dalam bidang politik marak digunakan simbol-simbol agama. Fenomena ini bisa diamati saat pemilihan kepala daerah, para kandidat berebut naik ke mimbar untuk berkhotbah dan menebar-nebar ayat-ayat Al Quran untuk mengesankan alim dan menempelkan ayat-ayat alquran dimana-mana. Kalau hari-hari biasa para politikus yang tidak biasa ceramah agama maka pada pesta-pesta politik mereka pun ikut memberikan pengajian. Para kandidat juga memanfaatkan ulama sebagai alat legitimasi politik, baik sebagai tim kampanye maupun sebagai wakil kepala daerah. Prilaku ini mendegradasikan nilai ulama yang sesungguhnya. Sementara kenyataan lain di tengah masyarakat juga terjadi kelangkaan ulama yang sunguh-sungguh berilmu dan kaffah. Ada fenomena bahwa sebahagian besar ulama Sumatera Barat yang aktif saat ini tidak memiliki sumber daya yang bagus, sehingga keulamaan mereka hanya sebatas ceramah ramadhan, ceramah subuh dan hari-hari ritual Islami lainnya. Dari Sumatera Barat tidak ditemukan lagi ulama yang militan seperti Hamka, Natsir, A.R. Sutan Mansur, Dt. Palimo Kayo(sekedar menyebut beberapa nama yang ada dalam memori kolektif ). Ulama-ulama itu adalah ulama perantau, pemikir, sekaligus aktif memberdayakan masyarakatnya sesuai dengan tantangan zaman. Kini mungkin ada beberapa ulama yang pemikir dan aktivis seperti Buya H. Maso’ed Abidin dan Prof. Dr. H. Bustanoedin Agus, MA, yang lain mungkin seperti ulama-ulama kebanyakan, antara ada dan tiada. Ini juga tantangan lain bagi orang Minangkabau.
***
Minangkabau memang selalu gelisah sejak dulu kala, tetapi jangan menjadi Mingakabauers yang schizophrenic, yang tidak mempunyai identitas. Seperti manusia yang tidak tahu menggerakkan sarafnya secara teratur untuk menjawab tantangan masa depannya. Di mana-mana orang Minangkabau gelisah karena kemajuan orang lain dan ketertinggalan diri mereka. Padang yang menurut catatan G.W. Prothero merupakan kota terbesar di Sumatera pada awal abad ke-20 kini sudah menjadi tertinggal dari Medan, Palembang, Pekanbaru dan Lampung. Pekanbaru yang awal abad ke-20 sampai 1970-an tidak lebih dari kota Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok, kini berkembang pesat menjadi pusat peradaban baru. Padang yang dulu pusat pers kini digeser Pekanbaru dan Lampung. Pendidikan bergerser ke Sumatera Utara. Dari sisi ekonomi pendapatan daerah Sumatera Barat tertinggal dari propinsi-propinsi lain di Sumatera. Orang Minangkabau memang sedang dirundung malang dari berbagais sektor. Apakah yang mau dibanggakan orang Minangkabau selain mitos sejarah-budaya dan gadang ota di lapau? Suka maota di lapau rupanya juga tidak menjamin orang Minangkabau jadi diplomat Pada tahun 2000, dari 53 orang orang yang diterima sebagai diplomat, tak satu pun orang Sumatera Barat(www.kompas.com/ Selasa, 1 Juli 2003).
Bisa jadi pernyataan Dahlan Iskan jadi benar, jangan-jangan kota-kota Sumatera menjadi kota kecil saja di suatu saat, ini sudah dibuktikan oleh sejarah, seperti Muara Takus yang menjadi tersuruk di pedalaman dan Damasraya yang dulu pusat Melayu menjadi terpuruk sekian lama. Bisa jadi Padang dan kota-kota lain di Sumatera Barat juga akan mengalami nasib yang sama.
Membangun Pradigma Baru
Sebagaimana isu yang dilansir bahwa SSM 2007 diharapkan bisa menjadi titik awal kebangkitan orang Minangkabau atau paling tidak menyusun strategi baru dalam menghadapi masa depan yang berat. Namun hendaknya SSM jangan hanya membangun strategi ekonomi dan melepaskan diri dari landasan sosial-budaya, walaupun keberlangsungan sosial budaya sangat erat kaitannya dengan ekonomi. Namun penguatan sosial budaya juga mendukung kesuksesan ekonomi. Kalau sejak tahun 1970-an pembangunan Sumatera Barat menggunakan pradigma ekonomi yang hasilnya adalah lemahnya dinamika orang Minangkabau dibandingkan etnis lain, maka saat ini sudah saatnya mengedepankan pradigma sosial-budaya dengan memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi.
Kekuatan-kekuatan budaya Minagkabau itu ada pada dialektika adat dan Islam serta pendidikan moderen. Adat dan Islam yang dimaksudkan bukan sekedar memperbanyak ritual-ritual semata tetapi megelaborasi nilai-nilai dan mengkongkritkannya dalam kehidupan yang lebih kreatif. Tampaknya belum ada kajian-kajian kreatif tentang adat dan Islam di Minangkabau yang berbuah pada strategi pengetahuan, teknologi yang bisa dikongkritkan.
Pendidikan adalah pra syarat penting untuk dimajukan, yang saat ini pendidikan di Sumatera barat tidak unik dan tidak lebih maju dibandingkan daerah lain. Pendidikan bukan hanya sekedar membangun gedung dan fisik tetapi juga isi. Penyediaan buku, labor, pustaka, guru-guru berkualitas hendaknya jangan sekedar wacana sepanjang tahun. Kalau dilihat banyak sekolah-sekola yang tidak memenuhi pra syarat itu. Sekolah-sekolah banyak yang tidak punya perpusatakaan, kalau ada hanya memiliki koleksi belasan dan puluhan buku. Komputerisasi tidak dilengkapi untuk meninjau “dunia sana” yang penuh dinamika. Guru-guru banyak yang tidak kreatif sehingga kaku memberikan pelajaran. Akhirnya sekolah bagi anak tidak menarik dan membosankan. Anak-anak banyak bermain-main saat istirahat, tidak membaca dan melakukan kegiatan kreatif.
Perguruan tinggi di Sumatera Barat “banyak promosinya” dari pada memenuhi kelengkapan perguruan tinggi. Perguruan tinggi di Sumatera Barat “ranjau” (rancak jauah) sementara isinya melompong. Labor-labor tidak dilengkapi, pustaka hanya sesudut ruangan, kalaupun ruangannya luas koleksinya jauh tertinggal dan tidak didukung oleh sistem dan sumber daya yang bagus. Sistem perpustakaannya manual sehingga menghabiskan waktu untuk menelusuri koleksinya. Alat-alat pengajaran tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk menstrasfer ilmu kepada mahasiswa.
Perhatian terhadap sumber daya juga minim, baik terhadap tenaga pengajar maupun terhadap tenaga administratifnya. Sehingga pengajaran dan administrasi tidak bergairah dan membosankan. Akibatnya adalah kegiatan pengajaran yang asal jadi. Ini adalah pangkal bala kemacetan kemajuan.
Lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman seperti surau dan mesjid juga mengalami ritualisasi semata, surau dan mesjid bukan menjadi lembaga yang terintegrasi dengan perkembangan zaman. Dalam bidang pendidikan tidak ada surau/mesjid yang mempunyai perpustakaan, pada hal lembaga ini ini pusat kegiatan umat. Selayaknya setiap mesjid mengoleksi buku-buku pemikir-pemikian Islam dan kemajuan secara lengkap sehingga setiap saat bisa diakses oleh ummat. Organisasi Muhammadyah, Perti , Aisyiah atau organisasi lain yang eksis di Sumatera Barat juga banyak menceburkan diri mereka dalam kegiatan politik, organisasi-organisasi yang semestinya juga bisa memainkan peran itu ternyata tidak mempunyai “mimpi besar” untuk kemajuan seperti di zaman pergerakan. Karena itu semestinya setiap elemen perlu memperbaharui spirit untuk lompatan yang jauh.
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan sudah saatnya untuk didongkrak dengan signifikan jika Sumatera Barat tidak terus merosot. Kesan selama ini Pemerintah Daerah berlimpah uang untuk berbagai kegiatan, sementara lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi berjalan terseok-seok dengan dana yang minim. Untuk ini hanya kesadaran akan pendidikan dan kemajuan yang bisa membuat Pemerintah Daerah turunkan tangan sepenuhnya untuk membantu pendidikan, baik dalam pengembangan fisik, operasional maupun pegembangan sumber daya.
Epilog
Seorang teman bertanya apakah orang Minangkabau masih memitoskan sejarahnya pada tahun 2020, ketika setiap ruangan bisa terhubung nirkabel? Masih adakah mahasiswa kedokteran dari Malaysia yang belajar di Universitas Andalas? Masih belajarkah orang Sumatera Barat mengelola Pariwisata ke Malaka? Masih mengimpor sepeda motor dan mobilkah kah kita dari belahan Asia? Masih kah kita berbicara mengenai bagaimana cara bangkit? Masih kah kita berbicara kembali ke surau dan ke nagari? Jawabannya ada pada kesungguhan “kita”. Waktu yang akan menentukannya.***