Total Pageviews

Friday, November 21, 2008

MALAY’S SOCIETY:SORROWFUL REALITY " A BIG CLAN" IN SOUTH-EAST ASIA



Oleh Wannofri Samry

Very recently, the relationship between the governments of Indonesia and Malaysia has not been so amicable. This is caused by several problems such as frontier conflict, Indonesian labourers (Tenaga Kerja Indonesia) in Malaysia, and the copyrighting of the song “rasa saying-sayange”. These problems has become a serious dilemma in the “Malay” societies in Southeast Asia, like Indonesia, Malaysia, parts of Thailand, Singapore, and Brunei. On the one hand, they feel to belong to a clan or “serumpun”, on the other hand, they all live in different states. They are seen in a different political entity; their political and cultural views interfere.
In resolving this problem, like the case of Indonesia and Malaysia, can be usually solved by a political paradigm. Perspectives on politics always encourage the spirit of patriotism and nationalism. Therefore, both nations become too angry at each other. This conflict can be resolved through a historical perspective. By tracing both countries’ histrocial roots and analyze the value of each state might help in resolving this problem. Thus, the paper wishes to present the truth of the Malay culture and society through historiy and anthropology(Note: Please contact me if you want to read this full paper)

PERS TAK MENGGIGIT

Oleh Wannofri Samry

Menurut Duncan MC Cargo(2000) ada beberapa pradigma yang sering berlaku dalam literatur politik dan media. Pertama, hegemony of state power(dominasi kekuasaan negara). Dalam hal ini media hanyalah sebagai bidak dan pelayan negara. Fenomena ini sangat kentara di berbagai dunia ketiga seperti Thailand, Malaysia dan Indoensia. Sebelum jatuhnya Soeharto, pers tidaklah bebas. Berbagai media menjadi corong pemerintah dan menyalurkan kepentingan-kepentingan penguasa. Istilah Goenawan Mohammad, pers ibarat ‘pesawat yang dibajak’. Artinya ia dikendalikan. Pers semacam ini sulit diharapkan bisa mengkritisi pemerintah. Dalam konteks literatur sejarah pers Indonesia, pers semacam itu bukan pers yang berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Pradigma lain adalah media sebagai watchdog, ia sebagai anjing penjaga dari pada kepentingan publik. “Suatu teori tentang watchdog adalah: pers sebagai wali oposisi dan bertindak dengan kuat menentang segala penyimpangan serta mempromosikan kepentingan publik. Dalam konteks ini pers merupakan media yang progesif untuk demokratisasi.
Ketiga media sebagai institusi yang netral, menengahi kepentingan publik, ia mendedahkan berita ke pembaca dan meninggalkan pembaca begitu saja. Pembaca dan media berjalan sendiri-sendiri, silakan pembaca untuk mengambil kesimpulan dan tindakan terhadap informasi yang diberikan media. Kalau banyak media mengemukakan informasi tentu banyak informasi yang diolah. Dalam media seperti itu tentulah semua informasi telanjang, lalu masyarakat dan pemerintah siap menerima apa adanya.
Pandangan lain adalah media sebagai agenda setter; yaitu untuk mengembangkan isu, dan menempatkan mereka dalam agenda debat dan diskusi publik. Model ini sering berhubungan dengan analogi watchdog, yang sering menafsirkan dan menghadirkan dengan a highly positive light. Keberhasilan pers dalam pradigma ini adalah sejauhmana ia mampu mengangkat isu-isu publik ke permukaan dan menjadi agenda bagi pemerinitah dan masyarakat dalam meningkatkan kemajuan hidup mereka. Pers semacam ini tentu juga berani untuk berdebat mengenai berbagai masalah yang peka terhadap kekuasaan sekalipun.

Pers Kita
Dimanakah posisi pers kita? Kalau 10 tahun lalu hegemoni negara begitu kuat, pers dibajak, maka tidaklah aneh jika pers berada dalam ketakutan, kemudian dengan berbagai alasan menyalurkan ‘nafsu’nafsu kekuasaan” serta menyembunyikan suara publik di belakang meja redaksinya. Kini demokratisasi dan desentralisasi sudah berjalan, semua relatif bebas bicara(tetapi bicara apa?). Apakah pers masih dalam ketakutan dan menjalankan tipikal hegemony of state power? Mampukah pers menjadi watchdog, yang tidak hanya menggonggong tetapi menggigit. Tetapi, jika menggongong pun tidak juga maka mungkin ini masalahnya kembali ke perangkat-perangkat dasar dari material pers itu sendiri.
Banyak orang menganggap bahwa masalah pengembangan pers tergantung pada financial dan pada masa Orde Baru dianggap aturan yang mengekang adalah penyebab pers tidak berkembang.Walaupun didukung finansial yang banyak dan terbukanya pembuluh demokrasi, ternyata masih banyak pers yang bertipikal pelayan dari penguasa-negara, bukan publik. Pers sering menampilkan a big shot dari tokoh-tokoh politik dan birokrat. Wartawan dan media banyak yang senang dan bangga mengadakan relasi dengan pemeritah dengan para penguasa. Keinginan pers menampilkan tokoh-tokoh birokrasi ibarat kecanduan bergoyang dangdut di tengah pesta kemabukan. Wartawan-wartawan muda, yang kata Dahlan Iskan akan menentukan nafas pers pada masa depan, tidak dilatih dengan semangat juang “pers yang menggigit” mereka dilatih membuat berita di teras-teras istana pemerintah yang tidak mempunyai tantangan kecuali penemuan sebuah relasi dan koneksi pemberitaan. Para jurnalis, jika dalam zaman pergerakan sebagai pemburu berita, kini sebagai a servant of power.
Fenomena dalam sebahagian pers kita hari ini adalah ketergantungan mereka akan iklan, yang ada pada banyak pengusaha dan penguasa. Di banyak daerah yang tidak tergarap ekonominya, maka pemerintah dan politisi adalah sumber iklan utama. Setiap hari berita ucapan selamat secara terang-terangan muncul dari politisi dan birokrat. Profil-profil tokoh-politik dan birokrasi muncul di halaman depan dan halaman-halaman penting lainnya. Isinya adalah salinan dari pikiran tokoh tersebut yang dibantu oleh wartawan menuliskannya. Walaupun tidak ada penelitian khusus tetapi realitas ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai media.
Kesalahannya jelas dari alas bakul berdirinya sejumlah media; hanya sebagai alat mencari uang. Jelas sukar untuk membandingkannya dengan beridrinya media-media besar semacam Mingguan Tempo dan Harian Kompas, apalagi dibandingkan dengan media masa pergerakan seperti Pedoman, Pandji Islam dan lain-lain. Media massa kita banyak diawali dengan komitmen jurnalistik yang rendah dan tidak mempunyai visi bahkan low teknis.
Masalah lain juga akan berhubungan dengan para editor, reporter dan penulis. Para editor yang tidak berpengalaman menulis, lalu tiba-tiba menjadi pengedit berita dan tulisan, ini juga tidak menghasilkan konten pers yang bagus. Perkara lain adalah kemalasan untuk memeriksa dan langsung copy-paste. Banyak reporter hanya menjadi pers tempat persinggahan, bukan pilihan hidup dan bahagian dari sebuah proses yang penting dalam dunia intelektual mereka. Berita banyak reporter hanya sebagai pemindahan kata-kata ke mesin ketik dan komputer, nilai-nilai humanisme dan intelektual tidak menjadi roh.
Penurunan berita, tulisan juga sering tanpa sebuah rencana yang matang. Berita hari ini muncul, besok berganti berita lain. Tulisan hari ini dimuat, besok habis begitu saja. Tidak ada discourse konten, yang terjadi hanya komunikasi satu arah. Ruang polemik sering juga ditutup dengan berbagai alasan para editor ataupun redaktur. Karena itu tidak akan pernah terjadi saat ini polemik seperti polemik M. Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan negara, ataupun seperti polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana(STA), Ki Hadjar Dewantara, Armijn Pane dan tokoh-tokoh lainnya. Mungkin kita juga merasakan tidak dalam pergerakan lagi, tetapi dalam masa akhir perjuangan dan ingin menikmati. Karena itu pers kita tidak menggigit, paling-paling juga sedikit menggonggong.***