Oleh Wannofri Samry
Pemilihan Umum Presiden RI masih dua tahun lagi, namun beberapa tokoh sudah menyatakan untuk maju, sebahagian lagi memberikan sinyal untuk ikut menjadi kandidat presiden 2009. Keinginan sang bakal calon Presiden tersebut sudah dilansir beberapa media massa nasional sekitar dua minggu belakangan ini. Bahkan beberapa kali berita itu menjadi head line. Pertanyaan publik adalah, apakah sikap elit tersebut tidak ibarat ayam berkokok kepagian? Apakah ini tidak mengganggu poemerintahan di saat Indonesia masih mengalami krisis dan dan bencana?
Apakah yang dipikirkan?
Apakah yang dipikirkan Sang Bakal Calon Presiden? Adakah pemimpin kita sadar bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang menyelesaikan krisis, baik yang disebabkan oleh belum benarnya pengelolaan negara maupun oleh bencana alam yang datang bertubi-tubi? Pengumuman kesediaan menjadi calon Presiden ke tengah publik di saat pemerintahan separoh jalan bagaimanapun mengganggu pemerintahan. Itu kelihatan dengan terpancingnya elit lain bersama kelompok politiknya untuk ambil bagian dalam menanggapi isu pencalonan Presdien tersebut. Hal yang paling mengganggu tentu isu sinyal keinginnan Jusuf Kalla untuk maju dalam pemilihan Presiden. Pada hal saat ini Kalla adalah Wakil Presiden, yang semestinya bekerjasama secara maksimal dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sinyal dari Kalla itu, bagaimanapun, akan mengganggu kelancaran penanggulangan krisis. Bagi Yudhoyono, jika tidak ditanggapi dengan kedewasaan politik tentu akan “merisihkan”.
Publik melihat, para elit tersebut seakan-akan menjadikan politik benar-benar menjadi permainan yang nikmat di tengah kepahitan hidup. Ibarat main bola, para elit membikin klub, kemudian mengatur strategi dan menyusun permainan semaunya. Mereka menyerang dan bertahan kapan mereka mau, kemudian publik mendanai mereka dengan membeli karcis. Bila pemain mengarak bola mereka bersorak. Bila gol, penonton berjingkrak. Namun setelah semua klub itu bersama sang bintang mendapat hadiah dan piala, penonton pulang dengan kelelahan. Anehnya klub-klub-klub itu terus mampu menguras penonton dengan gampangnya. Tampaknya permainan ini sampai pada titik ekstase, dimana setiap orang lupa akan bahayanya di belakangan.
Pemain politik apapun, apa lagi bakal calon Presisiden RI selalu tampil mengesankan, berwibawa dan bisa menundukkan pikiran rasional masyarakat. Mereka tampil ke masyarakat dengan kata-kata bijak, santun seakan-seakan penuh dengan tanggungjawab moral semuanya. Mereka mempunyai rancangan program yang lengkap dan bijak. Tetapi apakah “kita” pantas percaya pada setiap permainan yang disajikan elit politik itu bersama paguyuban poilitik mereka? Sebab setiap pergantian presiden lain model kebijakan dan lain pula penderitaan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat seperti selalu menunggu datangnya kesejahteraan, seperti si katak ridukan bulan. Apakah pemimpin pernah memikirkanya?
Tanpa Kaderisasi
Ada fenomena pemain-pemain politik lama masih saja ramai untuk ambil bahagian pada pemilihan Presiden tahun 2009. Ini membuktikan bahwa tidak terjadi kaderisasi dalam partai politik tersebut. Politik itu jelas bergerak lamban dan menuju konservatif. Partai politik yang maju selalu memperhatikan pengkaderan dan selalu mengadakan ruling kader mereka untuk naik menjadi pemimpin.
Kita mesti juga bertanya, kenapa ada kandidat yang tak bosan-bosannya mencalonkan diri untuk menjadi Presiden, pada hal mereka sesunguhnya tidak diinginkan masyarakat. Tetapi sang bakal calon itu masih saja menjadikan lingkungan politiknya (yang tidak cerdas itu) untuk mengusungnya. Kalau diikuti pradigma sepak bola tadi, maka “kita” masih memakai pemain-pemain lama yang nafasnya sudah habis, sudah kelelahan dimakan usia. Pemain-pemain lama memang berpengalaman, tetapi tendangan mereka pasti sudah melempem. Larinya pasti tidak kencang. Kegeneiusan mereka untuk memasukkan bola pasti sudah jauh berkurang, apa lagi dalam zaman yang serba cepat ini. Zaman sudah berubah, Indonesia memerlukan pembugaran dalam segala bidang, termasuk kepemimpinan nasional. Kalau dihitung-hitung, sudah satu dekade pula berlangsung pergerakan reformasi, para demonstran yang dulu turun ke jalan-jalan raya dan merangsek ke pusat-pusat birokrasi , kini sebahagian sudah memainkan peran di dalamnya. Tetapi kenapa pemimpin mereka masih juga pemain-pemain masa Orde Baru yang berganti baju dengan reformasi? Anehnya para demonstran yang dulunya memperjuangkan reformasi, ikut pula bergabung dengan kelompok status quo yang mereka tentang, bahkan menjadi kaki tangannya.
Berjuang Tak Tahan Menderita
Bagi Agus Salim, berjuang adalah menderita, namun para tokoh pergerakan kita hari ini tampaknya jarang yang memaklumi itu. Salim memperjuangkan Indonesia dari rumah-rumah kontrakan dan kampung kumuh di berbagai tempat di Jakarta, namun saat ini pemimpin ingin berkuasa dengan kehidupan yang mewah dan kekayaan milyaran rupiah. Semboyannya saat ini, berkuasa adalah bermewah-mewah.
Bermewah-mewah, perbaikan ekonomi adalah landasan dasar untuk masuk ke ruang politik, baik menjadi pimpinan daerah, legislatif maupun menjadi presiden. Buktinya setiap pejabat-pejabat pemerintah bila sudah duduk menjabat maka mereka berusaha memperjuangakn gaji mereka, mobil, rumah dinas dan kurang peduli dengan penderitaan rakyat. Mestinya, dalam saat krisis seperti ini setiap pejabat menahan diri mereka untuk berhemat, baik lewat efisiensi gaji maupun berbagai fasilitas. Nyatanya, setiap periode jabatan, negara membuang-buang uang untuk berbagai hal yang tidak diperlukan seperti gonta-ganti mobil dinas, pembangunan rumah dinas, berbagai kebutuhan uang jalan dan uang rapat. Para pemimpin bangsa itu seakan lupa bahwa mereka hidup dalam syorga kemewahan di tengan penderitaan yang selalu mengancam bangsanya.
Mestinya sudah perlu dipertimbangkan kembali gaji dan masukan para pejabat termasuk presiden, apakah gaji peresiden dan para pejabat kita tidak terlalu timpang dengan pendapat masyarakatnya? Pada hal presiden dan pejabat-pejabat negara mendapat fasilitas yang lengkap, mulai dari rumah, kebutuhan dinas dan kebutuhan sehari-hari. Lalu presiden dan kepala daerah yang kehidupan sehari-harinya sudah ditanggung seluruh kebutuhannya, apakah masih pantas dibayar dengan gaji yang besar? Kata teman-teman, tanpa menerima gaji pun para kepala daerah dan presiden itu bisa hidup. ***
Friday, February 08, 2008
Sunday, February 03, 2008
RUANG DISKUSI
MASALAH PENDIDIKAN
Ketertinggalan kita berawal dari tidak seriusnya pemerintah dalam mengelola pendidikan. Ini berimbas terhadap berbagai persoalan. pendidikan kita centang perenang. UAN seperti main-mainan semata. Perguruan tinggi tanpa standar menajemen dan ruang pustaka yang layak. Yakinlah, kata seorang kawan, kita akan terpuruh berpuluh tahun lagi.Namun para pejabat terus berpidato dengan berapi-api untuk pembangunan bangsa.Kini bangsa kita terpuruk dari segi harga diri dan kedaulatan. Ini masalah penting yang mesti didiskusikan. Para pembaca yang budiman boleh mengirim komentar ke blog ini ata ke wannofri@yahoo.com. Nanti akan dimuat di blog ini.
Ketertinggalan kita berawal dari tidak seriusnya pemerintah dalam mengelola pendidikan. Ini berimbas terhadap berbagai persoalan. pendidikan kita centang perenang. UAN seperti main-mainan semata. Perguruan tinggi tanpa standar menajemen dan ruang pustaka yang layak. Yakinlah, kata seorang kawan, kita akan terpuruh berpuluh tahun lagi.Namun para pejabat terus berpidato dengan berapi-api untuk pembangunan bangsa.Kini bangsa kita terpuruk dari segi harga diri dan kedaulatan. Ini masalah penting yang mesti didiskusikan. Para pembaca yang budiman boleh mengirim komentar ke blog ini ata ke wannofri@yahoo.com. Nanti akan dimuat di blog ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)