Wannofri Samry
KOTA TAMBANG I
1891, di bawah tangan van hooze, penambang nasib menaklukkan waktu
sepanjang sungai lunto, dalam bau jejak-jejak de greve si penakluk bara
buliran-buliran keringat pecah menelusup ke akar-akar ke perut-perut bukit
meraba tulang-tulang mati, taklukkan lobang demi lobang
dalam jarak yang panjang, pada nasib yang panjang,
dalam abad yang berat, sebuah kota lumpuh, kota rapuh
tertunduk di langkahmu di hadapanku
segumpalan saputan keringat orang-orang rantai, kuli-kuli kontrak
melayang ke hidungku, di mataku, di matamu mengalir darahnya ke taman-taman resah, di ruang-ruang kota tua
direntang siang direntang malam, kota tampak terbujur
bangkai-bangkai ombilin, besi-besi tua kesepian
dibiarkan menangis di rimba itu di aliran cemasmu
kotanya ijzerman, kotanya para tangkapan
dagingnya busuk di nederland dan batavia.
Sawahlunto, 5 April 2004
Wannofri Samry
KOTA TAMBANG II
udara mayat dan anyir darah dalam kota di bawah jejak-jejak rel kereta
tangis etnis berbagai rupa pada lubang-lubang tambang, di bekas kubur reruntuhan
menanti dirimu. kota pelan-pelan mersik dan kurus menanya namanya
menanya jalan dan rumah-rumah, menanya ayah dan bunda
kau sudah dapatkan saja kepedihan
aku sudah rasa kesedihan
kau jadi ragu
dulu ia lupa dan dungu akan tujuan,
saat menner belanda menggesekkan biola di gedung kota
gadis-gadis kota menari saat musik itu meliukkan pinggangya
Sawahlunto, April 2004
Wannofri Samry
NGILU RIWAYAT ITU
(KOTA TAMBANG III)
pada sebuah kota ngilunya masih terasa,
terbaca pada puing-puing berantak-bersilang
berjejer-jejer kata di mulut-mulut berbusa ,
namun riwayat kota gundah
siang tanpa percikan matahari malam tanpa bulan
bunga-bunga patah terpekur ke sebuah kali
seorang janda tua bertanya
kota, kenapa kau menangis?
+aku kenang masa mudaku sambil dengar orang menggesek biola
di atas nyawa melayang-layang pada lobang-lobang bara
waktu terus mereguk seamsal sembilu
setiap kutulis diriku penaku gemetar
---tak sanggup kubaca riwayat itu.
Sawhlunto-Padang, 2004
Wannofri Samry
SAJAK LUMPUH
aku zigot di rahim ibuku dengarkan ribuan teriakan
aku pandang jalan-jalan, duka memanjang
aku harus hadir padamu
trotoar sepanjang taman meratap sepanjang hujan
kau berlari kejar bunga-bunga itu
bawalah aku ke ujung-ujung hidupmu, kudengar suaramu
angin meringis gesek dinding gedung di sana seperti suara
anak-anak yang lama menangis
“kirimkan aku bunga saat hujan ini juga ke ujung hidupku”, tak henti-hentinya
anak-anak tak bisa berlari.
Padang, 2004.
Wannofri Samry
___ ...___
*kepada yang berjalan
bilang datang, biarlah! ia terus berjalan bagai air mengalir dari hulu
aku berakit sepanjang sungai itu.
Padang, 2004
Wannofri Samry
IMPIAN YANG MEMPORANDAKAN
hari ini
setelah masa dibuka rongganya, kau meronta ke ruang lain
ribuan mimpi datang bagai burung-burung gelisah, kepala-kepala diserbu
gelap-lelap membujur-memanjang
kau menangis---
aku menangis---
bila kau tertawa
aku tertawa liris
lalu, aku berayun, berayun-ayun pada waktu yang belum datang
pada seberkas bias cahaya di celah udara
rumah besar tua dimasuki
dirimu tidak ada, aku pun tidak ada
hanya bangkai-bangkai tua, makhluk-makhluk punah dan zigot-zigot purba
bingkai-bingkai masa lalu dibujurkan
tiang demi tiang dipatah, dibakar
apinya melalar bagai di hutan-hutan kering
di bawah reruntuhan yang terus berjatuhan
kau bertanya aku bertanya tentang masa lalu
tentang waktu: jam berapakah berangkat?
rumput-rumput liar, kecambah-kecambah sudah bertumbuhan
terasa waktu menyalip.
Padang, 2004
Sajak Wannofri Samry
TIGA GORESAN YANG HILANG
goresan pertama: bagi selasih
aku temukan namamu dalam debu lembaran di ruang lupa
terbayang jalan-jalan pergerakan di sana, aliran deras di kamar kertas berguguran,
di tinta-tinta meleleh, sebuah mata tajam menatap, sealiran gerak darah menegakkan raga masuk ke pembuluh pena, kata-kata berlahiran menyapa lewat ujung-ujung jarimu
“puluhan tahun begitu saja ia disembunyikan di bawah debu museum khatulistiwa“
tintamu deras, dadamu bebas
nyawamu ibu, bernyanyi di kamar kecilku
kau dada, darah sejarah yang hilang seperti jatuh ke pasir di waktu bergulir
goresan kedua: bagi sa’adah
kupandang singapura, malaka, saat batam menggigil
di sana hang tuah melempar jangkarnya sehabis berlayar keliling samudra
kulihat laut bagai perempuan setia memapah setiap nahkoda
kubalik sejarah kenapa lelaki semua
pada hal semua petualang dan pedagang dari seluruh benua
sudah melempar sauhnya di pinggir pulaumu.
nongsa, di sana bagai nama perempuan kubaca, apapun sejarahmu tak juga dirasa
karimun, tanjung pinang dan ribuan pulau kecil di dadamu,
berapakah perempuan tersembunyi di selatmu.
goresan ketiga: bagi yang dihukum mati
dinihari si bocah menangis, “mana ayah?”, jeritnya
seorang ibu meraung; “kasih punah di tanah, sebuah kereta telah mengangkut nayawanya entah kemana, ribuan fakta luka pembantaian bersamanya”.
sebarisan peluru juru tembak mengatasnama malaikat maut
memakasa nafasnya, atas nama cinta
di hadapan gelas minum pagi
perempuan berpikir tentang kehamilannya
tentang anak yang dibedung dimamah
ia bertanya: apakah tuhan tersenyum di tiang pancungan
di luar gugur darah balas gugur darah di ngiang gugur bunga
seekor burung putih pagi itu menghardik atas nama nyawa: hentikan!
Padang, 2006
Sajak Wannofri Samry
SEUNTAI CERITA
ujung 1960-an di musim mendaki, di tepi jalan kerusuhan
di pinggiran pasar kekalahan, seorang anak bersama ibunya menatap sebuah mainan
ia kulum senyuman; gerobak-gerobak tua
di matanya lapangan luas sabana, gerobak-gerobak desa meluncur di tangannya
di bawah hujan bagai burung-burung di musim semi berlompatan
gerobak-gerobak kecil bermain di matanya, di ruangan pondok papan menjerit
bagai rumput liar di tepi jalan
“ia masuk ke dalam dunia , berpeluk di pangkuan ibu”
waktu terus mendaki, ia telusuri sungai-sungai cadas ke hulu rimba
ia rekam bunyi-bunyi kebuasan, di jalan-jalan setapak di siang dan malam hari
ia susur petak-petak sawah di ruang-ruang derit suara petani
di pinggiran yang sunyi di tengah alam yang merdu
ia dengar nyanyi nun jauh saat-saat mengaji
ia susuri kampung di ujung sana, bayang-bayangan mencengangkan
di malam hari setiap saat tidur, begitu lama, ia tergoda, indahnya, di manakah ia?
waktu bayang-bayang menampak, di ruang raung suara di guyuran keringat ibu, aku
angan-angan yang jauh, melangkah
lalu ibu, terpana di sebuah toko. “langitmu jauh!”, desisnya
; “pacu kudamu, pacu di pasir kehausan itu!”
tahun-tahun bunga berat merekah dalam bayangan berjuta, di pematang sawah
di jalan-jalan sekolah, di kandang belakang rumah
bayangan itu sungguh celaka, seperti apakah jakarta, surabaya, bali, wah, washington, berlin, london, tokyo..? entah!
(di sekolah ia membaca gerak bibir guru, di luar hamparan daun yang berserakan)
masa yang terlupa, di antara kabut pagi, saat-saat sayur masih kedinginan
aku mesti makan ke sekolah dalam kabut memberat
ayah mesti mengajar demi bangsa, ibu mesti ...berjalan
aku kejar di bukit itu waktu-waktu lari
mengejar bayangan yang kupasang pada puluhan tahun lalu.
Padang, 2006
Sajak Wannofri Samry
KAU MELAYANG
di sini, zoon coen, major jantje dan michiels telah dikubur, slavenorkest tak tampil lagi
di koepel, stamboelan tak bersama landher, namun kursor microsoft yang membiuh.
“walaupun aku bisa melayang menyelinap ke ruang-ruangmu, tapi aku
bukanlah angin yang ringan, bebas-lepas mengendap-endap ke setiap pembusukan
minumku kehausanku bukan tetesan peluh pengelana, kata orang adalah advangarde yang terpana oleh kedap-kedip kursor di ruang maya”
larut malam ia masih berada dalam portal-portal maya, melayang di seluruh pelosok paling riuh, saru dan menakjubkan. dalam ribuan keajaiban ia berpelukan
sebelum matahari tersentak waktu ingin dipintas ke ujungnya
energi telah disedot bagai manusia melahap sebuah binatang ke tulang-tulangnya
bagai listrik menyerap semua tenaga
seluruh jalan di sebuah kota yang dikunjungi
sebuah daerah yang tak pernah ia mimpi
ia hafal seluruh nama dan bagiannya
namun di sebuah selokan di depan tamannya, ia lupa ke mana mengalir airnya
sebuah jerit di belakang gang ia rasakan sunyi
sebuah pohon yang tercerabut akarnya, terlupa!
pada setiap kerdip kursor dalam kedalaman makna cahaya
beribu mimpi ahira luar biasa dipompanya jantung-jantung anak terjajah
“larilah dengan luar biasa”, katanya. aku pun lari lompati tanah-tanah nusa dan benua
bersemedi di rongga-rongga para filsuf-filsuf, melayang ke aras mimpi.
Padang, 2006
Sunday, August 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment