Total Pageviews

Thursday, October 25, 2007

ORANG MINANG TERBANGUN?

Oleh Wannofri Samry*

“mata hari meninggi, kemaren kau sama-sama tidur di ruangan yang sama, kini temanmu berlari jauh, jauh dan jauh. Kau adalah si Minang yang terbangun di pojok nagari dengan badan yang berat”


Tanggal 19-21 Oktober 2007 para saudagar asal Minangkabau mengadakan acara Silaturrahmi Saudagar Minang(SSM) se-dunia. Mereka berkumpul di Pangeran Beach Hotel Padang, Sumatera Barat. Ini adalah pertemuan yang sangat prestisius. Selain mempertemukan seluruh saudagar asal Minangkabau dari seluruh dunia juga dinyatakan sebagai peninjauan kembali keberadaan seluruh saudagar Minangkabau yang sebelum kolonial Belanda terkenal menguasai jalur Pantai Timur dan Barat Sumatera (antara entrepot dagang Padang Pariaman/Padang dan Malaka). Kini peran mereka tidak kelihatan lagi. Ada apa dengan orang Minangkabau dan nilai-nilai entrepreneurship yang melekat pada masyarakatnya?

Beberapa Fenomena
Sejak meletusnya peristiwa Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI) tahun 1958 yang melibatkan berbagai elemen di Sumatera, terutama masyarakat Minangkabau, maka dirasakan adanya penyusutan peran orang Minangkabau. Bahkan oleh Harun Zain(mantan Gubernur Sumatera Barat) dihubungkan dengan hilangnya rasa percaya diri orang Minangkabau. Fakta politik pasca PRRI menunjukkan terjadi pengucilan politik terhadap tokoh-tokoh penting asal Minangkabau dan mereka yang terlibat PRRI umumnya.
Pembangunan mental orang Minangkabau dimulai kembali tahun 1960-an lewat isntitusi pendidikan Universitas Andalas, yaitu dengan mendukung penuh program pemerintah pusat dan mengonsentrasikan diri dalam pembangunan fisik. Hal itu ditunjukkan dengan diadakannya Seminar Pembangunan I (1964) oleh Universitas Andalas di bawah arahan Harun Zain.
Dari berbagai seminar (setidaknya sejak 1970-an) terindentifikasi bahwa terjadi kegelisahan yang sangat dalam pada diri masyarakat Minangakabu. Orang Minangkabau merasakan kian berkurangnya peran mereka di pentas nasional, baik dari sisi ekonomi maupun politik, dua bidang ini terasa menonjol sebelum kemerdekaan. Menurut Taufik Abdullah(1992) sekitar 1930-an orang Minangkabau yang masuk lngkaan elit nasional ada sekitar 30%, sementara tahun 1950-an 11%. Julah ini tentu terus menurun walaupun sebahagian orang Minangkabau tetap menepuk dada bahwa orang Minangkabau masih dominan di tingkat nasional(Padang Ekpres, Jumat 19 Oktober 2007). Namun, pernyataan bahwa “orang Minangkabau masih dominan” itu menyelipkan kerisauan akan masa depan peran orang Minangkabau di masa depan.
Berkurangnya peran orang Minangkabau itu dijawab oleh pemerintah Sumatera Barat bersama para perantau dengan merevitalisasi kolaborasi antara kampung halaman dengan rantau. Beberapa hal yang dicoba adalah dengan membuat Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) di awal 1990-an dan membuat NDC (Nagari Development Cooperation). Niatnya, lembaga ini diharapkan mampu menggaet orang rantau untuk menanamkan investasinya di kampung halaman. Tetapi oraganisasi yang berpradigma ekonomi-materialistis itu gagal, baik dilihat dari sisi investasi yang ditanamkan di kampung halaman maupun dari sisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu Gebu Minang direvitalisasi lagi di awal tahun 2000(?) dengan menjadikannya Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangakau. Artinya pradigma budaya dijadikan sejalan dengan pradigma ekonomi. Tentu ini kesadaran kembali, bahwa budaya secara historis adalah bahagian penting dari gerakan kemajuan di Minangkabau. Kegagalan ekonomi juga berarti kegagalan budaya, yang sejak 1970-an terasa diabaikan.
Kegagalan memainkan peran di pentas nasional secara ekonomi dan politik, maka orang Minangkabau mencoba berkolaborasi dengan elit dari etnis lain yang dianggap mampu membantu mengangkat peran dan eksistensi orang Minangkabau. Realisasi kolaborasi ini adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh penting di luar etnis Minagkabau sebagai Datuk (penghulu suku). Beberapa tokoh di luar etnis yang pernah dilewakan (dikukuhkan) sebgaai Datuk adalah Dr. Mustari Pide (Makasar), Hamengkubuwono X (Yogyakarta), Taufik Kiemas (Lampung), Anwar Nasution (Mandailing), dan Susilo Bambang Ydhoyono (Jawa). Alasan orang Minangkabau untuk mengangkat tokoh-tokoh ini adalah untuk menjadikan kemanakan mereka terlindung atau mempunyai mamak di rantau. Ini, tentu kental muatan ekonomis dan politisnya. Realisasinya, muatan politis lebih menonjol dari ekonomi.
Bagi masyarakat Minangkabau yang ada di kampung halaman, malewakan tokoh lain sebagai Datuak, dengan akar budaya dan historis yang dicari-cari, tetap menjadi pertanyaan besar dan mengacauakan cara berpikir budaya Mianangkabau. Itu dianggap sebagai bahagian kegiatan politis saja dari elit-elit Minangkabau. Sementara pada sisi lain menunjukkan ketidakberdayaan orang Minangkabau dalam bertarung di kancah nasional dan global. Pengangkatan tokoh lain sebagai Datuak adalah jalan pintas yang menerabas.
SSM yang digagas oleh pihak rantau dan kampung halaman adalah revitalisasi juga terhadap kegagalan gerakan Gebu Minang dan masyarakat kampung dalam mengangkat ekonomi daerah. Sekali lagi, nampaknya ini akan kental juga fenomena ekonomis dan politisnya. Dalam talkshow yang yang digelar TVRI Sumbar tanggal 17 Oktober 2007 terlihat bahwa SSM gunanya adalah untuk menjawab rendahnya Anggaran Pendapat Daerah yang hanya kurang dari 2 trilyun. Artinya pradigma pembangunan Sumbar belum berubah sejak tahun 1970-an; ekonomis-materialistis.
***
Christine Dobin(1992) menjelaskan bahwa kebangkitan enterpreneur Minagkabau selain berkaitan dengan kebangkitan Islam dalam akhir abad ke-18 dan awal abad ke19 juga berhubungan dengan cara orang Minangkabau memandang dirinya di tengah-tengah percaturan dunia. Orang Minangkabau melukiskan daerahnya di sebuah peta yang dinukilkan oleh Dobbin adalah negeri yang paling elok. Orang Minangkabau menempatkan daerah mereka di dataran tinggi dengan puncaknya gunung berapi dan lembah-lembahnya adalah persawahan dan perkebunan yang subur. Sementara bahagian lain adalah negeri yang tidak teratur. Posisi geografis itu dijadikan sumber spirit untuk mencapai keunggulan di tengah-tengah bangsa lain. Hal penting yang dimiliki oleh orang-orang dataran tinggi adalah kerja keras, dinamis dan menaklukkan alam. Kondisi itu membangun mentalitet merantau dan menjadi saudagar. Perantau dan saudagar adalah dua sosok yang siap singgah di setiap lapau dan kampung, siap jatuh dan bangun. Ini sejalan dengan sikap orang gunung yang bisa menaiki dan menuruni lembah untuk mendapatkan hasil-hasil alam, dan bangun lagi setelah jatuh berburu di antara semak belukar.
Saat ini yang terjadi adalah kerapuhan mental orang Minangkabau. Kerapuhan mental ini, mungkin ada hubungannya dengan sikap politik orang Minangkabau dan pengaruh global yang kuat. Secara politis, pasca PRRI Harun Zain menghembuskan ruh inferiroritas ke tengah masyarakat Minangkabau, di mana orang Minangkabau dianggap sebagai orang-orang kalah dan harus tunduk kepada pemerintahan pusat secara berlebihan. Penghembusan ruh “orang-orang kalah perang” ini menciutkan mental orang Minangkabau dan secara politis menggiring ke bentuk pemahaman politik pembangunan yang sentralistis. Imbasnya memang ada bahwa masa Orde Baru orang Minangkabau banyak menjadi menteri. Anggaran Belanja Pembangunan nasional memang banyak mengalir ke Sumatera Barat. Tetapi orang Minangkabau ibarat kerbau yang ditusuk hidungnya; mereka bisa dihela kian kemari tanpa kepribadian yang jelas. Orang Minangkabau kehilangan daya kreativitas, kehilangan dinamika individual, dan semangat perantau serta entrepreneurship mereka tidak berkembang. Umumnya pada masa Orde Baru para pejabat-pejabat Minangkabau menjadi orang senang dan malas berpikir untuk membangun masyarakatnya, karena semuanya sudah disediakan oleh pusat.
Masyarakat mencari kreativitas sendiri tanpa berlandaskan budaya yang jelas. Para saudagar Minangkabau tidak terbina, mereka berjuang mencari hidupnya sendiri-sendiri. Pedagang Minangkabau malas mengikuti proses yang jelas dan tidak mencerminkan sikap enterpreneurship yang ulet.. Kesan orang berhadapan dengan pedangang Minangkabau adalah bengkok, sebuah cap yang unproductive untuk para saudagar. Tetapi sulit juga dipungkiri, kesan orang banyak (baik tamu, orang rantau maupun orang kampung) bahwa para saudagar Minangkabau banyak yang culas dan kasar. Di Pasar Raya Padang umpamanya, jika ada yang terlalu lama menawar barang, namun tidak jadi membeli, maka calon pembeli akan dikasari dengan kata-kata X (maaf, untuk menyebut suatu yang tabu di Minangkabau). Begitu juga kalau membeli buah-buahan, sudah menjadi rahasia umum kalau membeli 1 kg akan didapat 7 atau 8 ons. Ini adalah sikap saudagar yang tidak baik. Buruknya etika bisnis ini mungkin salah satu penyebab yang menghalangi tumbuhnya saudagar besar asal Minangkabau saat ini.
Di bidang pendidikan terjadi penurunan yang drastis, ini terlihat dari rendahnya Posisi Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa di Sumbar tahu 2003. Kejadian itu menyentak seluruh masyarakat, yang selama ini memitoskan bahwa pendidikan sumatera Barat adalah baik, dan secara historis daerah Sumatera Barat merupakan tempat belajar bagi orang lain termasuk dari Singapura dan Malaysia. Rendahnya posisi UAN kemudian disiasati oleh pemerintah agar pada tahun berikutnya terjadi peningkatan. Tetapi usaha untuk meningkatkan kualitas UAN di Sumbar tidak dilakukan dengan sungguh-sunguh, tetapi dengan jalan pintas. Ada fenomena bahwa secara birokratis anak-anak diberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan. Berdasarkan survey (2007) yang dilakukan, sekitar 90 % peserta UAN di SMA bekerjasama dengan guru dan Panitia untuk mendapatkan nilai tertinggi. Artinya UAN hanya sekedar main “teater bersama” , sekaligus mewarisi sikap menerabas kepada generasi muda.
Dalam bidang politik marak digunakan simbol-simbol agama. Fenomena ini bisa diamati saat pemilihan kepala daerah, para kandidat berebut naik ke mimbar untuk berkhotbah dan menebar-nebar ayat-ayat Al Quran untuk mengesankan alim dan menempelkan ayat-ayat alquran dimana-mana. Kalau hari-hari biasa para politikus yang tidak biasa ceramah agama maka pada pesta-pesta politik mereka pun ikut memberikan pengajian. Para kandidat juga memanfaatkan ulama sebagai alat legitimasi politik, baik sebagai tim kampanye maupun sebagai wakil kepala daerah. Prilaku ini mendegradasikan nilai ulama yang sesungguhnya. Sementara kenyataan lain di tengah masyarakat juga terjadi kelangkaan ulama yang sunguh-sungguh berilmu dan kaffah. Ada fenomena bahwa sebahagian besar ulama Sumatera Barat yang aktif saat ini tidak memiliki sumber daya yang bagus, sehingga keulamaan mereka hanya sebatas ceramah ramadhan, ceramah subuh dan hari-hari ritual Islami lainnya. Dari Sumatera Barat tidak ditemukan lagi ulama yang militan seperti Hamka, Natsir, A.R. Sutan Mansur, Dt. Palimo Kayo(sekedar menyebut beberapa nama yang ada dalam memori kolektif ). Ulama-ulama itu adalah ulama perantau, pemikir, sekaligus aktif memberdayakan masyarakatnya sesuai dengan tantangan zaman. Kini mungkin ada beberapa ulama yang pemikir dan aktivis seperti Buya H. Maso’ed Abidin dan Prof. Dr. H. Bustanoedin Agus, MA, yang lain mungkin seperti ulama-ulama kebanyakan, antara ada dan tiada. Ini juga tantangan lain bagi orang Minangkabau.
***
Minangkabau memang selalu gelisah sejak dulu kala, tetapi jangan menjadi Mingakabauers yang schizophrenic, yang tidak mempunyai identitas. Seperti manusia yang tidak tahu menggerakkan sarafnya secara teratur untuk menjawab tantangan masa depannya. Di mana-mana orang Minangkabau gelisah karena kemajuan orang lain dan ketertinggalan diri mereka. Padang yang menurut catatan G.W. Prothero merupakan kota terbesar di Sumatera pada awal abad ke-20 kini sudah menjadi tertinggal dari Medan, Palembang, Pekanbaru dan Lampung. Pekanbaru yang awal abad ke-20 sampai 1970-an tidak lebih dari kota Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok, kini berkembang pesat menjadi pusat peradaban baru. Padang yang dulu pusat pers kini digeser Pekanbaru dan Lampung. Pendidikan bergerser ke Sumatera Utara. Dari sisi ekonomi pendapatan daerah Sumatera Barat tertinggal dari propinsi-propinsi lain di Sumatera. Orang Minangkabau memang sedang dirundung malang dari berbagais sektor. Apakah yang mau dibanggakan orang Minangkabau selain mitos sejarah-budaya dan gadang ota di lapau? Suka maota di lapau rupanya juga tidak menjamin orang Minangkabau jadi diplomat Pada tahun 2000, dari 53 orang orang yang diterima sebagai diplomat, tak satu pun orang Sumatera Barat(www.kompas.com/ Selasa, 1 Juli 2003).
Bisa jadi pernyataan Dahlan Iskan jadi benar, jangan-jangan kota-kota Sumatera menjadi kota kecil saja di suatu saat, ini sudah dibuktikan oleh sejarah, seperti Muara Takus yang menjadi tersuruk di pedalaman dan Damasraya yang dulu pusat Melayu menjadi terpuruk sekian lama. Bisa jadi Padang dan kota-kota lain di Sumatera Barat juga akan mengalami nasib yang sama.

Membangun Pradigma Baru
Sebagaimana isu yang dilansir bahwa SSM 2007 diharapkan bisa menjadi titik awal kebangkitan orang Minangkabau atau paling tidak menyusun strategi baru dalam menghadapi masa depan yang berat. Namun hendaknya SSM jangan hanya membangun strategi ekonomi dan melepaskan diri dari landasan sosial-budaya, walaupun keberlangsungan sosial budaya sangat erat kaitannya dengan ekonomi. Namun penguatan sosial budaya juga mendukung kesuksesan ekonomi. Kalau sejak tahun 1970-an pembangunan Sumatera Barat menggunakan pradigma ekonomi yang hasilnya adalah lemahnya dinamika orang Minangkabau dibandingkan etnis lain, maka saat ini sudah saatnya mengedepankan pradigma sosial-budaya dengan memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi.
Kekuatan-kekuatan budaya Minagkabau itu ada pada dialektika adat dan Islam serta pendidikan moderen. Adat dan Islam yang dimaksudkan bukan sekedar memperbanyak ritual-ritual semata tetapi megelaborasi nilai-nilai dan mengkongkritkannya dalam kehidupan yang lebih kreatif. Tampaknya belum ada kajian-kajian kreatif tentang adat dan Islam di Minangkabau yang berbuah pada strategi pengetahuan, teknologi yang bisa dikongkritkan.
Pendidikan adalah pra syarat penting untuk dimajukan, yang saat ini pendidikan di Sumatera barat tidak unik dan tidak lebih maju dibandingkan daerah lain. Pendidikan bukan hanya sekedar membangun gedung dan fisik tetapi juga isi. Penyediaan buku, labor, pustaka, guru-guru berkualitas hendaknya jangan sekedar wacana sepanjang tahun. Kalau dilihat banyak sekolah-sekola yang tidak memenuhi pra syarat itu. Sekolah-sekolah banyak yang tidak punya perpusatakaan, kalau ada hanya memiliki koleksi belasan dan puluhan buku. Komputerisasi tidak dilengkapi untuk meninjau “dunia sana” yang penuh dinamika. Guru-guru banyak yang tidak kreatif sehingga kaku memberikan pelajaran. Akhirnya sekolah bagi anak tidak menarik dan membosankan. Anak-anak banyak bermain-main saat istirahat, tidak membaca dan melakukan kegiatan kreatif.
Perguruan tinggi di Sumatera Barat “banyak promosinya” dari pada memenuhi kelengkapan perguruan tinggi. Perguruan tinggi di Sumatera Barat “ranjau” (rancak jauah) sementara isinya melompong. Labor-labor tidak dilengkapi, pustaka hanya sesudut ruangan, kalaupun ruangannya luas koleksinya jauh tertinggal dan tidak didukung oleh sistem dan sumber daya yang bagus. Sistem perpustakaannya manual sehingga menghabiskan waktu untuk menelusuri koleksinya. Alat-alat pengajaran tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk menstrasfer ilmu kepada mahasiswa.
Perhatian terhadap sumber daya juga minim, baik terhadap tenaga pengajar maupun terhadap tenaga administratifnya. Sehingga pengajaran dan administrasi tidak bergairah dan membosankan. Akibatnya adalah kegiatan pengajaran yang asal jadi. Ini adalah pangkal bala kemacetan kemajuan.
Lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman seperti surau dan mesjid juga mengalami ritualisasi semata, surau dan mesjid bukan menjadi lembaga yang terintegrasi dengan perkembangan zaman. Dalam bidang pendidikan tidak ada surau/mesjid yang mempunyai perpustakaan, pada hal lembaga ini ini pusat kegiatan umat. Selayaknya setiap mesjid mengoleksi buku-buku pemikir-pemikian Islam dan kemajuan secara lengkap sehingga setiap saat bisa diakses oleh ummat. Organisasi Muhammadyah, Perti , Aisyiah atau organisasi lain yang eksis di Sumatera Barat juga banyak menceburkan diri mereka dalam kegiatan politik, organisasi-organisasi yang semestinya juga bisa memainkan peran itu ternyata tidak mempunyai “mimpi besar” untuk kemajuan seperti di zaman pergerakan. Karena itu semestinya setiap elemen perlu memperbaharui spirit untuk lompatan yang jauh.
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan sudah saatnya untuk didongkrak dengan signifikan jika Sumatera Barat tidak terus merosot. Kesan selama ini Pemerintah Daerah berlimpah uang untuk berbagai kegiatan, sementara lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi berjalan terseok-seok dengan dana yang minim. Untuk ini hanya kesadaran akan pendidikan dan kemajuan yang bisa membuat Pemerintah Daerah turunkan tangan sepenuhnya untuk membantu pendidikan, baik dalam pengembangan fisik, operasional maupun pegembangan sumber daya.

Epilog
Seorang teman bertanya apakah orang Minangkabau masih memitoskan sejarahnya pada tahun 2020, ketika setiap ruangan bisa terhubung nirkabel? Masih adakah mahasiswa kedokteran dari Malaysia yang belajar di Universitas Andalas? Masih belajarkah orang Sumatera Barat mengelola Pariwisata ke Malaka? Masih mengimpor sepeda motor dan mobilkah kah kita dari belahan Asia? Masih kah kita berbicara mengenai bagaimana cara bangkit? Masih kah kita berbicara kembali ke surau dan ke nagari? Jawabannya ada pada kesungguhan “kita”. Waktu yang akan menentukannya.***

Friday, September 07, 2007

KEBANGSAAN DAN RITUAL KEBANGSAAN

Oleh: Wannofri Samry
Setiap ada iven sejarah seperti Hari Ulang Tahun RI maupun pada Hari Pahlawan sering muncul kalimat-kalimat “menipisnya rasa kebangsaan generasi muda.” Ini terutama diucapkan oleh elite , terutama para pejabat Negara. Kalimat itu seakan menjadi isu wajib yang tidak kering-keringnya untuk diolah, kemudian digulirkan dalam berbagai kegiatan politik seperti indokrinasi, upacara bendera, dan mungkin seperti masa lalu diharuskannya penelitian khusus untuk calon pegawai negeri.
Isu yang paling baru dikemukakan oleh KASAD, Jenderal Djoko Santoso, dalam acara Lokakarya Kebangsaan/Patriot Leadership Development Center (PLDC) pada tanggal 13-15 Agustus 2007. Jenderal Djoko Santoso mengmukakan bahwa negara bangsa Indonesia dikepung oleh globalisasi dengan ikonnya tekonologi informasi dan komunikasi. Ini disebut-sebut sebagai biang akan berakhirnya negara bangsa. Selain itu KASAD juga mengemukakan neokapitalisme, neokolonialisme, neoliberalisme dan neokomunisme sebagai penyebab menipisnya kebangsaan. (Harian, Kompas, 20 Agustus 2007). Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong secara ekstrim, bahwa “kalau Indonesia gagal menerapkan Pancasila dalam 10 tahun ke depan Negara ini akan pecah”.
Nada-nada seperti yang dikutip di atas sudah sangat sering dikemukakan, nada-nada seperti itu seakan-akan kebenaran. Pada HUT RI ke-62 tahun ini rasa kebangsaan malah dihubungkan secara horizontal dengan penghormatana bendera merah putih, kesetiaan menaikkan dan menurunkan bendera, bahkan anak-anak muda yang berdemonstrasi dan membawa merah putih dan mengibar-ngibarkannya dianggap sebagai anak-anak yang menipis rasa kebangsaannya. Benarkah demikian? Tidakkah ini cara generasi tua yang lebih menginginkan orang muda seperti dirinya? Tapi untunglah dalam lokakarya yang dibina oleh KASAD itu muncul nada yang sangat optimis dan fair dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa generasi sesudahnya lebih tegas nasionalismenya.

Nasionalisme dan Ritual Kebangsaan
Kalau diamati konsep nasionalisme maka ia akan berbeda dengan ritual kebangsaan. Ritual kebangsaan muncul dengan wujud fisik, seperti upacara nasional, menaikkan bendera bila ada iven bersejarah dan nasional, hafal lagu kebangsaan, dan sebagainya. Tetapi tidak bisa dituding bahwa mereka yang tidak melakukan ritual kebangsaan mempunyai ideologi nasionalisme yang tipis. Karena sangat banyak warga negara yang jarang upacara nasional begitu tersinggung ketika bangsa asing seakan-akan mengancam bangsa Indonesia. Cuma, wujud kebangsaan itu berbeda-beda aktualisasinya. Sementara ritual kebangsaan seperti upacara dan menaikkan merah putih hanyalah sebagai bahagian “perapian” saja dari nasionalisme, walaupun itu tetap juga bahagian yang penting dari sebuah bangsa.
Nasionalisme sering dihubungkan dengan “sejarah bersama” dan “nasib bersama”, sebagaimana juga dikemukakan Prof. Muladi di dalam Lokakarya PLDC 14 Agustus lalu (dikutip Harian Kompas, Senin/20 Agustus 2007). Kalau dicermati, bila nasionalisme lebih dihubungan pada faktor historis tentu punya resiko, terutama untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis; mereka mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Karena pada hakekatnya setiap etnis sudah mempunyai akar sejarah tersendiri, itu kalau setiap etnis merujuk sejarah mereka jauh ke belakang sebelum abad ke-20. Justru dalam menanamkan paham nasionalisme yang penting adalah ide untuk ingin sejahtera bersama. Artinya seluruh etnis, walaupun berbeda latar kultural dan historisnya namun mempunyai pancangan cita-cita untuk selalu bersama; berjuang bersama, menderita bersama , terancam bersama serta jika sejahtera mesti pula bersama. Artinya setiap orang harus mempunyai rasa sedih jika ada warganya yang menderita dan mendukung semua bentuk kesejahteraan. Kalau ia pemimpin ia mesti bertekad untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Kalau ia anggota masyarakat mesti bertanggungjawab atas pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Pada bahagian ini saya melihat memang terjadi penipisan rasa kebangsaan, tetapi tidak adil jika itu hanya dilemparkan pada generasi muda. Justru penipisan rasa kebangsaan itu banyak terjadi pada elite bangsa atau generasi tua. Generasi tua adalah orang yang paling bertangggungjawab atas menipisnya kebangsaan ini, sebab kepemimpinan ada di tangan mereka.
Ada fenomena yang jelas melunturnya kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan bersama di kalangan elite atau pemimpin Indonesia. Amatilah, saat rakyatnya menderita sedangkan para pemimpin berfoya-foya, berlomba menaikkan gaji, pejabat pemerintah tiap sebentar tukar mobil mewah dengan anggaran negara. Para pegawai negeri rendahan dibiarkan dengan gaji rendah saat barang-barang melambung naik, saat biaya pendidikan terus melonjak (mahal ). Rakyat merasakan bahwa diri mereka diinggalkan para pemimpin mereka di saat nasionalisme didengung-dengungkan. Rakyat ibarat mendayung antara dua dataran: kebangsaan dan hidup yang berat.
Kalau diamati para pegawai negara, baik yang menjabat maupun yang rendahan, memang terlihat penipisan rasa tangggungjawab, di berabagi kantor terlihat banyak pegawai yang main-main dan tidak serius. Bekerja tampak sebagai sekedar syarat untuk mendapatkan gaji bulanan dan melalaikan urusan-urusan publik. Namun siapakah yang ditiru pegawai-pegawai itu kalau bukan generasi sebelum mereka?
Di bidang pendidikan, dalam kasus Ujian Akhir Nasional (UAN), kuat fenomena bahwa banyak pejabat negara di daerah menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan generasi bangsa. Itu terlihat dengan adanya kolusi untuk mengatrol nilai UAN dengan menginstruksikan murid-murid bekerja sama antara guru dan murid serta murid sesama murid. Apakah ini bahagian dari kuatnya nasionalisme elite bangsa?

Aktualisasi Kebangsaan
Aktualisasi kebangsaan setiap generasi berbeda, sesuai juga dengan dalil sejarah “setiap generasi akan menulis sejarah sesuai dengan pandangan mereka sendiri”. Aktualisasi kebangsaan generasi pergerakan sudah dituntaskan dengan berbagai pergerakan kebangsaan, baik ide maupun fisik. Usaha pergerakan itu dituntaskan oleh generasi revolusi dengan berperang dan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Gneerasi berikutnya berusaha mempertahankan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Setiap zaman tentu berhadapan dengan tantangan yang berbeda, yang berakibat berbedanya wujud aktualisasi diri mereka.
Saat ini dunia mengalami globalisasi dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi maupun transportasi. Pada bahagian lain terjadi perubahan ideologi politik, ekonomi dan budaya yang juga mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Karena itu tantangan generasi berikutnya jauh lebih berat dari generasi sebelumnya. Antar bangsa saling memberi pengaruh untuk menegakkan kedaulatan mereka. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan di tingkat negara dan individu karena meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi komunikasi dan pertukaran antar budaya lewat berbagai media yang dihantarkan ke setiap rumah sampai ke pelosok-pelosok desa. Perubahan dan tantangan semua itu tidak cukup hanya dengan memperbanyak upacara nasional atau ritual-ritual kebangsaan. Sebab ketidaksiapan generasi berikutnya untuk menghadapi tantangan-tantangan itu jauh lebih berbahaya. Karena itu nasionalisme mesti dipupuk dengan keseriusan setiap elemen bangsa, terutama pengelola negara untuk menyiapkan generasi yang tahan akan goncangan global.
Generasi muda, yang kini dianggap para elite di bawah kurungan neoliberalisme, neokapitlaisme, neokoloniaisme, dan neokomunisme sesungguhnya tidak perlu dicemaskan. Realitasnya mereka jauh lebih maju dan lebih siap dari generasi sebelumnya. Lihatlah di berbagai bidang selalu ada pertukaran generasi dengan kebih baik dan maju, bahkan banyak di antara mereka yang go international. Demonstrasi jalanan, komentar-komentar di berbagai media, kelompok-kelompok ilmuwan muda, komunitas seniman muda dan lain sebagainya sebenarnya juga wujud kecintaan generasi muda terhadap bangsanya. Apakah yang “kita” ragukan, selain keseriusan “kita” untuk mengolah mereka?
***
Memang, rasa kebangsaan mesti selalu dipupuk, tetapi bukan hanya dengan ritual-ritual kebangsaan, melainkan juga dengan membangun eksistensi diri generasi dan nilai-nilai kebangsaan. Eksistensi diri generasi dibangun dengan mengutamakan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang sempurna, membuat sistem ketatanegeraan yang baik dan menguntungkan masyarakat serta membina budaya-budaya positif yang melekat di setiap etnis. Berbagai nilai itu sebenarnya melekat dalam berbagai budaya yang secara ideologis disimpulkan dalam Pancasila. Pancasila dalam pemahaman ini bukan sekedar hafalan dan ideologi ritual tetapi wujud nyata nilai-nilai budaya positif untuk kesejaheteraan bersama dari Sabang sampai Merauke.***

Monday, May 07, 2007

IDE STRATEGI BUDAYA KITA

Oleh : Wannofri Samry
Seni-budaya bisa menjadi katrol pengaman dari egosentrisme lokal, suku, dan kelompok.. Rendahnya perhatian akan masalah seni-budaya mungkin salah satu penyebab dari radikalisme, kekerasan dan konflik di berbagai aspek.
Problem: Masalah seni budaya lokal Sumatara Barat saat ini berhubungan dengan arus globalisasi. Globalisasi dengan berbagai aspeknya seakan-akan menjadi “peluntur” bahkan “pemusnah” seni-budaya setempat.Perhatikan berbagai atribut seni yang masuk ke dalam masyarakat, semuanya seakan memberikan imajinasi, fantasi, pola budaya luar (terutama Eropa) yang tidak dimengerti akar sejarahnya oleh masyarakat. Budaya itu diterima oleh masyarakat karena memiliki medium atau sarana yang tersedia secara massal, seperti televisi, vcd, permainan elektronik dan sebagainya.
Pada sisi lain seni-budaya lokal tidak mendapat sarana atau media yang tepat. Televisi, radio, dunia digital lainnya tidak menyediakan ruang yang luas untuk seni-budaya lokal, ia terdesak oleh seni-budaya yang kapitalistik dan eropasentrisme. Pada hal dalam seni-budaya lokal itu sendiri mempunyai makna yang dalam, pada hal kalau seni budaya lokal bisa berkembang maka akan membentuk identitas sosial-budaya dan politik.
Ujud yang paling jelas dari pelunturan dan musnahnya seni budaya lokal adalah mulai menghilangnya seni-seni tradisi karena tidak ada regenerasi penciptaan dan pemaknaan, hilangnya dokumentasi seni-budaya karena merasa tidak diperlukan dan lain lain-lain sebagainya.
Dalam kondisi proses globalisasi yang terjadi sebagai “predator” (istilah Yasraf A Piliang) itu juga tidak adanya kebijakan yang signifikan dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk menghidupkan dan merevitalisasi seni-budaya lokal Sumatra Barat. Baik masyarakat maupun pemerintah, nampaknya memandang revitalisasi seni budaya lokal hanya sebagai membuang-buang dan dan tidak ekonomis. Itu terlihat dari minimnya perhatian, terlihat dari skala prioritas dari kegiatan dan anggaran pemerintah.

Upaya yang dilakukan: Perhatian pemerintah bukan tidak ada sama sekalai terhadap perkembangan seni-budaya lokal. Ada beberapa kebijakan yang mendukung perkembangan seni-budaya seperti didirikannya Dewan Kesenian Sumatera Barat (merupakan anjuran masa Orde Baru). Dewan kesenian itu juga muncul di sebahagian kabuptaen dan kota, seperti di Bukittinggi dan Kabupaten Limapuluh Kota, namun kegiatannya boleh dikatakan tidak jalan karena pemerintah hanya menjadikannya sebagai alat politik dan “hiburan”(peninabobokan seniman) dan tidak dijadikan sebagai lembaga penguatan budaya.
Selain itu juga ada Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya Sumatera Barat yang gedungnya berdiri di Padang. Di sini ada ruang pementasan, latihan, ruangan pameran, ruang pertemuan, taman terbuka dan mushola.Taman Budaya Sumatera Barat selama ini sering diprotes keberadaannya oleh seniman dan budayawan Sumatera Barat karena pengelolaannya tidak profesional, saranannya kurang di perhatikan dan tidak dilandasi strategi pemngembangan seni budaya yang tepat, sebab tidak melibatkan para kurator maupun orang perguruan tinggi bidang budaya.
Kemudian beberapa even-even seni juga dilakukan, umpamanya Festival Seni Pesisir, Alek Nagari Batipuah dan Penstas Seni oleh DKSB, serta beberapa even lain yang sporadis dan tidak berkelenjutan di berbagai dinas, instansi, komunitas dan lain-lain.

Hambatan: Hambatan dalam pengembangan dan revitalisasi seni-budaya sebagai medium untuk menguatkan identitas dan ketahananan nasional adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat bersama pemerintah akan pentingnya peran seni-budaya. Akibatnya adalah kurangnya inisiatif, kreativitas dan kemauan politik untuk menumbuhkembangkan seni-budaya. Konsekwensinya pemerintah sedikit sekali (bahkan tidak ada) mengalokasikan dana untuk pengembangan seni-budaya.
Pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat tidak mempunyai strategi yang jelas dalam pengembangan seni-budaya, sehingga terjadi tumpang tindih antara lembaga dan instansi dalam pelaksanaan even-even budaya. Ini tentu tidak efektif, baik dari segi pelaksanaan maupun dana.
Pada sisi lain tidak ada lembaga di tingkat kabupaten sampai ke nagari yang mendukung secara jelas pengembangan seni-budaya. Akibatnya kegiatan seni-budaya di
tingkat bawah berjalan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan militansi yang ada.
Tidak disediakan sarana dan media sampai ke nagari/pedesaan oleh pemerintah untuk pengembangan seni-budaya, sementara masyarakat juga tidak mampu mengadakan sarana itu. Akibatnya tidak terjadi pembaruan budaya, tidak adanya pertukaran budaya, tidak adanya trans budaya dan sebagainya. Kondisi seperti ini bisa mendatangkan ego budaya atau pandangan budaya sempit.
Hambatan lain dalam pengembangan seni-budaya adalah kurang baiknya menajemen organisasi, baik di tingkat pemerintah maupun di tingkat komunitas seni-budaya.

Sunday, February 18, 2007

POSISI PRISTIWA SITUJUH DALAM SEJARAH INDONESIA

Oleh Wannofri Samry**



Pendahuluan
Pada makalah ini saya ingin mengemukakan posisi Peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949 dalam perkembangan sejarah Indonesia. Ini perlu dikemukakan karena selama ini Peristiwa Situjuh sering dipahami sebagai bahagian dari Sejarah lokal Sumatera Barat. Hal itu setidaknya terlihat dari semangat Peristiwa Situjuh yang dilakukan setiap tahunnya. Tetapi saya pribadi tidak terlalu berpretensi untuk mengusulkan bahwa peristiwa itu menjadi bahagian dari sejarah nasional secara legal formal, karena hal yang sangat penting adalah memberikan kesadaran akan sejarah pada setiap orang, baik masyarakat maupun pemerintah. Satu hal yang sangat penting menurut saya adalah melakukan pengkajian ulang mengenai Peristiwa Situjuh Batur dan Limapuluh Kota umumnya . Kalau memang kita ingin peristiwa-peristiwa sejarah di sekitar daerah ini diperhatikan. Karena dengan menulis, orang akan membaca. Tulisan dan penerbitanlah satu-satunya jalan untuk mengangkat peristiwa Situjuh ke ruang publik.

Meletusnya PDRI
Peristiwa Situjuh Batur berkaitan dengan agresi Belanda ke-2, peristiwa itu ditandai dengan dibomnya Yogyakarta dan Bukittinggi oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Rentetan peristiwa itu adalah ditangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta beserta pemimpin lainnya. Soekarno dan Hatta kemudian dwitunggal itu pun diasingkan ke Bangka.
Peristiwa pemboman terhadap Bukittingi dan daerah sekitarnya tentu menjadi pengalaman yang tragik, romantik sekligus heroik bagi para pelaku dan masyarakat pada masanya. Diketahui pada tangga 18 Desember 1948 pesawat tempur Belanda, meraung di udara Bukittinggi , awalnya aksi pesawat itu dikira pesawat yang membawa Presiden Soekarno yang singgah di Bukittingi untuk selanjutnya pergi ke India.
Kiranya pada pukul 08.00 pagi tanggal 19 Desember Belanda menyerang kota Bukittinggi, Pusat Pemerintahan Sumatera. Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatanya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu diikuti oleh penyebaran pamplet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh Belanda. Selain itu Belanda mengajak semua pihak untuk bekerja sama menghancurkan para “teroris-teroris”, tak lain adalah poara pejuang Republik Indonesia[1].
Dibomnya Bukittinggi sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera menimbulkan inisisatif dari beberapa pimpinan yang ada di Sumatera. Pertama inisiatif, Tengku M. Hasan CS. Segera setelah pemboman ia mengadakan pertemuan bersama antara Tengku Muhamammad Hasan (Komisariat Pemerintahan Pusat), Mr. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah) dan Mr. Sjafruddin Prawira Negara (Menteri Kemakmuran ) yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Pertemuan itu diadakan di gedung kediaman Wakil Presiden M. Hatta. Karean tidk tuntas, pertemuan juga dilakukan di rumah Mr. Tengku Mohammad Hasan[2]. Ada dua hal yang penting digariskan dalam dua pertemuan itu, yaitu ide untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan segera menghimbau rakyat untuk mengungsi. PDRI perlu didirikan untuk menjaga agar jangan terjadi vakum kekuasaan [3].
Kedua insisiatif dari St. M. Rasjid, yang kebetulan pada waktu pemboman yang dilakukan tentara Belanda terhadap Bukittinggi sedang berada di Pariaman untuk menjenguk tiga buah kapal barang yang datang dari Singapura. Ia dengan penuh bahaya melewati Sicincin dan Padang Panjang menuju Bukittingi kira-kira pukul 11.00 wib pagi tanggal 19 Desember. Sementara itu tentara Belanda didengar sudah diterjunkan di Singkarak. Sesampainya di Bukittinggi Rasjid langsung mengadakan rapat dengan mengundang Dewan Pertahanan Daerah (DPD) dan beberapa pejabat daerah untuk bersidang. Karena kesibukan menyelamatakan keluarga untuk mengungsi maka banyak di antara undangan yang tidak hadir. Pada tanggal 20 Desember Mr S.M. Rasjid kembali mengundang kepala-kepala jawatan untuk mengadakan rapat, namun rapat ini gagal karena Bukittinggi terus dibom oleh tentara Belanda. Rapat itu baru terlaksana malam tanggal 20 Desember tersebut. Beberapa instruksi yang penting dari Residen Rasjid yang dirumuskan malam itu adalah: menyelamatkan barang-barang penting kepunyaan pemerintah, mengamankan penduduk, mengusngi keluar kota, tidak boleh bekerjasama dengan Belanda serta membumihanguskan kota sebelum ditinggalkan. Selain itu, Rasjid selaku residen Sumatera Barat juga menghimbau seluruh penduduk untuk memperlambat gerak musuh dengan menumbangkan pohon-pohon ke jalan yang kemungkinan dilewati kenderaan patroli Belanda, merusak jembatan dan sebagainya. Rapat terakir Residen Sumatera Barat adalah pada jam 11.00 tanggal 21 Desember, rapat ini diadakan sebelum Rasjid bersama keluarga meninggalkan Bukitttinggi menuju Payakumbuh.
Sampai di Payakumbuh jam 01.00 malam, Rasjid pun berkumpul dengan jajaran sipil dan militer untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintahan Sumatera Barat atas terjadinya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember. Ironisnya menurut Rasjid pertemuan itu diadakan di rumah dr. Anas, yang oleh masyarakat Payakumbuh dianggap sebagai kakitangan Belanda. Tetapi menurut Rasjid dr. Anas tidak membocorkan hasil pertemuan itu.[4]
Pada tanggal 22 Desember 1948 beberapa pejabat Republik yang ada di Sumatera sudah berkumpul di Halaban, saat itu pula tentara Belanda sudah menguasai Bukittinggi. Segera pada tanggal tersebut PDRI disusun dan kemudian diumumkan ke seluruh pelosok Nusantara bahkan ke mancanegara. Struktur PDRI bisa dilihat sebagai berikut:

Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Menetri Pertahanan dan Penerangan/ Mewakili Menteri Luar Negeri.
Mr. Tengku Mohammad Hassan : Wkil Ketua PDRI/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/mewakili menteri dalam Negeri dan Menetri Agama.
Mr. Lukman Hakim : Menteri Keuanga/ mewakili Menteri Kehakiman.
Ir. Mananti Sitompul : Menteri Pekerjaan Umum/mewakili Menteri Kesehatan
Ir. Indratjaja : Menetri Perhubungan/mewakili Menetri Kemakmuran
Mr. Sutan Muhammad Rasjid : Menteri Perburuhan dan Sosial/mewakli [5]Menteri Pembangunan dan pemuda serta mengurus soal-soal kemanan.

Dari struktur dan personal yang menjabat itu perlu dipahami bahwa PDRI bukanlah pemerintahan masyarakat Sumatera apalagi Sumatera Barat, karena ia dijabat dari berbagai unsur. Dan tujuannya juga untuk melanjutkan tugas pemerintahan pusat yang sedang vakum.
Hal yang penting dalam konteks ini adalah bagimana kondisi perjuangan PDRI di sekitar Limapuluh Kota dan korelasinya dalam keberadaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa PDRI mobil, dan dua pusat pemerintahan yang agak menonjol adalah di Kototinggi (Limapuluh Kota) dan Bidar Alam (Solok Selatan). Dipilihnya Kototinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan Sumatera Barat dan PDRI tentu dengan alasan bahwa nagari Kototingi dianggap aman dan srategis.Semenetara Bidar Alam strategis untuk pertahanan dan tidak begitu jauh dari sumber kebutuhan pangan. Kedua daerah ini berada di pinggiran dan lebih mudah untuk berhubungan keluar.

Pemerintah dan Masyarakat Lima Puluh Kota: Memperjuangkan Republik dari Nagari
Selain Yogyakarta dan Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumatera juga diserang oleh Belanda, salatu satunya adalah Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan kota Payakumbuh diserang dari udara dengan poesawat Catalina sehingga mengakibatkan hancurnya beberapa fasilitas dan mengenai beberapa penduduk. Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA:
“tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai 2 (dua) buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya korban’ dan satu lagi du batang tabit juga mengorbankan seluruh penumpang bis itu. Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah. ....ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.”[6]

Memperhatikan perkembangan kondisi, pada tanggal 20 Desember Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota yang berpusat di Payakumbuh langsung mengadakan koordinasi dan membicarakan mengenai kemungkinan langkah-langkah yang mesti diambil untuk menyelamatkan pemerintahan dan keselamatan masyarakat. Dua hari setelah itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk di Halaban. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka belanda pun menguasai penuh kota tersebut.
Kondisi Pemerintahan Lima Puluh Kota tercerai berai, kecuali dikabarkan bahwa Bupati Alifudin Saldin masih berada dalam kota. Sebahagian pegawai terpencar ke Payakumbuh Utara seperti Koto Tinggi dan sebahagian lagi terpencar ke selatan seperti ke arah Situjuh dan sebagainya. Akibat keterpencaran itu maka sulit bagi Bupati untuk mengkoordinasikan Pemerintahan. Untuk menyelamatkan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Barat di Kototinggi mengangkat Arisun St Alamsyah sebagai Bupati Militer. Dalam pemerintahan yang baru Arisun mencoba untuk mengorganisasi wilayah kecamatan di Lima Puluh Kota. Namun belum berapa lama memerintah Arisun gugur di Situjuh Batur.[7]
Berbeda dengan Bukittinggi, ketika dilancarkan Agresi Militer kedua , Kabupaten Limapulupuh Kota menjadi lebih sibuk. Karena daerah itu menjadi pusat administratif Sumatera Barat dan basis bagi perjuangan PDRI. Sejak dijadikan Kototingggi sebagai salah opusat aktivitas PDRI dan Pusat Pemerintahan Sumatera Barat, tak kurang 700 orang pegawai dan pejabat Sumatra Barat beraktivitas di sana. Konsumsi pegawai itu selama PDRI menjadi lebih ringan karena adanya dukungan dari masyarakat dan di-back up oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. Pengakuan Rasjid:
“Bukan hanya yang berwujud materi saja yang dikorbankan rakyat kecamatan Gunung Mas. Bahkan jiwa pun ikut mereka korbankan dengan ikut pergi ke front di sekitar payakumbuh untuk bertempur dengan Belanda. Tidak kuat rasanya saya menuliskan bagimana menanggung beban utang budi dan pengorbanan dari semua rakyat seluruh kecamatan itu. Sampai nyawa bercerai dengan badan tak akan saya dapat melupakan kebaikan hati mereka”[8]

Sebelum peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949, beberapa kebijakan untuk mendukung perjuangan sudah dikeluarkan oleh Bupati Militer Arisun, namun tampaknya koordinasi terhadap pemerintahan tampaknya kurang jelas.Sehingga intruksi yang dikeluarkan Bupati banyak yang tidak dilakukan. Sementara maslah sosial dan ekonomi juga berkembang sejalan dengan banyaknya para pengungsi dari daerah lain yang datang ke nagari-nagari di Limapuluh Kota.
Beruntunnya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember tampaknya membuat tidak berdaya tentara, polisi dan barisan perjuangan. Semuanya sudah lari menyelamatkan diri dan keluarga ke nagarai-nagari. Kelemahan itu kelihatan saat terjadinya patroli bermotor Belanda ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949. Artinya beberapa instruksi dari Gubenrnur Militer dan Pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terlaksana.
Perisyiwa patroli bermotor ke Kototinggi tanggal 10 Januari mendapat perhatian serius dari Gubernur Militer, S.M. Rasjid. Malam setelah patroli Bea mundur ke Payakumbuh, Rasjid mengundang seluruh elit perjuangan di Kototinggi untuk rapat. Selain rasjid, beberapa orang yang ikut rapat malam itu antara lain, Komandan teritorum Sumatera Barat, Letkol. Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, Ketua MPRD, Chatib Sulaiman, Djuir Muhammad dan Anwar St Saidi. Rapat itu telah memutuskan untuk membentuk koordinasi yang lebihbaik baik antara tentara, BPNK dan wali perang, perusakan jalan dan mengadakan pertemuan yang lebih luas di Situjuh Batur untuk mengadakan kordinasi . Hal yang juga penting dan diagendakan adalah memecahkan maslaah pasukan batalyon singa harau yang pindah ke Payakumbuh.[9]
Peristiwa patroli Belanda tanggal 10 januari ke Koto Tinggi juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Limapuluh Kota. Untuk itu, beberapa strategi yang diinstruksikan oleh Pemerintah Limapuluh Kota sebelum perisitiwa Situjuh Batur pun dikeluarkan. Intruksi itu antara lain, rumah-rumah yang berada di pinggir jalan jangan dikunci pada siang hari, sebab musuh biasanya lewat pada siang hari, karena itu sebaiknya ada anggota keluarga yang tinggal untuk memata-matai musuh. Kemudian diharapkan di setiap 500 meter pada jalan-jalan besar diharuskan merebahkan pohon ke jalan untuk merintangi musuh. Kemudian diharuskan membunyikan tontong bila diketahui ada musuh yang masuk nagari. Setiap Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) hendaklah meningkatkan aktivitasnya siang dan malam. Instruksi lain adalah meruntuhkan beberapa jembatan penting di sekitar kota, sehingga Belanda tidak bisa patroli ke luar kota.[10]

Tragedi dan Problematika Perjuangan
Peristiwa Situjuh Batur sudah terjadi 58 tahun yang lalu. Peristiwa itu pasti meninggalkan kesan yang dalam bagi para pelakunya dan masyarakat yang menyaksikannya. Mungkin di sana ada duka, romantisme sejarah, heroik dan sebagainya. Kadang kala pembicaraan peristiwa Situjuh hampir identik pula dengan pengkhianatan Kamaluddin Tambiluak, seorang Letnan II yang pernah diutus dalam penyelundupan hasil bumi ke Singapura oleh Divisi Banteng.Namun secara lebih jernih dan luas peristiwa Situjuh mesti ditempatkan di atas krisis yang lebih luas, baik di tingkat pemerintahan PDRI maupun di Lima Puluh Kota. Tidakkah beberapa faktor sebelum peristiwa Situjuh Batur membuka peluang untuk terjadinya tragedi?
Dari arsip-arsip Limapuluh Kota sebelum peristiwa Situjuh Batur, tidak banyak koordinasi yang berarti untuk perjuangan di daerah ini. Terakhir sekali Bupati Arisun hanya memberikan pembagian tugas sebagai ganti dari Susunan Organisasi pemerintahan, seperti bidang Politik, Pertempuran, Keamanan, Propaganda Siasat dan persenjataan. Susunan ini tentu lemah dan tidak effektif untuk perjuangan.[11]
Sementara dalam bidang militer terjadi perselisihan dan salah paham di antara kelompok militer. Kembalinya 2 pasukan Singa harau dari Sawahlunto masuk dalam agenda rapat yang akn dibicarakan di Lurah Kincir, sehingga dua pasukan itu tidak diikutkan dalam mengawal rapat. Pengawalan rapat lebih mengandalkan perusakan jalan. Pada hal rapat yang sangat penting itu dihadiri oleh oKetua MPRD Sumatera Barat.
Di kalangan tentara terjadi gap-gap yang bermuara pada konflik. Ada diantara tentara yang saling bunuh. Sebelum rapat besar di Situjuh Batur, sudah terjadi pertengkaran mengenai tempat rapat antara Syofyan Ibrahim (Kepala Intelijen Divisi IX Sumbar dengan Kamaluddin tambiluak anggota perlemngkapan Divisi IX.). Gejala-gejala seperti itu merupakan sinyal tidak kuatnya pertahanan dan keamanan.
Rencana rapat besar di Situjuh Batur sudah tersiar dari mulut ke mulut, baik antara masyarakat maupun antara para pejuang. Isu rapat itu tentu mudah diketahui oleh Belanda yang pendidikan intelijennya jauh lebih baik dari tentara Republik. Rapat itu seperti disambut dengan begitu semangat, initerlihat dari aktivitas masyarakat meruntuhkan jembatan, menumbangkan pohon dan sebagainya. Aktivitas seperti ini mudah diketahui Belanda, apa lagi sehari sebelum rapat pesawat capung Belanda sudah melintas-lintas di angkasa Situjuh. Ini tentu bahagian dari tanda-tanda yang kurang kondusif. Tetapi rapat terus dilangsungkan, dan diserang oleh Belanda.
Peristiwa Situjuh pada suatu sisi memang merenggut puluhan nyawa, dan melukai banyak orang. Namun Peristiwa Situjuh Batur telah menjadi titik tolak untuk melakukan perjuangan di basis PDRI. Konsolidasi tentara dan pemerintahan dilakukan setelah itu. Tentara yang sebelumnya tidak terkoordinasi kini dipimpin dalam satu Komando Pertempuran Limapuluh Kota, di bawah pimpinan Kaptem M. Syafei.[12] Di bawah koordinator Syafei, Payakumbuh yang dikuasai Belanda diserang pada tangal 3 Januari secara serentak. Serangan itu telah memberikan rasa gembira, meningkatkan kepercayaan di hati rakyat kepada pemerintah dan tentara. Peristiwa penyerangan yang menghancurkan beberap pos Belanda itu cukup memberikan keyakinan bahwa Republik Indonesia masih ada, karena itu kerjasama antara masyarakat dan pemimpin pun dirasakan.



Penutup
Tiap tahun peringatan Peristiwa Situjuh terus dilakukan, tiap peringatna itu ada saja cerita baru mengenai peristiwa, baik yang dituliskan di media massa maupun dalam kelisanan. Tentu, Kabupaten Limapuluh Kota sebagai salah satu basis Republik, khusunya PDRI menyimpan banyak memori. Tetapi sayang pelaku sebagai penyimpan memori itu satu per satu meninggalkan kita. Sayang jika tidak ada rekaman jejak sejarah, atau tepatnya penulisan sejarah yang agak baik mengenai berbagai peristiwa itu. Karena itu penulisan sejarah yang masih belum digali itu akan menjadi penting dan mendesak untuk mengungkapkan sejarah yang utuh. Hanya dengan itu setiap peristiwa bisa diwariskan. Juga akan ironis, bila sejarah hanya dituliskan dengan orientasi “hero” dan sebagai legitimasi dan politis. Jika tidak ada bacaan sejarah yang ditinggalkan maka sejarah iotu akan bisu pada generasi berikutnya.***


*Makalah disampaikan dalam acara 58 tahun Peringatan Peristiwa Situjuh yang diselenggarakan di Kecamatan Situjuh Limo Nagari, Kabupaten Limopuluh Kota.**Drs. Wannofri Samry, M.Hum. magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas dan Ketua Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan (PUSINDOK) Unand Padan
[1] Marah Joenoes, Mr. H. Sutan Muhammad Rasjid, Perintis Kemrdekaan, Pejuang Tangguh, Berani dan Jujur. PT Mutiara Sumber Widya, 2003. hal. 101-102

[2] St. Mohammad rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. hal. 11
[3] Ide pembentuk PDRI pertama sekali muncul dari Mr. Sjafruddin Prawira Negara di rumah Tengku Mohammad Hassan, yang dikemukakan kepada Mr. Tngk Mohammad Hasan, Kolonel Hidayat (Panglima Tentara teritorium Sumatera) dan M. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah). Lebih jelas lihat Rasjid, ibid. hal.11-13, Wannofri Samry, Pedesaan dalam Revolusi: Pengungsian, Partisipasi, dan Mobilisasi rakyat Sumatera Barat. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas/OPF, 1984/1985. hal. 13
[4] Menurut rekaman arsip Belanda Dr. Anas pernah mendapatkan training masalah kesehatan di Belanda. Lihat Audrey Kahin, Strugle for Indpendence: West Sumatra in The Indonesiaan national revolution 1945-1950. A thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at Faculty of The Graduate School of Cornell University, may 1970. p. 296.
[5] Keterangan lebih jauh
[6] Anwar ZA, “Keadaan pemerintahan PDRI: Hubungan Administratif dan Rakyat Sivil di Tuingkat Kabupaten (Kasus L Kota).. Makalah disampaikandalam Seminar nasional Sejarah PDRI 1948-1949 Padang, 22-24 Desember 1993. hal.2-3.
[7] Anwar ZA, Ibid.
[8] Ibid. hal. 116
[9] Azwar Dt. Mangiang, Menyingkap Tabir yang Mwenyelimuti Peristiwa Situjuh batur 15 Januari 1949. hal. 9-10.
[10] Beberpa instruksi dikeluarkan seminggu sebelum terjadi peristiwa Situjuh Batur. Lihat umpamnay” instruksi Bupati Militer Limapuluh Kota no2 dan nomor tiga tanggal 12 Januari 1949”. Arsip.
[11] Arsip Rapat Kabupaten Limapuluh Kota tanggal 11 Januari 1949.
[12] Nama-nama komando pertempuran itu yaitu; Sektor Pertempuran Naga Jantan, Garuda mas, Merapi, dan Singa Harau. Azwar Dt. Mangiang, Peristiwa Situjuh… hal. 47.

Monday, February 05, 2007

KOTA TERCINTA, KOTA TERMINAL

Oleh Wannofri Samry

Membaca riwayat kota Padang, sambil duduk di Pantai Muara, lalu berjalan menyusuri Pantai Purus arah ke Utara sungguh sangat menyenangkan. Kita bayangkan sekitar satu setengah abad yang lalu kapal-akapal asing berlabuh. Sejauh-jauh mata memandang lautan benar-benar biru. Di sana sun set terbenam di sore hari. Masa depan terasa indah. Pantaslah dulu Padang diberi julukan Padang Kota Tercinta. Semboyan itu jelas terasa mengandung unsur empati dan simpati, sejuk, damai, dsb.
Masa tahun 1980-an Padang menjadi kota teladan, paling tidak kota inilah sebagai penggagas pengumpulan sampah dengan kantong plastik. Kota bersih. Di mana-mana masyarakat takut buang sampah karena takut kena denda.
Kita masih ingat, terminal dalam kota, Andalas namanya. Sekitar 200 meter dari sana juga ada terminal oplet. Tak ada macet, karena memang penduduknya masih belum seperti sekarang. Lagi pula tidak ada pula plaza dan supermarket, yang ada adalah Pasar Raya, Pasar yang merakyat. Namun Padang masuk ke hati masyarakat, sebagai Kota Tercinta.
Sudah berjalan satu generasi, 26 tahun yang lalu. Padang berubah wajah. Plaza dan supermarket bermunculan. Mobil dan Honda mulai bertebaran dan berseliweran. Di mana-mana macet. Terminal Andalas berubah menjadi Andalas Plaza, megah. Ini Plaza kaum megapolis, berwajah kapitalis global. Di bekas terminal oplet, atau eks Goan Hoat, mucul pula super mall baru. Jadi bangunan-bangunan beton sebagai wujud kemodernan muncul.
Siapapun tidak ada yang takut munculnya bangunan-bangunan beton, walaupun ada kalanya menyesakkan pasar rakyat dan menggaggu ekologi kota. Walaupun kadang kala kota jadi sumpek.
Beberapa masalah yang dicemaskan oleh warga kota adalah pembangunan yang tidak berorientasi rakyat dan lingkungan. Kota dibanguna sejarah digusur, kota makin sumpek, sampah m,enjadi berseliweran di mana-mana, jalan-jalan jadi macet dan sebagainya. Masalah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat kota tentulah bukan melulu masalah investasi dan fisik. Penting juga dipermbangkan adalah kedamaian, ketenangan dan keamanan.
Entah orientasi pembangunan yang salah atau kebijakan yang tidak pada tempatnya, yang jelas sampah bertebaran dimana-mana. Tong-tong sampah yang dibangun di berbagai sudut kota hanya menjadi tempat pembusukan belaka dan sampat berseliweran di sekitarnya. Artinya Tong sampah menambah penyebaran sampah.
Macet sudah menyebar di mana-mana. Kemacetan mungkin belum disebabkan oleh kekurangan jalur, sebab banyak- jalur-jalur tertentu yang kosong. Tampaknya ada miss policy dalam mengatur jalur.Lihatlah, dimana-mana sudah menjadi terminal, ada Terminal Minang Plaza, Terminal Angkot di depan mesjid Muhammadyah, di Simpang Cangkeh, di depan Rocky Plaza, di Jalan Permindo, pokoknya tidak jelas mana yang jalan dan mana yang terminal.
Kini Dinas Perhubungan Kota Padang sibuk pula mengatur jalur Utara-Selatan agar bus-bus antar kota masuk kota. Ini adalah sebuah kemunduran dan menghabiskan energi. Memberikan kebijakan untuk masuk terminal yang sudah diterapkan sebelumnya itu sudah tepat, tetapi bagaimana mendisiplinkan mereka. Kota-kota moderen tidak ada yang busnya masuk kota, sebab kota sudah beggitu macet. Lagi pula bila bus antar kota masuk kota juga memprsempit pendapatan pengusaha angkot dan memperlambat pengembangan kawasan lainnya.
Terminal Bingkuang sudah dibangun dengan milyaran rupiah, tempatnya sudah baik. Itu positif untuk pembangunan dan pengembangan kota. Tetapi kenapa Terminal Bingkuang masih belum bisa dimaksimalkan pada hal sudah mau hancur pula?
Di manapun Terminal bus, kalau masyarakat membutuhkan pasti dicari masyarakat penggunanya. Itu jika sistem dn pengaturannya jelas. Terminal akan ramai bila penggunanya memang terkait dengan terminal tersebut. Umpamanya di sana ada kawasan pertokoan, grosir, perkampungan dan sebagainya. Kemudian bagi masyarakat yang penting adalah terminal tersebut aman, nyaman dan ada transportasi yang baik untuk ke sana. Bagi pemilik bus, aturan termninal dipatuhi jika memang ada aturan yang jelas dan kebijakan yang tegas.
Selama ini terkesan pemerintah ragu-ragu menerapkan aturan. Terminal dibangun, bus antar kota disuruh masuk terminal sementara “bus-bus nakal” dibiarkan ngetem di luar terminal tanpa ada sangsi yang konsisten. Ini tentu merugikan sebahagian pengusaha dan sopir yang patuh pada aturan.
Kini pembangunan dan kebijakan kota mesti dikaji ulang dengan melibatkan seluruh ahli, baik dari pemerintah maupun dari perguruan tinggi serta dari berbagai bidang ilmu. Kota ini mesti diatur dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan ilmu kira-kira. Karena kadang kala, ada yang dilihat baik tetapi secara ilmu pengetahuan tidak baik. Mungkin tidak baik jika kita hanya memberi obat untuk penahan sakit sementara sakitnya terus berkembang, tetapi bagaimana kita mencari solusi jangka panjang. Seiring kata orang bijak, “kita jangan menunda kekalahan”, begitu juga dengan kehancuran sebuah kota”. Karena itu mari dibela.***