Total Pageviews

Saturday, June 06, 2009

ANTARA KLAIM DAN KEKACAUAN REALITAS


Oleh: Wannofri Samry

Ketika terjadi demonstrasi dan pemukulan terhadap Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara pada beberapa waktu lalu, semestinya semua orang tidak usah terkejut. Itu adalah hanya letusan kecil dari serentetan penyakit yang ada dalam sistem budaya demokrasi Indonesia. Letupan-letupan itu akan bisa lebih banyak dan terjadi di mana-mana, dan Abdul Aziz lainnya akan jatuh menjadi korban. Apakah setiap insiden-insiden itu hanya akan “kita” kecam, atau pemerintah akan berpuas diri mengucapkan duka dan mengusut? Memperhatikan realitas keseharian “Indonesia” tentu insiden itu masih akan berulang; keseharian kita begitu kacau dan tanpa sistem yang jelas; mulai dari kantor, jalan raya, dan pasar semua berjalan dengan akal-akalan serta tidak menyenangkan. Namun klaim setiap periode menunjukkan ada peningkatan. Artinya ada kekacauan dalam masyarakat dan ketimpangan besar antara klaim pemerintah dan realitas yang dihadapi masyarakat.

Ketimpangan dan Klaim

Kelemahan pemerintah dari masa ke masa tampaknya terjebak dalam wacana-wacana besar dan mengklaim kesuksesan-kesuksesannya dengan angka-angka statistik. Tanpa bermaksud menurunkan kredibilitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perhatikanlah iklan Partai Demokrat bersama Presiden SBY. Iklan yang bertema “Berjuang untuk Rakyat” itu menyatakan 69% rakyat puas dengan kinerja Presiden. Disana ada klaim tentang membaiknya cadangan devisa, membaiknya program pro-rakyat, menaiknya anggaran kesehatan dan pendidikan, serta membaiknya produksi beras, pemberantasan korupsi dan penghasilan. Kemudian klaim pemerintah juga mengenai penurunan beberapa harga sembako serta pengurangan pengangguran, kemiskinan dan hutang negara. Klaim-klaim seperti ini tentu selalu dilakukan oleh semua penguasa, sejak Soekarno sampai SBY. Klaim-klaim demikian, akhir-akhir ini hampir memenuhi ruang-ruang media massa.

Realitas berbeda, sebagai kaca lain, ruang publik sangat pantas menjadi kaca bersama. Apa yang diklaim pemerintah di berbagai media menjadi jauh berbeda dari pada apa yang terjadi di tengah masyarakat. Dari sektor pembangunan umpamanya, apakah terjadi peningkatan pembangunan jalan raya yang di luar Jawa sejak awal reformasi sampai saat ini? Jalan-jalan luar Jawa, sebagai sumber penyalur devisa yang sangat besar, masih saja ketinggalan sekian kali lipat dibandingkan dengan jalan-jalan raya di Jawa. Semua orang berpikir ulang jika ingin menempuh jalan-jalan raya di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, apa lagi di Papua. Infrastruktur-insfrasturktur pembangunan luar Jawa tetap hanya menjadi wacana yang menarik di ruang-ruang umum dan media massa, namun pembangunan di sana berjalan seperti semut.

Ketimpangan pembangunan seperti itu tentu akan tetap mengendapkan keirian, kedengkian dan tensi emosi. Makanya, pemekaran-pemekaran wilayah di berbagai daerah pada saat ini dianggap sebagai solusi terbaik oleh banyak orang, sebab memang ada daerah-daerah yang berkembang lebih pesat setelah diadakan pemekaran. Namun, realitasnya pemerintah sangat lemah dalam menjalankan pemerintahan sehingga demokrasi dan budaya menerabas dan mobokrasi tidak terkawal. Pemerintatah juga tidak mempunyai kearifan yang tinggi untuk meratakan pembangunan sejak awal Indonesia merdeka.

Kekacauan Budaya Publik

Saat berjalan di ruang publik semua orang boleh berpikir dan frustrasi; kenapa sesuatu yang diklaim pemerintah di media massa tidak ditemukan di ruang-ruang publik? Klaim pemerintah selalu menunjukkan peningkatan pada setiap tahun namun di ruang publik realitas itu tidak ada. Setiap orang, dengan kasat mata, bisa melihat orang setengah mati(kelaparan) bergelimpangan di kota-kota karena tidak makan berhari-hari. Para orang tua murid tidak mampu menyekolahkan anaknya karena tidak ada biaya, dan orang-orang gila bertelanjang dan berkeliaran dengan sesungguhnya di jalan raya, orang-orang misikin menahan penyakitnya karena mahalnya biaya berobat. Transportasi missal tidak diatur sedemikian rupa sehingga kacau. Pelacur-pelacur bisa beroperasi di setiap sudut kota secara terang-terangan. Apakah pemerintah memperhatikan korelasi klaim peningkatan pembangunan terhadap hasil kerja pemerintah dengan memperhatikan kondisi kemasyarakatannya yang buruk seperti itu?

Jika orang memperhatikan infrastruktur publik maka tampaklah pemerintah membangun kepentingan publik itu dengan setengah hati. Pasar-pasar yang tidak sehat dan becek, jalan raya yang tidak kunjung bertambah baik di saat tidak adanya kebijakan pembatasan kenderaan bermotor, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak teratur dan memadai, masyarakat yang keluar dari sistem aturan karena tidak adanya penegakan aturan dengan baik dan sebagainya.

Jalan raya sangat tepat sebagai reprsentasi keseluruhan daripada kepribadian dan budaya demokrasi yang sedang kita lewati. Di jalan raya bisa diperhatikan bagaimana kepribadian bangsa ini sedang mengalami kekacauan yang sangat parah; di sana tampak budaya korupsi, kesembronoan, keengkaran dan menerabas. Pada jalan raya tidak muncul kearifan budaya yang sebenarnya berkembang subur di berbagai budaya etnis di seantero Indoensia. Di jalan raya susah dibedakan siapa ustaz, guru, aparat, kaum professional, birokrat, preman dan sebagainya; semuanya menempuh jalan raya dan cara yang sama; tidak beretika. Lihatlah motor menyalib kiri-kanan, tidak mau antri saat macet, menyerempet ke jalur trotoar di mana pejalan kaki sudah terdesak, masuk ke jalur bus way secara sembarangan. Para pengendara seenaknya berhenti di persimpangan, angkot berhenti di jalur-jalur terlarang, bus umum menurunkan penumpang di tengah jalan raya. Di pinggir-pinggir jalan gerobak asong berdiri seenaknya, di sana juga banyak warga yang kencing dan membuang sampah sesukanya. Ini adalah wajah Indonesia yang sedang mengalami kekacauan budaya atau terlepas dari orbit-orbitnya.

Umumnya, di ruang publik orang merasa berkepentingan dan merasa berhak walaupun sering melanggar kepentingan hak orang lain. Orang tidak perlu terikat sama budaya dan sistem yang dibuat, karena sistem itu juga tidak pernah dibentuk secara baik dan ditegakkan secara konsisten. Walaupun begitu banyaknya pelanggaran di ruang publik secara kasat mata, yang membahayakan banyak nyawa, tetapi jarang ditegur, diberi sanksi atau didera secara kosisten. Semuanya bisa tarik ulur sesuai dengan kepetingan saja. Semua tidak berjalan menurut aturan yang dibuat. Maka, Orang membuang sampah dan kencing di ruang-ruang kota dibiarkan tidak sedikitpun merasa bersalah, angkot yang berhenti di persimpangan tidak ditilang, pengendara memarkir kenderaannya di tempat-tempat terang diabaikan aparat, aparat masuk jalur busway dan diikuti oleh pengendara lain dianggap normal. Masyarakat menganggap semua hanya kebiasaan yang tidak perlu diperdebatkan. Semua menjadi kebal dengan kesalahan-kesalahan dan kejadian-kejadian yang abnormal.

Peran Media dalam Abnormal

Saat wakil-wakil rakyat kurang menyuarakan kepentinhgan publik dan ketika para birokrat kekuranagn nyali dan tidak mau peduli dengan kebijakan-kebijakan kerakyatan, semestinya media memainkan peran besar dalam mendorong pemerintah untuk memperhatikan masalah-masalah publik. Sebab media menurut Melvin L De Fleur akan mampu mengarahkan sikap dan tingkah laku orang untuk bertindak. Karena itu, dalam sistem yang abnormal, di mana orang-orang terlepas dari orbitnya atau belum mempunyai jati diri sama sekali, maka media massa menjadi satu kekuatan pengubah.

Saat ini, dalam kondisi pers yang non-perjuangan, pertimbangan kapital tampknya lebih mengemuka. Media terjerat iklan dan hubungannya dengan birokrat(sosok yang juga ber-uang). Maka media tidak mampu tampil sebagai wali oposisi, media lebih suka bermain dalam wacana-wacana besar demokrasi dan aman; politik pemilihan presiden dan berbagai hal yang terkait dengan hingar-bingar politik. Media kurang menyediakan halaman untuk menata sistem dan mengekspos masalah-masalah kerakyatan. Kalau pun ada, itu pun kutipan-kutipan dari elite partai sebagai serangan terhadap elite lain. Media menjadi terlalu elitis untuk banyak orang.

Laporan-laporan utama media memang sering mengejutkan, dan menyenangkan untuk dibaca. Namun banyak media yang hanyut ke dalam wacana-wacana besar demokrasi. Ia memang membangkitkan nyali-nyali demokrasi dan politik kebangsaan namun tidak akan memberikan apa-apa kepada rakyat yang tak berdaya. Kejutan-kejutan media masih jauh dari ide-ide kesejaheteraan rakyat bawah.; the big shot-nya masih berkisar masalah-masalah partai, legislatif, wacana penangkapan korupsi, BUMN, dan lain-lain. Ia kurang memberitakan kepentingan-kepentingan publik yang urgen seperti kondisi pemukiman rakyat yang tidak sehat, etika dan tidak tegaknya sistem transportasi rakyat, jumlah pajak rakyat yang tidak seimbang dengan pembangunan infrstruktur dan lain-lain. Pers tidak mampu secara konsisten dan sistemik mendorong pemerintah untuk membangun insfrastruktur publik yang nyaman.


Friday, November 21, 2008

MALAY’S SOCIETY:SORROWFUL REALITY " A BIG CLAN" IN SOUTH-EAST ASIA



Oleh Wannofri Samry

Very recently, the relationship between the governments of Indonesia and Malaysia has not been so amicable. This is caused by several problems such as frontier conflict, Indonesian labourers (Tenaga Kerja Indonesia) in Malaysia, and the copyrighting of the song “rasa saying-sayange”. These problems has become a serious dilemma in the “Malay” societies in Southeast Asia, like Indonesia, Malaysia, parts of Thailand, Singapore, and Brunei. On the one hand, they feel to belong to a clan or “serumpun”, on the other hand, they all live in different states. They are seen in a different political entity; their political and cultural views interfere.
In resolving this problem, like the case of Indonesia and Malaysia, can be usually solved by a political paradigm. Perspectives on politics always encourage the spirit of patriotism and nationalism. Therefore, both nations become too angry at each other. This conflict can be resolved through a historical perspective. By tracing both countries’ histrocial roots and analyze the value of each state might help in resolving this problem. Thus, the paper wishes to present the truth of the Malay culture and society through historiy and anthropology(Note: Please contact me if you want to read this full paper)

PERS TAK MENGGIGIT

Oleh Wannofri Samry

Menurut Duncan MC Cargo(2000) ada beberapa pradigma yang sering berlaku dalam literatur politik dan media. Pertama, hegemony of state power(dominasi kekuasaan negara). Dalam hal ini media hanyalah sebagai bidak dan pelayan negara. Fenomena ini sangat kentara di berbagai dunia ketiga seperti Thailand, Malaysia dan Indoensia. Sebelum jatuhnya Soeharto, pers tidaklah bebas. Berbagai media menjadi corong pemerintah dan menyalurkan kepentingan-kepentingan penguasa. Istilah Goenawan Mohammad, pers ibarat ‘pesawat yang dibajak’. Artinya ia dikendalikan. Pers semacam ini sulit diharapkan bisa mengkritisi pemerintah. Dalam konteks literatur sejarah pers Indonesia, pers semacam itu bukan pers yang berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Pradigma lain adalah media sebagai watchdog, ia sebagai anjing penjaga dari pada kepentingan publik. “Suatu teori tentang watchdog adalah: pers sebagai wali oposisi dan bertindak dengan kuat menentang segala penyimpangan serta mempromosikan kepentingan publik. Dalam konteks ini pers merupakan media yang progesif untuk demokratisasi.
Ketiga media sebagai institusi yang netral, menengahi kepentingan publik, ia mendedahkan berita ke pembaca dan meninggalkan pembaca begitu saja. Pembaca dan media berjalan sendiri-sendiri, silakan pembaca untuk mengambil kesimpulan dan tindakan terhadap informasi yang diberikan media. Kalau banyak media mengemukakan informasi tentu banyak informasi yang diolah. Dalam media seperti itu tentulah semua informasi telanjang, lalu masyarakat dan pemerintah siap menerima apa adanya.
Pandangan lain adalah media sebagai agenda setter; yaitu untuk mengembangkan isu, dan menempatkan mereka dalam agenda debat dan diskusi publik. Model ini sering berhubungan dengan analogi watchdog, yang sering menafsirkan dan menghadirkan dengan a highly positive light. Keberhasilan pers dalam pradigma ini adalah sejauhmana ia mampu mengangkat isu-isu publik ke permukaan dan menjadi agenda bagi pemerinitah dan masyarakat dalam meningkatkan kemajuan hidup mereka. Pers semacam ini tentu juga berani untuk berdebat mengenai berbagai masalah yang peka terhadap kekuasaan sekalipun.

Pers Kita
Dimanakah posisi pers kita? Kalau 10 tahun lalu hegemoni negara begitu kuat, pers dibajak, maka tidaklah aneh jika pers berada dalam ketakutan, kemudian dengan berbagai alasan menyalurkan ‘nafsu’nafsu kekuasaan” serta menyembunyikan suara publik di belakang meja redaksinya. Kini demokratisasi dan desentralisasi sudah berjalan, semua relatif bebas bicara(tetapi bicara apa?). Apakah pers masih dalam ketakutan dan menjalankan tipikal hegemony of state power? Mampukah pers menjadi watchdog, yang tidak hanya menggonggong tetapi menggigit. Tetapi, jika menggongong pun tidak juga maka mungkin ini masalahnya kembali ke perangkat-perangkat dasar dari material pers itu sendiri.
Banyak orang menganggap bahwa masalah pengembangan pers tergantung pada financial dan pada masa Orde Baru dianggap aturan yang mengekang adalah penyebab pers tidak berkembang.Walaupun didukung finansial yang banyak dan terbukanya pembuluh demokrasi, ternyata masih banyak pers yang bertipikal pelayan dari penguasa-negara, bukan publik. Pers sering menampilkan a big shot dari tokoh-tokoh politik dan birokrat. Wartawan dan media banyak yang senang dan bangga mengadakan relasi dengan pemeritah dengan para penguasa. Keinginan pers menampilkan tokoh-tokoh birokrasi ibarat kecanduan bergoyang dangdut di tengah pesta kemabukan. Wartawan-wartawan muda, yang kata Dahlan Iskan akan menentukan nafas pers pada masa depan, tidak dilatih dengan semangat juang “pers yang menggigit” mereka dilatih membuat berita di teras-teras istana pemerintah yang tidak mempunyai tantangan kecuali penemuan sebuah relasi dan koneksi pemberitaan. Para jurnalis, jika dalam zaman pergerakan sebagai pemburu berita, kini sebagai a servant of power.
Fenomena dalam sebahagian pers kita hari ini adalah ketergantungan mereka akan iklan, yang ada pada banyak pengusaha dan penguasa. Di banyak daerah yang tidak tergarap ekonominya, maka pemerintah dan politisi adalah sumber iklan utama. Setiap hari berita ucapan selamat secara terang-terangan muncul dari politisi dan birokrat. Profil-profil tokoh-politik dan birokrasi muncul di halaman depan dan halaman-halaman penting lainnya. Isinya adalah salinan dari pikiran tokoh tersebut yang dibantu oleh wartawan menuliskannya. Walaupun tidak ada penelitian khusus tetapi realitas ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai media.
Kesalahannya jelas dari alas bakul berdirinya sejumlah media; hanya sebagai alat mencari uang. Jelas sukar untuk membandingkannya dengan beridrinya media-media besar semacam Mingguan Tempo dan Harian Kompas, apalagi dibandingkan dengan media masa pergerakan seperti Pedoman, Pandji Islam dan lain-lain. Media massa kita banyak diawali dengan komitmen jurnalistik yang rendah dan tidak mempunyai visi bahkan low teknis.
Masalah lain juga akan berhubungan dengan para editor, reporter dan penulis. Para editor yang tidak berpengalaman menulis, lalu tiba-tiba menjadi pengedit berita dan tulisan, ini juga tidak menghasilkan konten pers yang bagus. Perkara lain adalah kemalasan untuk memeriksa dan langsung copy-paste. Banyak reporter hanya menjadi pers tempat persinggahan, bukan pilihan hidup dan bahagian dari sebuah proses yang penting dalam dunia intelektual mereka. Berita banyak reporter hanya sebagai pemindahan kata-kata ke mesin ketik dan komputer, nilai-nilai humanisme dan intelektual tidak menjadi roh.
Penurunan berita, tulisan juga sering tanpa sebuah rencana yang matang. Berita hari ini muncul, besok berganti berita lain. Tulisan hari ini dimuat, besok habis begitu saja. Tidak ada discourse konten, yang terjadi hanya komunikasi satu arah. Ruang polemik sering juga ditutup dengan berbagai alasan para editor ataupun redaktur. Karena itu tidak akan pernah terjadi saat ini polemik seperti polemik M. Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan negara, ataupun seperti polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana(STA), Ki Hadjar Dewantara, Armijn Pane dan tokoh-tokoh lainnya. Mungkin kita juga merasakan tidak dalam pergerakan lagi, tetapi dalam masa akhir perjuangan dan ingin menikmati. Karena itu pers kita tidak menggigit, paling-paling juga sedikit menggonggong.***

Tuesday, April 15, 2008

INDO, INDON DAN INDONESIA

Oleh Wannofri Samry*

“Don’t marry an Indo! Don’t associate with him. Our future does not lie here, but in Europe. Repair the mistake once made by our ancestor. Create chances for your children in Holand”(Paul van der Veur, 1969).

Begitulah imej seorang warga Negara Belanda tentang warga keturunan Indonesia-Belanda sampai pasca kemerdekaan. Mereka adalah orang-orang hina yang tidak pantas menjadi kawan, teman sosial dan lain-lain. Imej itu tentu berakar pada sejarah Hindia Belanda yang diskriminatif, yang menganggap kaum pribumi Hindia Belanda sebagai orang-orang bar-bar dan inlander.
Akhir-akhir ini permasalahan yang serupa muncul kembali di Malaysia, saat Malaysia lebih jaya, sementara Indonesia lebih terpuruk secara ekonomi. Karena itu banyak Tenaga Kerja Indonesia(TKI) pasca 1990-an yang mencari kerja ke Malaysia, baik secara legal maupun secara ilegal. Tetapi umumnya TKI itu merupakan tenaga kerja kasar(buruh perkebunan, buruh kasar di pabrik, pembantu rumah tangga, dan penjaga kedai runcit). Sedikit sekali orang Indonesia yang bekerja di sektor terhormat, yang mengunakan skill tinggi. Kondisi itu membangun imej pada Malaysia bahwa Indonesia adalah negara miskin dan pengimpor tenaga kerja kasar dan kelas jongos. Imej itu melekat sampai ke anak-anak, sehingga mereka menyebut Indonesia menjadi ‘Indon’. Kata itu mirip secara sosial ucapannya dengan sebutan ‘Indo’ bagi keturunan Indo-Eropa di Hindia Belanda. Indo-Eropa juga tidak dihormati dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum indo dalam tatanan hukum kolonial Belanda berada dua tingkat dari orang Eropa dan satu tingkat di bawah timur asing.
Sebutan ‘Indon’ di Malaysia telah menjadi sebutan umum, bahkan media massa Malaysia mempublikasikan kata itu tanpa merasa bersalah. Umpamanya saat artis-artis dari Indonesia show di Malaysia, media Malaysia dengan seronok menulis “artis Indon akan show”. Sebutan itu memang tidak aneh kedengarn di mana-mana d seluruh wilayah negara jiran itu.
Para pelajar Indonesia di Malaysia tentu yang paling kenyang dengan sebutan itu, sering mereka merasa geram. Paling-paling mereka bisa menjelaskan bahwa sebutan itu tifdak mereka sukai. Tetapi tidak mungkinlah setiap saat menjelaskan itu kepada setiap orang Malaysia, bisa menghabislkan energi.
Sebutan ‘Indon’ yang kurang mengenakkan itu sebenarnya belum ada dalam literatur sosial, sejarah dan politik Indoneisa, yang ada hanya kata “indo” dan “Indonesia”. Indo untuk keturunan Eropa-Indonesia, dan Indonesia untuk seluruh masyarakt yang berada di wilayah negara Indonesia.
Paul W. van der Veur dalam Race And Color I Colonial Society: Biographical Skeches By A Erusian Woman Concerning Pre World War II Indonesia (Jurnal Indonesia, 1969) menjelaskan bahwa sebutan Indo itu dilekatkan terhadap orang keturunan Indonesia-Eropa. Dalam banyak literatur sejarah ditemui bahwa Indo-Eropa seperti tidak diakui dalam dua budaya; dalam masyarakat Indonesia mereka tidak mendapat tempat karena warna kulit dan budaya mereka yang berbeda. Orang-orang Indo juga agak malas bergaul dalam masyarakat pribumi, karena mereka sendiri menganggap lebih tinggi startifikasi sosialnya. Sebaliknya orang-orang Eropa juga kurang menerima mereka, sebab separoh darah mereka mengalir darah pribumi, yang alam dalam startifikasi masyarakt kolonial Belanda dianggap lebih rendah dan sama dengan pribumi.
Paul van der Veur(1969) mengungkapkan, ada kesedihan dan kerisihan bagi orang-orang keturunan Indo-Eropa terutama bila berada di Eropa, sebab mereka tidak diperlakukan sebagai orang Belanda. Para orang tua Belanda sering mengingatkan anak-anak mereka agar jangan bergaul dengan para “Indo”. Mereka ngingatkan, “jangan bemain sama mereka, mereka adalah orang kotor, tak bisa dipercaya. Jangan berteman dengan dia, sebab dia tidak baik”. Stigma rendah, hina semacam itu sejak zaman penjahan dilekatkan pada pribumi sehingga melekat juga pada keturunan Indo-Eropa. Pada zaman kolonial Belanda memang banyak orang-orang pribumi(Hindia Belanda) yang menjadi jongos, kuli, babu, gundik(terutamaorang Jawa). Sementara sebagaimana yang ditulis oleh Husein Al-Atas, orang pribumi sering dicap sebagai “pribumi malas”.
Di zaman kolonial banyak kaum pribumi bekerja di perklebunan secara asal-asalan, atau malas. Kemalasan mereka tentu tidak boleh dilepaskan dari penindasan kolonial Belanda. Tenaga mereka dikuras sementara kesejahteraan mereka tidak diperhatikan, produksi yang mereka lakukan pun diangkuit ke Eropa. Malas tentu sebuah strategi perlawanan terhadap kaum kolonial.
Masalah di Malaysia tentu jauh berbeda, para pekerja itu umumhya pekerja giat,sebab mereka memakai sistem kontrak, dan pengiriman tenaga kerja itu umumnya diatur dalam undang-undang ketenagaan kerjaan kedua negara. Jadi mereka bekerja dengan kesepakatan bersama.

“Indon”

Kata ‘Indon’ memang asli muncul di Malaysia. Kosa kata “indon” seakan akan menjadi sebutan tanpa dosa bagi sebahagian besar orang-orang Malaysia terhadap orang-orang Indonesia. Bukan hanya pekerja kasar dipanggil Indon, para pelajar dan pejabat-pejabat Indonesia di Malaysia pun disebut Indon.
Bagi orang Indonesia yang terpelajar ‘Indon’ itu sama dengan sebutan inlander(pribumi tengik) di zaman kolonial Belanda. Mereka itu dianggap kaum tidak beradab, musiknya hanya ngangik ngok, tampilannya dekil, wawasannnya sempit, pemberontak, perusuh dan sebagainya.
Di mana-mana di Malaysia, seperti di bandara, pasar dan lingkungan sosial lainnya, seorang Indonesia sering merasa bahwa ada sikap yang merendahkan secara sosial. Bila mereka(orang Malysia) kenal bahwa yang mereka hadapi orang Indonesia, mereka lebih suka berbicara meninggi, mereka tidak lagi memakai stratifikasi bahasa sosial sebagaimana yang sering diterapka di Malysia untuk kata sapaan. Umpamanya tanpa memanggil ‘Cik’ untuk perempuan bujang, ‘puan” untuk perempuan sudah menikah, ‘encik’ untuk laki-laki yang lebih terhormat.Di kedai-kedai mereka enak saja memanggil ‘you’, ‘kamu’ dan ‘kau’ terhadap orang Indonesia. Terutama ‘kamu’ dan ‘kau’ adalah paanggilan kasar di Malaysia. Umpamnya saat membeli di kedai runcit seseorang pelayan kedai yang masih remaja, enak saja bilang dengan sombong, “kamu nak beli apa?”.
Di Bandara sering orang Indonesia diperiksa dengan kasar oleh pihak migrasi.Petugas sering juga memeriksa uang yang dibawa oleh orang Indonesia ke Malaysia. Dalam pikiran mereka orang Indonesia itu miskin dan membuat Malaysia susah. Karena itu mereka harus memastikan bahwa orang Indonesia yang ke Malaysia mempunyai uang yang cukup.
Walaupun warga Indonesia sering dianggap ‘Indon’, tetapi dalam banyak hal sebenarnya Malaysia itu menganggumi Indoensia dari segi bahasa, budaya, demokratisasi dan kemolekan dan keluasan wilayah. Beberapa professor di Malaysia mengagumi sejarah kebijakan Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Seorang sejarawan di UKM mengatakan, bahwa bangsa Indoenesia sangat tepat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan”.Sementara bahasa daerah juga berkembang sebagai kekayaan budaya. “Akademisi budaya dan bahasa di Malaysia umumnya merisaukan ketidakberkembangan bahasa Melayu di Malaysia, bahkan kini tidak hanya terdesak oleh Bahsa Inggris tetapi juga olejh bahasa Cina dan India. Kekaguman lain yang terlihat adalah beredarnya lagu-lagu Indoenesia di Malaysia, lagu-lagu itu diputar di dalam bus, di kafe, televisi dan radio. Namun ini pun menjadi masalah juga; bagaimanakah hak ciptanya? Hal yang jelas sumbangan seniman Indonesia sangat besar terhadap masyarakat Malaysia. Hal itu juga terjadi dalam bidang sastra, mereka mengagumi sastrawan-sastrawan senior Indonesia, seperti Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Karya dua sastrawan itu pun menjadi bacaan umum di Malaysia.
Perhatian Malaysia yterhadap karya cipta intelektual Indonesia sangat mengagumkan juga, perhatian mereka mungkin melebihi perhatian orang Indonesia. Buktinya karya-karya pemikiran klasik Indonesia sampai yang mutkahir bolehlah dikatakan cukup lengkap dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Ini juga tantangan bagi Indonesia ke depan.

Malaysia-Indonesia:
Kalau dikaji sejarah Malaysia dan Indonesia memang banyak kesamaan, dalam naskah-naskah Melayu semuanya akan terbaca. Bagi masyarakat di seluruh Nusantara, wilayah Semenanjung, Jawa, Sulewesi dan sekitar kepulauan Indonesia, adalah jaringan dagang dan budaya yang tidak bisa di pisahkan. Penduduk-penduduk di kawasan ini memang sudah lama sering bermigrasi atau bertuakar tempat. Malaka dibangun pertama sekali oleh orang Sumatera, Parameswara. Johor-Riau Lingga pernah menjadi satu kerajaan. Hanya Inggris yang memisahkan mereka tahun 1824.
Banyak kaum pergerakan Idonesia lari ke Malaysia tahun 1930-an sehingga menjadi tokoh pergerakan pula di Malaysia, contohnya Tun Abdul Razak yang kini dilekatkan namanya di Dewan Conseleri Universitas Kebangsaan Malaysia, juga keturunan Indonesia. Begitu juga Hamka tahun 1972 pernah dinobatkan menjadi Doktor di UKM. Dan, kini nama Hamka pun dilekatkan di bahagian dokumentasi UKM. Hampir semua kaum cerdik pandai di Malaysia mengagumi Hamka dan juga Natsir sebagai tokoh Islam.
Sejak masa Orde Baru dirasakan bahwa Indonesia penting sebenarnya bagi Malaysia, terutama dalam memberikan keseimbangan politik di Malaysia. Masa Soeharto, diakui ada kerjasama pengiriman Emigrasi ke Malaysia, dan ini penting bagi orang-orang Melayu, untuk memberikan keseimbangan politik terhadap golongan etnis Cina. Selain itu orang Indonesia juga penting sebagai sumber tenaga kerja murah dan gigih.
Bagi Indonesia, Malaysia juga penting, selain sebagai kawan serumpun juga sebagai katub pengaman ekonomi yang selalu krisis. Sebab jika tidak ada Malaysia juga akan menimbulkan masalah pengangguran besar-besaran di Indonesia. Menurut keterangan resmi Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia(HIMSATAKI)tahun 2008, maka jumlah TKI Indonesia di Malaysia hampir 700.000 orang, artinya hampir sama dengan penduduk Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau. Ini tentu belum termasuk ribuan TKI yang ilegal dan para pedagang yang bolak balik ke Malaysia. Menurut data kedutaan Malaysia ada antara 500-1000 orang TKI legal bermasalah di Malaysia(www.Detik.Com, 17/11/2007). Limpahan TKI ini pula yang merendahan bangsa Indoensia, karena mereka bekerja pada sektor buruh dan pekerja kasar.
Pemerintah mesti memikirkan bagimana menghapuskan imej “indon” yang mirip dengan inlander itu. Sebab stigma negatif yang diberikan oleh orang lain terhadap bangsa Indonesia, tidak hanya penghinaan tetapi juga pemukulan mental dan identitas. Pemulihan nama itu tidak hanya cukup dengan himbauan pelarangan terhadap pemerintah Malaysia, tetapi juga membangun bangsa ini agar kepalanya tegak dan berjalannya tegap. Karena itu keseriusan pemerintah untuk menyiapkan berbagai pra syarat kesejahteraan; seperti pendidikan, lapangan kerja dna berbagai fasilitas pelayanan publik adalah penting. Bagaimana pun bangsa Indonesia juga tidak ingin menjadi beban dan tergantung pada bangsa lain. Pantaslah “kita” malu, Indonesia sebagai saudara tua dari Malaysia, mesti “merengek” secara ekonomi ke Malaysia.

*Wannofri Samry, Dosen di Universitas Andalas, Padang, pelajar PhD di Pusat Kajian Sejarah, Politik dan Strategi, Universitas kebangsaan Malaysia(UKM), Selangor.

Friday, February 08, 2008

BUDAYA KUASA

Oleh Wannofri Samry


Pemilihan Umum Presiden RI masih dua tahun lagi, namun beberapa tokoh sudah menyatakan untuk maju, sebahagian lagi memberikan sinyal untuk ikut menjadi kandidat presiden 2009. Keinginan sang bakal calon Presiden tersebut sudah dilansir beberapa media massa nasional sekitar dua minggu belakangan ini. Bahkan beberapa kali berita itu menjadi head line. Pertanyaan publik adalah, apakah sikap elit tersebut tidak ibarat ayam berkokok kepagian? Apakah ini tidak mengganggu poemerintahan di saat Indonesia masih mengalami krisis dan dan bencana?

Apakah yang dipikirkan?
Apakah yang dipikirkan Sang Bakal Calon Presiden? Adakah pemimpin kita sadar bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang menyelesaikan krisis, baik yang disebabkan oleh belum benarnya pengelolaan negara maupun oleh bencana alam yang datang bertubi-tubi? Pengumuman kesediaan menjadi calon Presiden ke tengah publik di saat pemerintahan separoh jalan bagaimanapun mengganggu pemerintahan. Itu kelihatan dengan terpancingnya elit lain bersama kelompok politiknya untuk ambil bagian dalam menanggapi isu pencalonan Presdien tersebut. Hal yang paling mengganggu tentu isu sinyal keinginnan Jusuf Kalla untuk maju dalam pemilihan Presiden. Pada hal saat ini Kalla adalah Wakil Presiden, yang semestinya bekerjasama secara maksimal dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sinyal dari Kalla itu, bagaimanapun, akan mengganggu kelancaran penanggulangan krisis. Bagi Yudhoyono, jika tidak ditanggapi dengan kedewasaan politik tentu akan “merisihkan”.
Publik melihat, para elit tersebut seakan-akan menjadikan politik benar-benar menjadi permainan yang nikmat di tengah kepahitan hidup. Ibarat main bola, para elit membikin klub, kemudian mengatur strategi dan menyusun permainan semaunya. Mereka menyerang dan bertahan kapan mereka mau, kemudian publik mendanai mereka dengan membeli karcis. Bila pemain mengarak bola mereka bersorak. Bila gol, penonton berjingkrak. Namun setelah semua klub itu bersama sang bintang mendapat hadiah dan piala, penonton pulang dengan kelelahan. Anehnya klub-klub-klub itu terus mampu menguras penonton dengan gampangnya. Tampaknya permainan ini sampai pada titik ekstase, dimana setiap orang lupa akan bahayanya di belakangan.
Pemain politik apapun, apa lagi bakal calon Presisiden RI selalu tampil mengesankan, berwibawa dan bisa menundukkan pikiran rasional masyarakat. Mereka tampil ke masyarakat dengan kata-kata bijak, santun seakan-seakan penuh dengan tanggungjawab moral semuanya. Mereka mempunyai rancangan program yang lengkap dan bijak. Tetapi apakah “kita” pantas percaya pada setiap permainan yang disajikan elit politik itu bersama paguyuban poilitik mereka? Sebab setiap pergantian presiden lain model kebijakan dan lain pula penderitaan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat seperti selalu menunggu datangnya kesejahteraan, seperti si katak ridukan bulan. Apakah pemimpin pernah memikirkanya?

Tanpa Kaderisasi
Ada fenomena pemain-pemain politik lama masih saja ramai untuk ambil bahagian pada pemilihan Presiden tahun 2009. Ini membuktikan bahwa tidak terjadi kaderisasi dalam partai politik tersebut. Politik itu jelas bergerak lamban dan menuju konservatif. Partai politik yang maju selalu memperhatikan pengkaderan dan selalu mengadakan ruling kader mereka untuk naik menjadi pemimpin.
Kita mesti juga bertanya, kenapa ada kandidat yang tak bosan-bosannya mencalonkan diri untuk menjadi Presiden, pada hal mereka sesunguhnya tidak diinginkan masyarakat. Tetapi sang bakal calon itu masih saja menjadikan lingkungan politiknya (yang tidak cerdas itu) untuk mengusungnya. Kalau diikuti pradigma sepak bola tadi, maka “kita” masih memakai pemain-pemain lama yang nafasnya sudah habis, sudah kelelahan dimakan usia. Pemain-pemain lama memang berpengalaman, tetapi tendangan mereka pasti sudah melempem. Larinya pasti tidak kencang. Kegeneiusan mereka untuk memasukkan bola pasti sudah jauh berkurang, apa lagi dalam zaman yang serba cepat ini. Zaman sudah berubah, Indonesia memerlukan pembugaran dalam segala bidang, termasuk kepemimpinan nasional. Kalau dihitung-hitung, sudah satu dekade pula berlangsung pergerakan reformasi, para demonstran yang dulu turun ke jalan-jalan raya dan merangsek ke pusat-pusat birokrasi , kini sebahagian sudah memainkan peran di dalamnya. Tetapi kenapa pemimpin mereka masih juga pemain-pemain masa Orde Baru yang berganti baju dengan reformasi? Anehnya para demonstran yang dulunya memperjuangkan reformasi, ikut pula bergabung dengan kelompok status quo yang mereka tentang, bahkan menjadi kaki tangannya.

Berjuang Tak Tahan Menderita
Bagi Agus Salim, berjuang adalah menderita, namun para tokoh pergerakan kita hari ini tampaknya jarang yang memaklumi itu. Salim memperjuangkan Indonesia dari rumah-rumah kontrakan dan kampung kumuh di berbagai tempat di Jakarta, namun saat ini pemimpin ingin berkuasa dengan kehidupan yang mewah dan kekayaan milyaran rupiah. Semboyannya saat ini, berkuasa adalah bermewah-mewah.
Bermewah-mewah, perbaikan ekonomi adalah landasan dasar untuk masuk ke ruang politik, baik menjadi pimpinan daerah, legislatif maupun menjadi presiden. Buktinya setiap pejabat-pejabat pemerintah bila sudah duduk menjabat maka mereka berusaha memperjuangakn gaji mereka, mobil, rumah dinas dan kurang peduli dengan penderitaan rakyat. Mestinya, dalam saat krisis seperti ini setiap pejabat menahan diri mereka untuk berhemat, baik lewat efisiensi gaji maupun berbagai fasilitas. Nyatanya, setiap periode jabatan, negara membuang-buang uang untuk berbagai hal yang tidak diperlukan seperti gonta-ganti mobil dinas, pembangunan rumah dinas, berbagai kebutuhan uang jalan dan uang rapat. Para pemimpin bangsa itu seakan lupa bahwa mereka hidup dalam syorga kemewahan di tengan penderitaan yang selalu mengancam bangsanya.
Mestinya sudah perlu dipertimbangkan kembali gaji dan masukan para pejabat termasuk presiden, apakah gaji peresiden dan para pejabat kita tidak terlalu timpang dengan pendapat masyarakatnya? Pada hal presiden dan pejabat-pejabat negara mendapat fasilitas yang lengkap, mulai dari rumah, kebutuhan dinas dan kebutuhan sehari-hari. Lalu presiden dan kepala daerah yang kehidupan sehari-harinya sudah ditanggung seluruh kebutuhannya, apakah masih pantas dibayar dengan gaji yang besar? Kata teman-teman, tanpa menerima gaji pun para kepala daerah dan presiden itu bisa hidup. ***

Sunday, February 03, 2008

RUANG DISKUSI

MASALAH PENDIDIKAN
Ketertinggalan kita berawal dari tidak seriusnya pemerintah dalam mengelola pendidikan. Ini berimbas terhadap berbagai persoalan. pendidikan kita centang perenang. UAN seperti main-mainan semata. Perguruan tinggi tanpa standar menajemen dan ruang pustaka yang layak. Yakinlah, kata seorang kawan, kita akan terpuruh berpuluh tahun lagi.Namun para pejabat terus berpidato dengan berapi-api untuk pembangunan bangsa.Kini bangsa kita terpuruk dari segi harga diri dan kedaulatan. Ini masalah penting yang mesti didiskusikan. Para pembaca yang budiman boleh mengirim komentar ke blog ini ata ke wannofri@yahoo.com. Nanti akan dimuat di blog ini.

Thursday, October 25, 2007

ORANG MINANG TERBANGUN?

Oleh Wannofri Samry*

“mata hari meninggi, kemaren kau sama-sama tidur di ruangan yang sama, kini temanmu berlari jauh, jauh dan jauh. Kau adalah si Minang yang terbangun di pojok nagari dengan badan yang berat”


Tanggal 19-21 Oktober 2007 para saudagar asal Minangkabau mengadakan acara Silaturrahmi Saudagar Minang(SSM) se-dunia. Mereka berkumpul di Pangeran Beach Hotel Padang, Sumatera Barat. Ini adalah pertemuan yang sangat prestisius. Selain mempertemukan seluruh saudagar asal Minangkabau dari seluruh dunia juga dinyatakan sebagai peninjauan kembali keberadaan seluruh saudagar Minangkabau yang sebelum kolonial Belanda terkenal menguasai jalur Pantai Timur dan Barat Sumatera (antara entrepot dagang Padang Pariaman/Padang dan Malaka). Kini peran mereka tidak kelihatan lagi. Ada apa dengan orang Minangkabau dan nilai-nilai entrepreneurship yang melekat pada masyarakatnya?

Beberapa Fenomena
Sejak meletusnya peristiwa Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI) tahun 1958 yang melibatkan berbagai elemen di Sumatera, terutama masyarakat Minangkabau, maka dirasakan adanya penyusutan peran orang Minangkabau. Bahkan oleh Harun Zain(mantan Gubernur Sumatera Barat) dihubungkan dengan hilangnya rasa percaya diri orang Minangkabau. Fakta politik pasca PRRI menunjukkan terjadi pengucilan politik terhadap tokoh-tokoh penting asal Minangkabau dan mereka yang terlibat PRRI umumnya.
Pembangunan mental orang Minangkabau dimulai kembali tahun 1960-an lewat isntitusi pendidikan Universitas Andalas, yaitu dengan mendukung penuh program pemerintah pusat dan mengonsentrasikan diri dalam pembangunan fisik. Hal itu ditunjukkan dengan diadakannya Seminar Pembangunan I (1964) oleh Universitas Andalas di bawah arahan Harun Zain.
Dari berbagai seminar (setidaknya sejak 1970-an) terindentifikasi bahwa terjadi kegelisahan yang sangat dalam pada diri masyarakat Minangakabu. Orang Minangkabau merasakan kian berkurangnya peran mereka di pentas nasional, baik dari sisi ekonomi maupun politik, dua bidang ini terasa menonjol sebelum kemerdekaan. Menurut Taufik Abdullah(1992) sekitar 1930-an orang Minangkabau yang masuk lngkaan elit nasional ada sekitar 30%, sementara tahun 1950-an 11%. Julah ini tentu terus menurun walaupun sebahagian orang Minangkabau tetap menepuk dada bahwa orang Minangkabau masih dominan di tingkat nasional(Padang Ekpres, Jumat 19 Oktober 2007). Namun, pernyataan bahwa “orang Minangkabau masih dominan” itu menyelipkan kerisauan akan masa depan peran orang Minangkabau di masa depan.
Berkurangnya peran orang Minangkabau itu dijawab oleh pemerintah Sumatera Barat bersama para perantau dengan merevitalisasi kolaborasi antara kampung halaman dengan rantau. Beberapa hal yang dicoba adalah dengan membuat Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) di awal 1990-an dan membuat NDC (Nagari Development Cooperation). Niatnya, lembaga ini diharapkan mampu menggaet orang rantau untuk menanamkan investasinya di kampung halaman. Tetapi oraganisasi yang berpradigma ekonomi-materialistis itu gagal, baik dilihat dari sisi investasi yang ditanamkan di kampung halaman maupun dari sisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu Gebu Minang direvitalisasi lagi di awal tahun 2000(?) dengan menjadikannya Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangakau. Artinya pradigma budaya dijadikan sejalan dengan pradigma ekonomi. Tentu ini kesadaran kembali, bahwa budaya secara historis adalah bahagian penting dari gerakan kemajuan di Minangkabau. Kegagalan ekonomi juga berarti kegagalan budaya, yang sejak 1970-an terasa diabaikan.
Kegagalan memainkan peran di pentas nasional secara ekonomi dan politik, maka orang Minangkabau mencoba berkolaborasi dengan elit dari etnis lain yang dianggap mampu membantu mengangkat peran dan eksistensi orang Minangkabau. Realisasi kolaborasi ini adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh penting di luar etnis Minagkabau sebagai Datuk (penghulu suku). Beberapa tokoh di luar etnis yang pernah dilewakan (dikukuhkan) sebgaai Datuk adalah Dr. Mustari Pide (Makasar), Hamengkubuwono X (Yogyakarta), Taufik Kiemas (Lampung), Anwar Nasution (Mandailing), dan Susilo Bambang Ydhoyono (Jawa). Alasan orang Minangkabau untuk mengangkat tokoh-tokoh ini adalah untuk menjadikan kemanakan mereka terlindung atau mempunyai mamak di rantau. Ini, tentu kental muatan ekonomis dan politisnya. Realisasinya, muatan politis lebih menonjol dari ekonomi.
Bagi masyarakat Minangkabau yang ada di kampung halaman, malewakan tokoh lain sebagai Datuak, dengan akar budaya dan historis yang dicari-cari, tetap menjadi pertanyaan besar dan mengacauakan cara berpikir budaya Mianangkabau. Itu dianggap sebagai bahagian kegiatan politis saja dari elit-elit Minangkabau. Sementara pada sisi lain menunjukkan ketidakberdayaan orang Minangkabau dalam bertarung di kancah nasional dan global. Pengangkatan tokoh lain sebagai Datuak adalah jalan pintas yang menerabas.
SSM yang digagas oleh pihak rantau dan kampung halaman adalah revitalisasi juga terhadap kegagalan gerakan Gebu Minang dan masyarakat kampung dalam mengangkat ekonomi daerah. Sekali lagi, nampaknya ini akan kental juga fenomena ekonomis dan politisnya. Dalam talkshow yang yang digelar TVRI Sumbar tanggal 17 Oktober 2007 terlihat bahwa SSM gunanya adalah untuk menjawab rendahnya Anggaran Pendapat Daerah yang hanya kurang dari 2 trilyun. Artinya pradigma pembangunan Sumbar belum berubah sejak tahun 1970-an; ekonomis-materialistis.
***
Christine Dobin(1992) menjelaskan bahwa kebangkitan enterpreneur Minagkabau selain berkaitan dengan kebangkitan Islam dalam akhir abad ke-18 dan awal abad ke19 juga berhubungan dengan cara orang Minangkabau memandang dirinya di tengah-tengah percaturan dunia. Orang Minangkabau melukiskan daerahnya di sebuah peta yang dinukilkan oleh Dobbin adalah negeri yang paling elok. Orang Minangkabau menempatkan daerah mereka di dataran tinggi dengan puncaknya gunung berapi dan lembah-lembahnya adalah persawahan dan perkebunan yang subur. Sementara bahagian lain adalah negeri yang tidak teratur. Posisi geografis itu dijadikan sumber spirit untuk mencapai keunggulan di tengah-tengah bangsa lain. Hal penting yang dimiliki oleh orang-orang dataran tinggi adalah kerja keras, dinamis dan menaklukkan alam. Kondisi itu membangun mentalitet merantau dan menjadi saudagar. Perantau dan saudagar adalah dua sosok yang siap singgah di setiap lapau dan kampung, siap jatuh dan bangun. Ini sejalan dengan sikap orang gunung yang bisa menaiki dan menuruni lembah untuk mendapatkan hasil-hasil alam, dan bangun lagi setelah jatuh berburu di antara semak belukar.
Saat ini yang terjadi adalah kerapuhan mental orang Minangkabau. Kerapuhan mental ini, mungkin ada hubungannya dengan sikap politik orang Minangkabau dan pengaruh global yang kuat. Secara politis, pasca PRRI Harun Zain menghembuskan ruh inferiroritas ke tengah masyarakat Minangkabau, di mana orang Minangkabau dianggap sebagai orang-orang kalah dan harus tunduk kepada pemerintahan pusat secara berlebihan. Penghembusan ruh “orang-orang kalah perang” ini menciutkan mental orang Minangkabau dan secara politis menggiring ke bentuk pemahaman politik pembangunan yang sentralistis. Imbasnya memang ada bahwa masa Orde Baru orang Minangkabau banyak menjadi menteri. Anggaran Belanja Pembangunan nasional memang banyak mengalir ke Sumatera Barat. Tetapi orang Minangkabau ibarat kerbau yang ditusuk hidungnya; mereka bisa dihela kian kemari tanpa kepribadian yang jelas. Orang Minangkabau kehilangan daya kreativitas, kehilangan dinamika individual, dan semangat perantau serta entrepreneurship mereka tidak berkembang. Umumnya pada masa Orde Baru para pejabat-pejabat Minangkabau menjadi orang senang dan malas berpikir untuk membangun masyarakatnya, karena semuanya sudah disediakan oleh pusat.
Masyarakat mencari kreativitas sendiri tanpa berlandaskan budaya yang jelas. Para saudagar Minangkabau tidak terbina, mereka berjuang mencari hidupnya sendiri-sendiri. Pedagang Minangkabau malas mengikuti proses yang jelas dan tidak mencerminkan sikap enterpreneurship yang ulet.. Kesan orang berhadapan dengan pedangang Minangkabau adalah bengkok, sebuah cap yang unproductive untuk para saudagar. Tetapi sulit juga dipungkiri, kesan orang banyak (baik tamu, orang rantau maupun orang kampung) bahwa para saudagar Minangkabau banyak yang culas dan kasar. Di Pasar Raya Padang umpamanya, jika ada yang terlalu lama menawar barang, namun tidak jadi membeli, maka calon pembeli akan dikasari dengan kata-kata X (maaf, untuk menyebut suatu yang tabu di Minangkabau). Begitu juga kalau membeli buah-buahan, sudah menjadi rahasia umum kalau membeli 1 kg akan didapat 7 atau 8 ons. Ini adalah sikap saudagar yang tidak baik. Buruknya etika bisnis ini mungkin salah satu penyebab yang menghalangi tumbuhnya saudagar besar asal Minangkabau saat ini.
Di bidang pendidikan terjadi penurunan yang drastis, ini terlihat dari rendahnya Posisi Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa di Sumbar tahu 2003. Kejadian itu menyentak seluruh masyarakat, yang selama ini memitoskan bahwa pendidikan sumatera Barat adalah baik, dan secara historis daerah Sumatera Barat merupakan tempat belajar bagi orang lain termasuk dari Singapura dan Malaysia. Rendahnya posisi UAN kemudian disiasati oleh pemerintah agar pada tahun berikutnya terjadi peningkatan. Tetapi usaha untuk meningkatkan kualitas UAN di Sumbar tidak dilakukan dengan sungguh-sunguh, tetapi dengan jalan pintas. Ada fenomena bahwa secara birokratis anak-anak diberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan. Berdasarkan survey (2007) yang dilakukan, sekitar 90 % peserta UAN di SMA bekerjasama dengan guru dan Panitia untuk mendapatkan nilai tertinggi. Artinya UAN hanya sekedar main “teater bersama” , sekaligus mewarisi sikap menerabas kepada generasi muda.
Dalam bidang politik marak digunakan simbol-simbol agama. Fenomena ini bisa diamati saat pemilihan kepala daerah, para kandidat berebut naik ke mimbar untuk berkhotbah dan menebar-nebar ayat-ayat Al Quran untuk mengesankan alim dan menempelkan ayat-ayat alquran dimana-mana. Kalau hari-hari biasa para politikus yang tidak biasa ceramah agama maka pada pesta-pesta politik mereka pun ikut memberikan pengajian. Para kandidat juga memanfaatkan ulama sebagai alat legitimasi politik, baik sebagai tim kampanye maupun sebagai wakil kepala daerah. Prilaku ini mendegradasikan nilai ulama yang sesungguhnya. Sementara kenyataan lain di tengah masyarakat juga terjadi kelangkaan ulama yang sunguh-sungguh berilmu dan kaffah. Ada fenomena bahwa sebahagian besar ulama Sumatera Barat yang aktif saat ini tidak memiliki sumber daya yang bagus, sehingga keulamaan mereka hanya sebatas ceramah ramadhan, ceramah subuh dan hari-hari ritual Islami lainnya. Dari Sumatera Barat tidak ditemukan lagi ulama yang militan seperti Hamka, Natsir, A.R. Sutan Mansur, Dt. Palimo Kayo(sekedar menyebut beberapa nama yang ada dalam memori kolektif ). Ulama-ulama itu adalah ulama perantau, pemikir, sekaligus aktif memberdayakan masyarakatnya sesuai dengan tantangan zaman. Kini mungkin ada beberapa ulama yang pemikir dan aktivis seperti Buya H. Maso’ed Abidin dan Prof. Dr. H. Bustanoedin Agus, MA, yang lain mungkin seperti ulama-ulama kebanyakan, antara ada dan tiada. Ini juga tantangan lain bagi orang Minangkabau.
***
Minangkabau memang selalu gelisah sejak dulu kala, tetapi jangan menjadi Mingakabauers yang schizophrenic, yang tidak mempunyai identitas. Seperti manusia yang tidak tahu menggerakkan sarafnya secara teratur untuk menjawab tantangan masa depannya. Di mana-mana orang Minangkabau gelisah karena kemajuan orang lain dan ketertinggalan diri mereka. Padang yang menurut catatan G.W. Prothero merupakan kota terbesar di Sumatera pada awal abad ke-20 kini sudah menjadi tertinggal dari Medan, Palembang, Pekanbaru dan Lampung. Pekanbaru yang awal abad ke-20 sampai 1970-an tidak lebih dari kota Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok, kini berkembang pesat menjadi pusat peradaban baru. Padang yang dulu pusat pers kini digeser Pekanbaru dan Lampung. Pendidikan bergerser ke Sumatera Utara. Dari sisi ekonomi pendapatan daerah Sumatera Barat tertinggal dari propinsi-propinsi lain di Sumatera. Orang Minangkabau memang sedang dirundung malang dari berbagais sektor. Apakah yang mau dibanggakan orang Minangkabau selain mitos sejarah-budaya dan gadang ota di lapau? Suka maota di lapau rupanya juga tidak menjamin orang Minangkabau jadi diplomat Pada tahun 2000, dari 53 orang orang yang diterima sebagai diplomat, tak satu pun orang Sumatera Barat(www.kompas.com/ Selasa, 1 Juli 2003).
Bisa jadi pernyataan Dahlan Iskan jadi benar, jangan-jangan kota-kota Sumatera menjadi kota kecil saja di suatu saat, ini sudah dibuktikan oleh sejarah, seperti Muara Takus yang menjadi tersuruk di pedalaman dan Damasraya yang dulu pusat Melayu menjadi terpuruk sekian lama. Bisa jadi Padang dan kota-kota lain di Sumatera Barat juga akan mengalami nasib yang sama.

Membangun Pradigma Baru
Sebagaimana isu yang dilansir bahwa SSM 2007 diharapkan bisa menjadi titik awal kebangkitan orang Minangkabau atau paling tidak menyusun strategi baru dalam menghadapi masa depan yang berat. Namun hendaknya SSM jangan hanya membangun strategi ekonomi dan melepaskan diri dari landasan sosial-budaya, walaupun keberlangsungan sosial budaya sangat erat kaitannya dengan ekonomi. Namun penguatan sosial budaya juga mendukung kesuksesan ekonomi. Kalau sejak tahun 1970-an pembangunan Sumatera Barat menggunakan pradigma ekonomi yang hasilnya adalah lemahnya dinamika orang Minangkabau dibandingkan etnis lain, maka saat ini sudah saatnya mengedepankan pradigma sosial-budaya dengan memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi.
Kekuatan-kekuatan budaya Minagkabau itu ada pada dialektika adat dan Islam serta pendidikan moderen. Adat dan Islam yang dimaksudkan bukan sekedar memperbanyak ritual-ritual semata tetapi megelaborasi nilai-nilai dan mengkongkritkannya dalam kehidupan yang lebih kreatif. Tampaknya belum ada kajian-kajian kreatif tentang adat dan Islam di Minangkabau yang berbuah pada strategi pengetahuan, teknologi yang bisa dikongkritkan.
Pendidikan adalah pra syarat penting untuk dimajukan, yang saat ini pendidikan di Sumatera barat tidak unik dan tidak lebih maju dibandingkan daerah lain. Pendidikan bukan hanya sekedar membangun gedung dan fisik tetapi juga isi. Penyediaan buku, labor, pustaka, guru-guru berkualitas hendaknya jangan sekedar wacana sepanjang tahun. Kalau dilihat banyak sekolah-sekola yang tidak memenuhi pra syarat itu. Sekolah-sekolah banyak yang tidak punya perpusatakaan, kalau ada hanya memiliki koleksi belasan dan puluhan buku. Komputerisasi tidak dilengkapi untuk meninjau “dunia sana” yang penuh dinamika. Guru-guru banyak yang tidak kreatif sehingga kaku memberikan pelajaran. Akhirnya sekolah bagi anak tidak menarik dan membosankan. Anak-anak banyak bermain-main saat istirahat, tidak membaca dan melakukan kegiatan kreatif.
Perguruan tinggi di Sumatera Barat “banyak promosinya” dari pada memenuhi kelengkapan perguruan tinggi. Perguruan tinggi di Sumatera Barat “ranjau” (rancak jauah) sementara isinya melompong. Labor-labor tidak dilengkapi, pustaka hanya sesudut ruangan, kalaupun ruangannya luas koleksinya jauh tertinggal dan tidak didukung oleh sistem dan sumber daya yang bagus. Sistem perpustakaannya manual sehingga menghabiskan waktu untuk menelusuri koleksinya. Alat-alat pengajaran tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk menstrasfer ilmu kepada mahasiswa.
Perhatian terhadap sumber daya juga minim, baik terhadap tenaga pengajar maupun terhadap tenaga administratifnya. Sehingga pengajaran dan administrasi tidak bergairah dan membosankan. Akibatnya adalah kegiatan pengajaran yang asal jadi. Ini adalah pangkal bala kemacetan kemajuan.
Lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman seperti surau dan mesjid juga mengalami ritualisasi semata, surau dan mesjid bukan menjadi lembaga yang terintegrasi dengan perkembangan zaman. Dalam bidang pendidikan tidak ada surau/mesjid yang mempunyai perpustakaan, pada hal lembaga ini ini pusat kegiatan umat. Selayaknya setiap mesjid mengoleksi buku-buku pemikir-pemikian Islam dan kemajuan secara lengkap sehingga setiap saat bisa diakses oleh ummat. Organisasi Muhammadyah, Perti , Aisyiah atau organisasi lain yang eksis di Sumatera Barat juga banyak menceburkan diri mereka dalam kegiatan politik, organisasi-organisasi yang semestinya juga bisa memainkan peran itu ternyata tidak mempunyai “mimpi besar” untuk kemajuan seperti di zaman pergerakan. Karena itu semestinya setiap elemen perlu memperbaharui spirit untuk lompatan yang jauh.
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan sudah saatnya untuk didongkrak dengan signifikan jika Sumatera Barat tidak terus merosot. Kesan selama ini Pemerintah Daerah berlimpah uang untuk berbagai kegiatan, sementara lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi berjalan terseok-seok dengan dana yang minim. Untuk ini hanya kesadaran akan pendidikan dan kemajuan yang bisa membuat Pemerintah Daerah turunkan tangan sepenuhnya untuk membantu pendidikan, baik dalam pengembangan fisik, operasional maupun pegembangan sumber daya.

Epilog
Seorang teman bertanya apakah orang Minangkabau masih memitoskan sejarahnya pada tahun 2020, ketika setiap ruangan bisa terhubung nirkabel? Masih adakah mahasiswa kedokteran dari Malaysia yang belajar di Universitas Andalas? Masih belajarkah orang Sumatera Barat mengelola Pariwisata ke Malaka? Masih mengimpor sepeda motor dan mobilkah kah kita dari belahan Asia? Masih kah kita berbicara mengenai bagaimana cara bangkit? Masih kah kita berbicara kembali ke surau dan ke nagari? Jawabannya ada pada kesungguhan “kita”. Waktu yang akan menentukannya.***

Friday, September 07, 2007

KEBANGSAAN DAN RITUAL KEBANGSAAN

Oleh: Wannofri Samry
Setiap ada iven sejarah seperti Hari Ulang Tahun RI maupun pada Hari Pahlawan sering muncul kalimat-kalimat “menipisnya rasa kebangsaan generasi muda.” Ini terutama diucapkan oleh elite , terutama para pejabat Negara. Kalimat itu seakan menjadi isu wajib yang tidak kering-keringnya untuk diolah, kemudian digulirkan dalam berbagai kegiatan politik seperti indokrinasi, upacara bendera, dan mungkin seperti masa lalu diharuskannya penelitian khusus untuk calon pegawai negeri.
Isu yang paling baru dikemukakan oleh KASAD, Jenderal Djoko Santoso, dalam acara Lokakarya Kebangsaan/Patriot Leadership Development Center (PLDC) pada tanggal 13-15 Agustus 2007. Jenderal Djoko Santoso mengmukakan bahwa negara bangsa Indonesia dikepung oleh globalisasi dengan ikonnya tekonologi informasi dan komunikasi. Ini disebut-sebut sebagai biang akan berakhirnya negara bangsa. Selain itu KASAD juga mengemukakan neokapitalisme, neokolonialisme, neoliberalisme dan neokomunisme sebagai penyebab menipisnya kebangsaan. (Harian, Kompas, 20 Agustus 2007). Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong secara ekstrim, bahwa “kalau Indonesia gagal menerapkan Pancasila dalam 10 tahun ke depan Negara ini akan pecah”.
Nada-nada seperti yang dikutip di atas sudah sangat sering dikemukakan, nada-nada seperti itu seakan-akan kebenaran. Pada HUT RI ke-62 tahun ini rasa kebangsaan malah dihubungkan secara horizontal dengan penghormatana bendera merah putih, kesetiaan menaikkan dan menurunkan bendera, bahkan anak-anak muda yang berdemonstrasi dan membawa merah putih dan mengibar-ngibarkannya dianggap sebagai anak-anak yang menipis rasa kebangsaannya. Benarkah demikian? Tidakkah ini cara generasi tua yang lebih menginginkan orang muda seperti dirinya? Tapi untunglah dalam lokakarya yang dibina oleh KASAD itu muncul nada yang sangat optimis dan fair dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa generasi sesudahnya lebih tegas nasionalismenya.

Nasionalisme dan Ritual Kebangsaan
Kalau diamati konsep nasionalisme maka ia akan berbeda dengan ritual kebangsaan. Ritual kebangsaan muncul dengan wujud fisik, seperti upacara nasional, menaikkan bendera bila ada iven bersejarah dan nasional, hafal lagu kebangsaan, dan sebagainya. Tetapi tidak bisa dituding bahwa mereka yang tidak melakukan ritual kebangsaan mempunyai ideologi nasionalisme yang tipis. Karena sangat banyak warga negara yang jarang upacara nasional begitu tersinggung ketika bangsa asing seakan-akan mengancam bangsa Indonesia. Cuma, wujud kebangsaan itu berbeda-beda aktualisasinya. Sementara ritual kebangsaan seperti upacara dan menaikkan merah putih hanyalah sebagai bahagian “perapian” saja dari nasionalisme, walaupun itu tetap juga bahagian yang penting dari sebuah bangsa.
Nasionalisme sering dihubungkan dengan “sejarah bersama” dan “nasib bersama”, sebagaimana juga dikemukakan Prof. Muladi di dalam Lokakarya PLDC 14 Agustus lalu (dikutip Harian Kompas, Senin/20 Agustus 2007). Kalau dicermati, bila nasionalisme lebih dihubungan pada faktor historis tentu punya resiko, terutama untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis; mereka mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Karena pada hakekatnya setiap etnis sudah mempunyai akar sejarah tersendiri, itu kalau setiap etnis merujuk sejarah mereka jauh ke belakang sebelum abad ke-20. Justru dalam menanamkan paham nasionalisme yang penting adalah ide untuk ingin sejahtera bersama. Artinya seluruh etnis, walaupun berbeda latar kultural dan historisnya namun mempunyai pancangan cita-cita untuk selalu bersama; berjuang bersama, menderita bersama , terancam bersama serta jika sejahtera mesti pula bersama. Artinya setiap orang harus mempunyai rasa sedih jika ada warganya yang menderita dan mendukung semua bentuk kesejahteraan. Kalau ia pemimpin ia mesti bertekad untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Kalau ia anggota masyarakat mesti bertanggungjawab atas pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Pada bahagian ini saya melihat memang terjadi penipisan rasa kebangsaan, tetapi tidak adil jika itu hanya dilemparkan pada generasi muda. Justru penipisan rasa kebangsaan itu banyak terjadi pada elite bangsa atau generasi tua. Generasi tua adalah orang yang paling bertangggungjawab atas menipisnya kebangsaan ini, sebab kepemimpinan ada di tangan mereka.
Ada fenomena yang jelas melunturnya kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan bersama di kalangan elite atau pemimpin Indonesia. Amatilah, saat rakyatnya menderita sedangkan para pemimpin berfoya-foya, berlomba menaikkan gaji, pejabat pemerintah tiap sebentar tukar mobil mewah dengan anggaran negara. Para pegawai negeri rendahan dibiarkan dengan gaji rendah saat barang-barang melambung naik, saat biaya pendidikan terus melonjak (mahal ). Rakyat merasakan bahwa diri mereka diinggalkan para pemimpin mereka di saat nasionalisme didengung-dengungkan. Rakyat ibarat mendayung antara dua dataran: kebangsaan dan hidup yang berat.
Kalau diamati para pegawai negara, baik yang menjabat maupun yang rendahan, memang terlihat penipisan rasa tangggungjawab, di berabagi kantor terlihat banyak pegawai yang main-main dan tidak serius. Bekerja tampak sebagai sekedar syarat untuk mendapatkan gaji bulanan dan melalaikan urusan-urusan publik. Namun siapakah yang ditiru pegawai-pegawai itu kalau bukan generasi sebelum mereka?
Di bidang pendidikan, dalam kasus Ujian Akhir Nasional (UAN), kuat fenomena bahwa banyak pejabat negara di daerah menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan generasi bangsa. Itu terlihat dengan adanya kolusi untuk mengatrol nilai UAN dengan menginstruksikan murid-murid bekerja sama antara guru dan murid serta murid sesama murid. Apakah ini bahagian dari kuatnya nasionalisme elite bangsa?

Aktualisasi Kebangsaan
Aktualisasi kebangsaan setiap generasi berbeda, sesuai juga dengan dalil sejarah “setiap generasi akan menulis sejarah sesuai dengan pandangan mereka sendiri”. Aktualisasi kebangsaan generasi pergerakan sudah dituntaskan dengan berbagai pergerakan kebangsaan, baik ide maupun fisik. Usaha pergerakan itu dituntaskan oleh generasi revolusi dengan berperang dan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Gneerasi berikutnya berusaha mempertahankan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Setiap zaman tentu berhadapan dengan tantangan yang berbeda, yang berakibat berbedanya wujud aktualisasi diri mereka.
Saat ini dunia mengalami globalisasi dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi maupun transportasi. Pada bahagian lain terjadi perubahan ideologi politik, ekonomi dan budaya yang juga mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Karena itu tantangan generasi berikutnya jauh lebih berat dari generasi sebelumnya. Antar bangsa saling memberi pengaruh untuk menegakkan kedaulatan mereka. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan di tingkat negara dan individu karena meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terjadi komunikasi dan pertukaran antar budaya lewat berbagai media yang dihantarkan ke setiap rumah sampai ke pelosok-pelosok desa. Perubahan dan tantangan semua itu tidak cukup hanya dengan memperbanyak upacara nasional atau ritual-ritual kebangsaan. Sebab ketidaksiapan generasi berikutnya untuk menghadapi tantangan-tantangan itu jauh lebih berbahaya. Karena itu nasionalisme mesti dipupuk dengan keseriusan setiap elemen bangsa, terutama pengelola negara untuk menyiapkan generasi yang tahan akan goncangan global.
Generasi muda, yang kini dianggap para elite di bawah kurungan neoliberalisme, neokapitlaisme, neokoloniaisme, dan neokomunisme sesungguhnya tidak perlu dicemaskan. Realitasnya mereka jauh lebih maju dan lebih siap dari generasi sebelumnya. Lihatlah di berbagai bidang selalu ada pertukaran generasi dengan kebih baik dan maju, bahkan banyak di antara mereka yang go international. Demonstrasi jalanan, komentar-komentar di berbagai media, kelompok-kelompok ilmuwan muda, komunitas seniman muda dan lain sebagainya sebenarnya juga wujud kecintaan generasi muda terhadap bangsanya. Apakah yang “kita” ragukan, selain keseriusan “kita” untuk mengolah mereka?
***
Memang, rasa kebangsaan mesti selalu dipupuk, tetapi bukan hanya dengan ritual-ritual kebangsaan, melainkan juga dengan membangun eksistensi diri generasi dan nilai-nilai kebangsaan. Eksistensi diri generasi dibangun dengan mengutamakan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang sempurna, membuat sistem ketatanegeraan yang baik dan menguntungkan masyarakat serta membina budaya-budaya positif yang melekat di setiap etnis. Berbagai nilai itu sebenarnya melekat dalam berbagai budaya yang secara ideologis disimpulkan dalam Pancasila. Pancasila dalam pemahaman ini bukan sekedar hafalan dan ideologi ritual tetapi wujud nyata nilai-nilai budaya positif untuk kesejaheteraan bersama dari Sabang sampai Merauke.***