Oleh Wannofri Samry*
“Don’t marry an Indo! Don’t associate with him. Our future does not lie here, but in Europe. Repair the mistake once made by our ancestor. Create chances for your children in Holand”(Paul van der Veur, 1969).
Begitulah imej seorang warga Negara Belanda tentang warga keturunan Indonesia-Belanda sampai pasca kemerdekaan. Mereka adalah orang-orang hina yang tidak pantas menjadi kawan, teman sosial dan lain-lain. Imej itu tentu berakar pada sejarah Hindia Belanda yang diskriminatif, yang menganggap kaum pribumi Hindia Belanda sebagai orang-orang bar-bar dan inlander.
Akhir-akhir ini permasalahan yang serupa muncul kembali di Malaysia, saat Malaysia lebih jaya, sementara Indonesia lebih terpuruk secara ekonomi. Karena itu banyak Tenaga Kerja Indonesia(TKI) pasca 1990-an yang mencari kerja ke Malaysia, baik secara legal maupun secara ilegal. Tetapi umumnya TKI itu merupakan tenaga kerja kasar(buruh perkebunan, buruh kasar di pabrik, pembantu rumah tangga, dan penjaga kedai runcit). Sedikit sekali orang Indonesia yang bekerja di sektor terhormat, yang mengunakan skill tinggi. Kondisi itu membangun imej pada Malaysia bahwa Indonesia adalah negara miskin dan pengimpor tenaga kerja kasar dan kelas jongos. Imej itu melekat sampai ke anak-anak, sehingga mereka menyebut Indonesia menjadi ‘Indon’. Kata itu mirip secara sosial ucapannya dengan sebutan ‘Indo’ bagi keturunan Indo-Eropa di Hindia Belanda. Indo-Eropa juga tidak dihormati dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum indo dalam tatanan hukum kolonial Belanda berada dua tingkat dari orang Eropa dan satu tingkat di bawah timur asing.
Sebutan ‘Indon’ di Malaysia telah menjadi sebutan umum, bahkan media massa Malaysia mempublikasikan kata itu tanpa merasa bersalah. Umpamanya saat artis-artis dari Indonesia show di Malaysia, media Malaysia dengan seronok menulis “artis Indon akan show”. Sebutan itu memang tidak aneh kedengarn di mana-mana d seluruh wilayah negara jiran itu.
Para pelajar Indonesia di Malaysia tentu yang paling kenyang dengan sebutan itu, sering mereka merasa geram. Paling-paling mereka bisa menjelaskan bahwa sebutan itu tifdak mereka sukai. Tetapi tidak mungkinlah setiap saat menjelaskan itu kepada setiap orang Malaysia, bisa menghabislkan energi.
Sebutan ‘Indon’ yang kurang mengenakkan itu sebenarnya belum ada dalam literatur sosial, sejarah dan politik Indoneisa, yang ada hanya kata “indo” dan “Indonesia”. Indo untuk keturunan Eropa-Indonesia, dan Indonesia untuk seluruh masyarakt yang berada di wilayah negara Indonesia.
Paul W. van der Veur dalam Race And Color I Colonial Society: Biographical Skeches By A Erusian Woman Concerning Pre World War II Indonesia (Jurnal Indonesia, 1969) menjelaskan bahwa sebutan Indo itu dilekatkan terhadap orang keturunan Indonesia-Eropa. Dalam banyak literatur sejarah ditemui bahwa Indo-Eropa seperti tidak diakui dalam dua budaya; dalam masyarakat Indonesia mereka tidak mendapat tempat karena warna kulit dan budaya mereka yang berbeda. Orang-orang Indo juga agak malas bergaul dalam masyarakat pribumi, karena mereka sendiri menganggap lebih tinggi startifikasi sosialnya. Sebaliknya orang-orang Eropa juga kurang menerima mereka, sebab separoh darah mereka mengalir darah pribumi, yang alam dalam startifikasi masyarakt kolonial Belanda dianggap lebih rendah dan sama dengan pribumi.
Paul van der Veur(1969) mengungkapkan, ada kesedihan dan kerisihan bagi orang-orang keturunan Indo-Eropa terutama bila berada di Eropa, sebab mereka tidak diperlakukan sebagai orang Belanda. Para orang tua Belanda sering mengingatkan anak-anak mereka agar jangan bergaul dengan para “Indo”. Mereka ngingatkan, “jangan bemain sama mereka, mereka adalah orang kotor, tak bisa dipercaya. Jangan berteman dengan dia, sebab dia tidak baik”. Stigma rendah, hina semacam itu sejak zaman penjahan dilekatkan pada pribumi sehingga melekat juga pada keturunan Indo-Eropa. Pada zaman kolonial Belanda memang banyak orang-orang pribumi(Hindia Belanda) yang menjadi jongos, kuli, babu, gundik(terutamaorang Jawa). Sementara sebagaimana yang ditulis oleh Husein Al-Atas, orang pribumi sering dicap sebagai “pribumi malas”.
Di zaman kolonial banyak kaum pribumi bekerja di perklebunan secara asal-asalan, atau malas. Kemalasan mereka tentu tidak boleh dilepaskan dari penindasan kolonial Belanda. Tenaga mereka dikuras sementara kesejahteraan mereka tidak diperhatikan, produksi yang mereka lakukan pun diangkuit ke Eropa. Malas tentu sebuah strategi perlawanan terhadap kaum kolonial.
Masalah di Malaysia tentu jauh berbeda, para pekerja itu umumhya pekerja giat,sebab mereka memakai sistem kontrak, dan pengiriman tenaga kerja itu umumnya diatur dalam undang-undang ketenagaan kerjaan kedua negara. Jadi mereka bekerja dengan kesepakatan bersama.
“Indon”
Kata ‘Indon’ memang asli muncul di Malaysia. Kosa kata “indon” seakan akan menjadi sebutan tanpa dosa bagi sebahagian besar orang-orang Malaysia terhadap orang-orang Indonesia. Bukan hanya pekerja kasar dipanggil Indon, para pelajar dan pejabat-pejabat Indonesia di Malaysia pun disebut Indon.
Bagi orang Indonesia yang terpelajar ‘Indon’ itu sama dengan sebutan inlander(pribumi tengik) di zaman kolonial Belanda. Mereka itu dianggap kaum tidak beradab, musiknya hanya ngangik ngok, tampilannya dekil, wawasannnya sempit, pemberontak, perusuh dan sebagainya.
Di mana-mana di Malaysia, seperti di bandara, pasar dan lingkungan sosial lainnya, seorang Indonesia sering merasa bahwa ada sikap yang merendahkan secara sosial. Bila mereka(orang Malysia) kenal bahwa yang mereka hadapi orang Indonesia, mereka lebih suka berbicara meninggi, mereka tidak lagi memakai stratifikasi bahasa sosial sebagaimana yang sering diterapka di Malysia untuk kata sapaan. Umpamanya tanpa memanggil ‘Cik’ untuk perempuan bujang, ‘puan” untuk perempuan sudah menikah, ‘encik’ untuk laki-laki yang lebih terhormat.Di kedai-kedai mereka enak saja memanggil ‘you’, ‘kamu’ dan ‘kau’ terhadap orang Indonesia. Terutama ‘kamu’ dan ‘kau’ adalah paanggilan kasar di Malaysia. Umpamnya saat membeli di kedai runcit seseorang pelayan kedai yang masih remaja, enak saja bilang dengan sombong, “kamu nak beli apa?”.
Di Bandara sering orang Indonesia diperiksa dengan kasar oleh pihak migrasi.Petugas sering juga memeriksa uang yang dibawa oleh orang Indonesia ke Malaysia. Dalam pikiran mereka orang Indonesia itu miskin dan membuat Malaysia susah. Karena itu mereka harus memastikan bahwa orang Indonesia yang ke Malaysia mempunyai uang yang cukup.
Walaupun warga Indonesia sering dianggap ‘Indon’, tetapi dalam banyak hal sebenarnya Malaysia itu menganggumi Indoensia dari segi bahasa, budaya, demokratisasi dan kemolekan dan keluasan wilayah. Beberapa professor di Malaysia mengagumi sejarah kebijakan Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Seorang sejarawan di UKM mengatakan, bahwa bangsa Indoenesia sangat tepat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan”.Sementara bahasa daerah juga berkembang sebagai kekayaan budaya. “Akademisi budaya dan bahasa di Malaysia umumnya merisaukan ketidakberkembangan bahasa Melayu di Malaysia, bahkan kini tidak hanya terdesak oleh Bahsa Inggris tetapi juga olejh bahasa Cina dan India. Kekaguman lain yang terlihat adalah beredarnya lagu-lagu Indoenesia di Malaysia, lagu-lagu itu diputar di dalam bus, di kafe, televisi dan radio. Namun ini pun menjadi masalah juga; bagaimanakah hak ciptanya? Hal yang jelas sumbangan seniman Indonesia sangat besar terhadap masyarakat Malaysia. Hal itu juga terjadi dalam bidang sastra, mereka mengagumi sastrawan-sastrawan senior Indonesia, seperti Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Karya dua sastrawan itu pun menjadi bacaan umum di Malaysia.
Perhatian Malaysia yterhadap karya cipta intelektual Indonesia sangat mengagumkan juga, perhatian mereka mungkin melebihi perhatian orang Indonesia. Buktinya karya-karya pemikiran klasik Indonesia sampai yang mutkahir bolehlah dikatakan cukup lengkap dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Ini juga tantangan bagi Indonesia ke depan.
Malaysia-Indonesia:
Kalau dikaji sejarah Malaysia dan Indonesia memang banyak kesamaan, dalam naskah-naskah Melayu semuanya akan terbaca. Bagi masyarakat di seluruh Nusantara, wilayah Semenanjung, Jawa, Sulewesi dan sekitar kepulauan Indonesia, adalah jaringan dagang dan budaya yang tidak bisa di pisahkan. Penduduk-penduduk di kawasan ini memang sudah lama sering bermigrasi atau bertuakar tempat. Malaka dibangun pertama sekali oleh orang Sumatera, Parameswara. Johor-Riau Lingga pernah menjadi satu kerajaan. Hanya Inggris yang memisahkan mereka tahun 1824.
Banyak kaum pergerakan Idonesia lari ke Malaysia tahun 1930-an sehingga menjadi tokoh pergerakan pula di Malaysia, contohnya Tun Abdul Razak yang kini dilekatkan namanya di Dewan Conseleri Universitas Kebangsaan Malaysia, juga keturunan Indonesia. Begitu juga Hamka tahun 1972 pernah dinobatkan menjadi Doktor di UKM. Dan, kini nama Hamka pun dilekatkan di bahagian dokumentasi UKM. Hampir semua kaum cerdik pandai di Malaysia mengagumi Hamka dan juga Natsir sebagai tokoh Islam.
Sejak masa Orde Baru dirasakan bahwa Indonesia penting sebenarnya bagi Malaysia, terutama dalam memberikan keseimbangan politik di Malaysia. Masa Soeharto, diakui ada kerjasama pengiriman Emigrasi ke Malaysia, dan ini penting bagi orang-orang Melayu, untuk memberikan keseimbangan politik terhadap golongan etnis Cina. Selain itu orang Indonesia juga penting sebagai sumber tenaga kerja murah dan gigih.
Bagi Indonesia, Malaysia juga penting, selain sebagai kawan serumpun juga sebagai katub pengaman ekonomi yang selalu krisis. Sebab jika tidak ada Malaysia juga akan menimbulkan masalah pengangguran besar-besaran di Indonesia. Menurut keterangan resmi Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia(HIMSATAKI)tahun 2008, maka jumlah TKI Indonesia di Malaysia hampir 700.000 orang, artinya hampir sama dengan penduduk Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau. Ini tentu belum termasuk ribuan TKI yang ilegal dan para pedagang yang bolak balik ke Malaysia. Menurut data kedutaan Malaysia ada antara 500-1000 orang TKI legal bermasalah di Malaysia(www.Detik.Com, 17/11/2007). Limpahan TKI ini pula yang merendahan bangsa Indoensia, karena mereka bekerja pada sektor buruh dan pekerja kasar.
Pemerintah mesti memikirkan bagimana menghapuskan imej “indon” yang mirip dengan inlander itu. Sebab stigma negatif yang diberikan oleh orang lain terhadap bangsa Indonesia, tidak hanya penghinaan tetapi juga pemukulan mental dan identitas. Pemulihan nama itu tidak hanya cukup dengan himbauan pelarangan terhadap pemerintah Malaysia, tetapi juga membangun bangsa ini agar kepalanya tegak dan berjalannya tegap. Karena itu keseriusan pemerintah untuk menyiapkan berbagai pra syarat kesejahteraan; seperti pendidikan, lapangan kerja dna berbagai fasilitas pelayanan publik adalah penting. Bagaimana pun bangsa Indonesia juga tidak ingin menjadi beban dan tergantung pada bangsa lain. Pantaslah “kita” malu, Indonesia sebagai saudara tua dari Malaysia, mesti “merengek” secara ekonomi ke Malaysia.
*Wannofri Samry, Dosen di Universitas Andalas, Padang, pelajar PhD di Pusat Kajian Sejarah, Politik dan Strategi, Universitas kebangsaan Malaysia(UKM), Selangor.