Setiap ada iven sejarah seperti Hari Ulang Tahun RI maupun pada Hari Pahlawan sering muncul kalimat-kalimat “menipisnya rasa kebangsaan generasi muda.” Ini terutama diucapkan oleh elite , terutama para pejabat Negara. Kalimat itu seakan menjadi isu wajib yang tidak kering-keringnya untuk diolah, kemudian digulirkan dalam berbagai kegiatan politik seperti indokrinasi, upacara bendera, dan mungkin seperti masa lalu diharuskannya penelitian khusus untuk calon pegawai negeri.
Isu yang paling baru dikemukakan oleh KASAD, Jenderal Djoko Santoso, dalam acara Lokakarya Kebangsaan/Patriot Leadership Development Center (PLDC) pada tanggal 13-15 Agustus 2007. Jenderal Djoko Santoso mengmukakan bahwa negara bangsa Indonesia dikepung oleh globalisasi dengan ikonnya tekonologi informasi dan komunikasi. Ini disebut-sebut sebagai biang akan berakhirnya negara bangsa. Selain itu KASAD juga mengemukakan neokapitalisme, neokolonialisme, neoliberalisme dan neokomunisme sebagai penyebab menipisnya kebangsaan. (Harian, Kompas, 20 Agustus 2007). Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong secara ekstrim, bahwa “kalau Indonesia gagal menerapkan Pancasila dalam 10 tahun ke depan Negara ini akan pecah”.
Nada-nada seperti yang dikutip di atas sudah sangat sering dikemukakan, nada-nada seperti itu seakan-akan kebenaran. Pada HUT RI ke-62 tahun ini rasa kebangsaan malah dihubungkan secara horizontal dengan penghormatana bendera merah putih, kesetiaan menaikkan dan menurunkan bendera, bahkan anak-anak muda yang berdemonstrasi dan membawa merah putih dan mengibar-ngibarkannya dianggap sebagai anak-anak yang menipis rasa kebangsaannya. Benarkah demikian? Tidakkah ini cara generasi tua yang lebih menginginkan orang muda seperti dirinya? Tapi untunglah dalam lokakarya yang dibina oleh KASAD itu muncul nada yang sangat optimis dan fair dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa generasi sesudahnya lebih tegas nasionalismenya.
Nasionalisme dan Ritual Kebangsaan
Kalau diamati konsep nasionalisme maka ia akan berbeda dengan ritual kebangsaan. Ritual kebangsaan muncul dengan wujud fisik, seperti upacara nasional, menaikkan bendera bila ada iven bersejarah dan nasional, hafal lagu kebangsaan, dan sebagainya. Tetapi tidak bisa dituding bahwa mereka yang tidak melakukan ritual kebangsaan mempunyai ideologi nasionalisme yang tipis. Karena sangat banyak warga negara yang jarang upacara nasional begitu tersinggung ketika bangsa asing seakan-akan mengancam bangsa Indonesia. Cuma, wujud kebangsaan itu berbeda-beda aktualisasinya. Sementara ritual kebangsaan seperti upacara dan menaikkan merah putih hanyalah sebagai bahagian “perapian” saja dari nasionalisme, walaupun itu tetap juga bahagian yang penting dari sebuah bangsa.
Nasionalisme sering dihubungkan dengan “sejarah bersama” dan “nasib bersama”, sebagaimana juga dikemukakan Prof. Muladi di dalam Lokakarya PLDC 14 Agustus lalu (dikutip Harian Kompas, Senin/20 Agustus 2007). Kalau dicermati, bila nasionalisme lebih dihubungan pada faktor historis tentu punya resiko, terutama untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis; mereka mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Karena pada hakekatnya setiap etnis sudah mempunyai akar sejarah tersendiri, itu kalau setiap etnis merujuk sejarah mereka jauh ke belakang sebelum abad ke-20. Justru dalam menanamkan paham nasionalisme yang penting adalah ide untuk ingin sejahtera bersama. Artinya seluruh etnis, walaupun berbeda latar kultural dan historisnya namun mempunyai pancangan cita-cita untuk selalu bersama; berjuang bersama, menderita bersama , terancam bersama serta jika sejahtera mesti pula bersama. Artinya setiap orang harus mempunyai rasa sedih jika ada warganya yang menderita dan mendukung semua bentuk kesejahteraan. Kalau ia pemimpin ia mesti bertekad untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Kalau ia anggota masyarakat mesti bertanggungjawab atas pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Pada bahagian ini saya melihat memang terjadi penipisan rasa kebangsaan, tetapi tidak adil jika itu hanya dilemparkan pada generasi muda. Justru penipisan rasa kebangsaan itu banyak terjadi pada elite bangsa atau generasi tua. Generasi tua adalah orang yang paling bertangggungjawab atas menipisnya kebangsaan ini, sebab kepemimpinan ada di tangan mereka.
Ada fenomena yang jelas melunturnya kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan bersama di kalangan elite atau pemimpin Indonesia. Amatilah, saat rakyatnya menderita sedangkan para pemimpin berfoya-foya, berlomba menaikkan gaji, pejabat pemerintah tiap sebentar tukar mobil mewah dengan anggaran negara. Para pegawai negeri rendahan dibiarkan dengan gaji rendah saat barang-barang melambung naik, saat biaya pendidikan terus melonjak (mahal ). Rakyat merasakan bahwa diri mereka diinggalkan para pemimpin mereka di saat nasionalisme didengung-dengungkan. Rakyat ibarat mendayung antara dua dataran: kebangsaan dan hidup yang berat.
Kalau diamati para pegawai negara, baik yang menjabat maupun yang rendahan, memang terlihat penipisan rasa tangggungjawab, di berabagi kantor terlihat banyak pegawai yang main-main dan tidak serius. Bekerja tampak sebagai sekedar syarat untuk mendapatkan gaji bulanan dan melalaikan urusan-urusan publik. Namun siapakah yang ditiru pegawai-pegawai itu kalau bukan generasi sebelum mereka?
Di bidang pendidikan, dalam kasus Ujian Akhir Nasional (UAN), kuat fenomena bahwa banyak pejabat negara di daerah menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan generasi bangsa. Itu terlihat dengan adanya kolusi untuk mengatrol nilai UAN dengan menginstruksikan murid-murid bekerja sama antara guru dan murid serta murid sesama murid. Apakah ini bahagian dari kuatnya nasionalisme elite bangsa?
Aktualisasi Kebangsaan
Aktualisasi kebangsaan setiap generasi berbeda, sesuai juga dengan dalil sejarah “setiap generasi akan menulis sejarah sesuai dengan pandangan mereka sendiri”. Aktualisasi kebangsaan generasi pergerakan sudah dituntaskan dengan berbagai pergerakan kebangsaan, baik ide maupun fisik. Usaha pergerakan itu dituntaskan oleh generasi revolusi dengan berperang dan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Gneerasi berikutnya berusaha mempertahankan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Setiap zaman tentu berhadapan dengan tantangan yang berbeda, yang berakibat berbedanya wujud aktualisasi diri mereka.
Saat ini dunia mengalami globalisasi dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi maupun transportasi. Pada bahagian lain terjadi perubahan ideologi politik, ekonomi dan budaya yang juga mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Karena itu tantangan generasi berikutnya jauh lebih berat dari generasi sebelumnya. Antar bangsa saling memberi pengaruh untuk menegakkan kedaulatan mereka. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan di tingkat negara dan individu karena meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi komunikasi dan pertukaran antar budaya lewat berbagai media yang dihantarkan ke setiap rumah sampai ke pelosok-pelosok desa. Perubahan dan tantangan semua itu tidak cukup hanya dengan memperbanyak upacara nasional atau ritual-ritual kebangsaan. Sebab ketidaksiapan generasi berikutnya untuk menghadapi tantangan-tantangan itu jauh lebih berbahaya. Karena itu nasionalisme mesti dipupuk dengan keseriusan setiap elemen bangsa, terutama pengelola negara untuk menyiapkan generasi yang tahan akan goncangan global.
Generasi muda, yang kini dianggap para elite di bawah kurungan neoliberalisme, neokapitlaisme, neokoloniaisme, dan neokomunisme sesungguhnya tidak perlu dicemaskan. Realitasnya mereka jauh lebih maju dan lebih siap dari generasi sebelumnya. Lihatlah di berbagai bidang selalu ada pertukaran generasi dengan kebih baik dan maju, bahkan banyak di antara mereka yang go international. Demonstrasi jalanan, komentar-komentar di berbagai media, kelompok-kelompok ilmuwan muda, komunitas seniman muda dan lain sebagainya sebenarnya juga wujud kecintaan generasi muda terhadap bangsanya. Apakah yang “kita” ragukan, selain keseriusan “kita” untuk mengolah mereka?
***
Memang, rasa kebangsaan mesti selalu dipupuk, tetapi bukan hanya dengan ritual-ritual kebangsaan, melainkan juga dengan membangun eksistensi diri generasi dan nilai-nilai kebangsaan. Eksistensi diri generasi dibangun dengan mengutamakan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang sempurna, membuat sistem ketatanegeraan yang baik dan menguntungkan masyarakat serta membina budaya-budaya positif yang melekat di setiap etnis. Berbagai nilai itu sebenarnya melekat dalam berbagai budaya yang secara ideologis disimpulkan dalam Pancasila. Pancasila dalam pemahaman ini bukan sekedar hafalan dan ideologi ritual tetapi wujud nyata nilai-nilai budaya positif untuk kesejaheteraan bersama dari Sabang sampai Merauke.***
Isu yang paling baru dikemukakan oleh KASAD, Jenderal Djoko Santoso, dalam acara Lokakarya Kebangsaan/Patriot Leadership Development Center (PLDC) pada tanggal 13-15 Agustus 2007. Jenderal Djoko Santoso mengmukakan bahwa negara bangsa Indonesia dikepung oleh globalisasi dengan ikonnya tekonologi informasi dan komunikasi. Ini disebut-sebut sebagai biang akan berakhirnya negara bangsa. Selain itu KASAD juga mengemukakan neokapitalisme, neokolonialisme, neoliberalisme dan neokomunisme sebagai penyebab menipisnya kebangsaan. (Harian, Kompas, 20 Agustus 2007). Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong secara ekstrim, bahwa “kalau Indonesia gagal menerapkan Pancasila dalam 10 tahun ke depan Negara ini akan pecah”.
Nada-nada seperti yang dikutip di atas sudah sangat sering dikemukakan, nada-nada seperti itu seakan-akan kebenaran. Pada HUT RI ke-62 tahun ini rasa kebangsaan malah dihubungkan secara horizontal dengan penghormatana bendera merah putih, kesetiaan menaikkan dan menurunkan bendera, bahkan anak-anak muda yang berdemonstrasi dan membawa merah putih dan mengibar-ngibarkannya dianggap sebagai anak-anak yang menipis rasa kebangsaannya. Benarkah demikian? Tidakkah ini cara generasi tua yang lebih menginginkan orang muda seperti dirinya? Tapi untunglah dalam lokakarya yang dibina oleh KASAD itu muncul nada yang sangat optimis dan fair dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa generasi sesudahnya lebih tegas nasionalismenya.
Nasionalisme dan Ritual Kebangsaan
Kalau diamati konsep nasionalisme maka ia akan berbeda dengan ritual kebangsaan. Ritual kebangsaan muncul dengan wujud fisik, seperti upacara nasional, menaikkan bendera bila ada iven bersejarah dan nasional, hafal lagu kebangsaan, dan sebagainya. Tetapi tidak bisa dituding bahwa mereka yang tidak melakukan ritual kebangsaan mempunyai ideologi nasionalisme yang tipis. Karena sangat banyak warga negara yang jarang upacara nasional begitu tersinggung ketika bangsa asing seakan-akan mengancam bangsa Indonesia. Cuma, wujud kebangsaan itu berbeda-beda aktualisasinya. Sementara ritual kebangsaan seperti upacara dan menaikkan merah putih hanyalah sebagai bahagian “perapian” saja dari nasionalisme, walaupun itu tetap juga bahagian yang penting dari sebuah bangsa.
Nasionalisme sering dihubungkan dengan “sejarah bersama” dan “nasib bersama”, sebagaimana juga dikemukakan Prof. Muladi di dalam Lokakarya PLDC 14 Agustus lalu (dikutip Harian Kompas, Senin/20 Agustus 2007). Kalau dicermati, bila nasionalisme lebih dihubungan pada faktor historis tentu punya resiko, terutama untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis; mereka mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Karena pada hakekatnya setiap etnis sudah mempunyai akar sejarah tersendiri, itu kalau setiap etnis merujuk sejarah mereka jauh ke belakang sebelum abad ke-20. Justru dalam menanamkan paham nasionalisme yang penting adalah ide untuk ingin sejahtera bersama. Artinya seluruh etnis, walaupun berbeda latar kultural dan historisnya namun mempunyai pancangan cita-cita untuk selalu bersama; berjuang bersama, menderita bersama , terancam bersama serta jika sejahtera mesti pula bersama. Artinya setiap orang harus mempunyai rasa sedih jika ada warganya yang menderita dan mendukung semua bentuk kesejahteraan. Kalau ia pemimpin ia mesti bertekad untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Kalau ia anggota masyarakat mesti bertanggungjawab atas pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Pada bahagian ini saya melihat memang terjadi penipisan rasa kebangsaan, tetapi tidak adil jika itu hanya dilemparkan pada generasi muda. Justru penipisan rasa kebangsaan itu banyak terjadi pada elite bangsa atau generasi tua. Generasi tua adalah orang yang paling bertangggungjawab atas menipisnya kebangsaan ini, sebab kepemimpinan ada di tangan mereka.
Ada fenomena yang jelas melunturnya kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan bersama di kalangan elite atau pemimpin Indonesia. Amatilah, saat rakyatnya menderita sedangkan para pemimpin berfoya-foya, berlomba menaikkan gaji, pejabat pemerintah tiap sebentar tukar mobil mewah dengan anggaran negara. Para pegawai negeri rendahan dibiarkan dengan gaji rendah saat barang-barang melambung naik, saat biaya pendidikan terus melonjak (mahal ). Rakyat merasakan bahwa diri mereka diinggalkan para pemimpin mereka di saat nasionalisme didengung-dengungkan. Rakyat ibarat mendayung antara dua dataran: kebangsaan dan hidup yang berat.
Kalau diamati para pegawai negara, baik yang menjabat maupun yang rendahan, memang terlihat penipisan rasa tangggungjawab, di berabagi kantor terlihat banyak pegawai yang main-main dan tidak serius. Bekerja tampak sebagai sekedar syarat untuk mendapatkan gaji bulanan dan melalaikan urusan-urusan publik. Namun siapakah yang ditiru pegawai-pegawai itu kalau bukan generasi sebelum mereka?
Di bidang pendidikan, dalam kasus Ujian Akhir Nasional (UAN), kuat fenomena bahwa banyak pejabat negara di daerah menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan generasi bangsa. Itu terlihat dengan adanya kolusi untuk mengatrol nilai UAN dengan menginstruksikan murid-murid bekerja sama antara guru dan murid serta murid sesama murid. Apakah ini bahagian dari kuatnya nasionalisme elite bangsa?
Aktualisasi Kebangsaan
Aktualisasi kebangsaan setiap generasi berbeda, sesuai juga dengan dalil sejarah “setiap generasi akan menulis sejarah sesuai dengan pandangan mereka sendiri”. Aktualisasi kebangsaan generasi pergerakan sudah dituntaskan dengan berbagai pergerakan kebangsaan, baik ide maupun fisik. Usaha pergerakan itu dituntaskan oleh generasi revolusi dengan berperang dan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Gneerasi berikutnya berusaha mempertahankan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Setiap zaman tentu berhadapan dengan tantangan yang berbeda, yang berakibat berbedanya wujud aktualisasi diri mereka.
Saat ini dunia mengalami globalisasi dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi maupun transportasi. Pada bahagian lain terjadi perubahan ideologi politik, ekonomi dan budaya yang juga mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Karena itu tantangan generasi berikutnya jauh lebih berat dari generasi sebelumnya. Antar bangsa saling memberi pengaruh untuk menegakkan kedaulatan mereka. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan di tingkat negara dan individu karena meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi komunikasi dan pertukaran antar budaya lewat berbagai media yang dihantarkan ke setiap rumah sampai ke pelosok-pelosok desa. Perubahan dan tantangan semua itu tidak cukup hanya dengan memperbanyak upacara nasional atau ritual-ritual kebangsaan. Sebab ketidaksiapan generasi berikutnya untuk menghadapi tantangan-tantangan itu jauh lebih berbahaya. Karena itu nasionalisme mesti dipupuk dengan keseriusan setiap elemen bangsa, terutama pengelola negara untuk menyiapkan generasi yang tahan akan goncangan global.
Generasi muda, yang kini dianggap para elite di bawah kurungan neoliberalisme, neokapitlaisme, neokoloniaisme, dan neokomunisme sesungguhnya tidak perlu dicemaskan. Realitasnya mereka jauh lebih maju dan lebih siap dari generasi sebelumnya. Lihatlah di berbagai bidang selalu ada pertukaran generasi dengan kebih baik dan maju, bahkan banyak di antara mereka yang go international. Demonstrasi jalanan, komentar-komentar di berbagai media, kelompok-kelompok ilmuwan muda, komunitas seniman muda dan lain sebagainya sebenarnya juga wujud kecintaan generasi muda terhadap bangsanya. Apakah yang “kita” ragukan, selain keseriusan “kita” untuk mengolah mereka?
***
Memang, rasa kebangsaan mesti selalu dipupuk, tetapi bukan hanya dengan ritual-ritual kebangsaan, melainkan juga dengan membangun eksistensi diri generasi dan nilai-nilai kebangsaan. Eksistensi diri generasi dibangun dengan mengutamakan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang sempurna, membuat sistem ketatanegeraan yang baik dan menguntungkan masyarakat serta membina budaya-budaya positif yang melekat di setiap etnis. Berbagai nilai itu sebenarnya melekat dalam berbagai budaya yang secara ideologis disimpulkan dalam Pancasila. Pancasila dalam pemahaman ini bukan sekedar hafalan dan ideologi ritual tetapi wujud nyata nilai-nilai budaya positif untuk kesejaheteraan bersama dari Sabang sampai Merauke.***