Beberapa waktu lalu Presiden Megawati Soekarno Putri mengungkapkan bahwa Ia merasa malu dengan prestasi Indonesia di Sea Games, karena Indonesia hanya meraih juara tiga, kalah dari Vietnam dan Thailand. Walaupun begitu, sepanjang sejarah olah raga Indonesia, penghargaan dan bonus terhadap Olahragawan tetap berlimpah dibandingkan dengan penghargaan terhadap sastrawan. Olahragawan memang berbeda dengan sastrawan, Olahragawan berjuang saat latihan dan bertanding dengan tubuh tegap dan sehat. Sastrawan berjuang setiap hari dengan ‘pikiran’ dan badan rata-rata kering dan kurus. Kebudayaan dan kehidupan bangsa yang baik ke depan adalah impian setiap sastrawan, itulah yang menjadi beban pikiran mereka setiap hari. Tetapi kenapa pimpinan kita tidak pernah mengungkapkan rasa malunya terhadap kondisi sastrawan kita: tentang pikiran-pikiran mereka yang tidak mampu dibukukan dan tentang perhatian yang minim terhadap para sastrawan ?
Beberapa waktu yang lalu Ajip Rosidi seorang sastrawan Indonesia menulis keprihatinannya tentang nasib sastrawan dalam artikel “Hanya Dijadikan Objek’ (Kompas, Minggu 29 Juni 2003). Pada artikel itu Ajip menguraikan mengenai aktivitas dan prilaku “kurang proporsional” lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kebudayaan. Ajip mengemukakan kekecewaannya terhadap prilaku pekerja lembaga kebudayaan yang katanya ingin mengangkat citra kesusastraan namun “jatuh” pada “pelecehan” para sastrawan. Menurut Ajip: “ Sekarang banyak lembaga yang didirikan dengan alasan untuk mengentaskan kemiskinan atau berbagai usaha guna memperbaiki kehidupan dan memajukan rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga demikian mendapat bantuan dari luar negeri. Sementara rakyat yang konon ditolongnya tetap melarat, para pengurus lembaga-lembaga itu hidupnya jadi makmur.” Kenyataan itu seperti yang diuraikan Ajip telah menimpa dunia kesusastraan Indonesia, termasuk Ajip sendiri. Menurut saya pernyataan Ajip itu mesti diurai dan ditambah lagi. Pada kalimat itu Ajip hanya menuding lembaga non pemerintah, pada hal pelecehan dari pemerintah terhadap sastrawan dan karyanya juga terjadi. Pemerintah Indonesia kurang menghargai keberaadaan sastrawan, pada hal ia telah berjuang sepanjang hari, membongkar dan merumuskan kehidupan sosial budaya kita. Pernahkah pemerintah berpikir; tanpa sastrawan apakah bangsa Indonesia akan tetap hidup dan menemukan identitasnya?
Pemerintah kita sangat menghargai jasa para politisi, tentara dan birokrat. Kita lihat mereka rata-rata sangat makmur karena digaji dengan berlimpah dan fasilitas mewah. Sementara kaum sastrawan, dan juga banyak kaum intelektual lain, banyak yang hidup sekedarnya. Sering kaum intelektual , “mengemis pada birokrat” untuk menerbitkan karya dan buah pikirnya demi masa depan bangsa. Sementara kaum intelektual yang tidak tahan dengan hidup sederhana terapaksa menjualbelikan buah pikir (untuk mengatakan tidak menggadaikan) pada politisi maupun birokrat ataupun pada orang-orang kaya. Sebahagian lagi terpaksa menyeberang ke dunia politik meninggalkan area kultural mereka. Apakah pemerintah tidak malu dan risau terhadap realitas seperti itu?
***
Bagi sejarawan dan peneliti kesusatraan Indonesia, jasa sastrawan dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Para sastrawan telah memberikan dasar arah kebudayaan Indonesia; identitas Indonesia mengental dan terumuskan dari pikiran-pikiran para sastrawan yang tersebar dari berbagai media yang ada di Nusantara. Puisi, cerpen, novel dan esei yang ditulis oleh sastrawan telah memberikan pandangan-pandangan baru terhadap masyarakat Nusantara sejak lama. Karya-karya itu membongkar dan mebentuk pikiran masyarakat untuk menentukan Indonesia pada masa depan. Pertama, mendorong rasa etnisistas menjadi nasionalisme Indonesia . Pada tataran ini para pengarang sudah membuka aura kebersamaan dengan mengemukakan berbagai dilema di bawah pemerintahan kolonial. Kita bisa lihat banyak cerita dan puisi Indonesia yang terbit sebelum Sumpah Pemuda 1928. Bahkan pada tahun 1920 seorang Penyair Indonesia, M. Yamin menggagas mengenai “Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia di Masa Depan”.
Pada tahun 1930-an sekelompok pengarang yang terhimpun dalam Pujangga Baru mendiskusikan mengenai arah dan identitas masa depan Indonesia. Pada tahun itu muncul pemikiran-pemikiran tajam dari pengaranag muda, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana dan Armeijn Pane. Takdir dan Armeijn beserta pengarang lainnya yang menulis puluhan tulisan dalam Panji Pustaka, kemudian dalam majalah Poejangga Baroe, berpikir keras bagaimana membentuk “masyarakat Indoensia baru” dengan medium “Menuju Kesusatraan Baru”. Dalam konteks itu para pengarang pada masa peregerakan tersebut menguras pemikiran mereka untuk menciptakan suatu kondisi kebudayaan Indonesia yang dinamis. Karena dengan begitulah bangsa Indonesia akan maju dan lepas dari penjajahan.
Kedua, para pengarang sudah memberikan komunikasi kebangsaan secara luas. Para pengarang yang berasal dari berbagai suku menulis berbagai latar belakang kebudayaan dalam berbagai karya mereka. Karang-karangan itu dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia dan memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk memahami diri mereka dan diri masyarakat lain. Artinya para pengarang sejak awal sudah mendorong pluralisme sekaligus kesatuan sebelum Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara. Pemahaman itu tidak mungkin tuimbul dalam diri para politikus maupun negarawan begitu saja, karena politikus dan negarwan sering berpikir dari sisi praksis sementara para pengarang berpikir dalam tataran kemanusiaan yang paling dalam.
Ketiga, pengarang juga membentuk iklim demokratis tanpa kekerasan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan. Sumbangan ini sangat penting bagi pertumbuhan Indonesia. Senjata para pengarang adalah pena dan pikiran; apa pun masalah, bagi pengarang cara penyelesaiannya adalah dengan pikiran dan pena ; mereka menuliskan gagasan mereka. Gagasan itu akan menjadi bahan dasar bagi paraktisi untuk bertindak. Sebutlah contoh mengenai gagasan pengembangan pendidikan, teknologi dan kebudayaan , ide-ide itu secara tajam bisa kita baca pada polemik Pujangga Baru tahun 1930-an. Gagasan-gagasan itu terus bergulir dan ditindaki sampai saat ini.
Pada berbagai kesempatan sastrawan Indonesia juga mengoreksi pemerintahan yang korup dan menindas. Karangan masa pergerakan menampar hati dan membuka hati banyak orang bahwa mereka berada dalam kondisi yang sangat riskan: penindasan di bawah kolonialisme. Karena itu masyarakat disadarkan oleh pengarang bahwa mereka harus membentuk sejarah baru, identitas baru yang merdeka. Kemudian sajak-sajak masa revolusi, sudah tidak asing lagi, memberikan roh akan perlawanan keras terhadap kolonial. Fakta kultural yang jelas dapat dibaca antara lain dalam puisi-puisi Chairil Anwar, yang telah menjadi simbol revolusi dalam kesusastraan Indonesia.
Secara resmi para sastrawan Indonesia juga pernah memainkan politik kultural sebagai perjuangan demokrasi. Ada beberapa pernyataan resmi yang dikenal secara nasional, seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Pernyataan ini digagas oleh mereka yang aktif berkumpul dalam “Gelangang” (1946), suatu perkumpulan diskusi yang dibentuk secara tidak resmi oleh Chairil Anwar dan pengarang-pengarang yang ingin menyumbangkan pemikiran terhadap perkembangan revolusi kemerdekaan. Setelah masa revolusi tahun 1950-an tampaknya keprihatinan akan perjalanan bangsa yang lamban mengental. Saat itu mereka ingin mengingatkan akan perkembangan kebudayaan Indonesia, bahwa mereka adalah “ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia” dan tidak akan melap-lap kebudayaan lama”. Kontek waktu dari pernyataan itu membangkitkan semangat dan kesadaran identitas bahwa “Indonesia sama dengan bangsa lain” dan kebudayaan Indonesia harus digali agar lebih dinamis.
Pernyataan lain adalah Manifes Kebudayaan (1963) yang dimotori oleh H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito. Manifes itu sebagai tanda perlawanan terhadap pemrintahan Orde Lama yang otoriter dan sentralistik. Gagasan Manifes Kebudayaan adalah melepaskan diri kebudayaan dari tekanan politik dan menjadikan kebebasan berpikir dan berkereasi sebagai elan vital kebangsaan Indonesia. Pernyataan ini sebenarnya suatu fakta dari akibat pertarungan politik yang “tidak fair” di tingkat kebudayaan, namun diolah secara produktif oleh pengarang.
Pada masa orde baru banyak gagasan pembaruan yang muncul dari para sastrawan lewat sajak, cerpen, novel dan esei yang diterbitkan di media massa dan buku. Hampir setiap media massa sebelum kejatuhan Soeharto memuat karangan-karangan yang mengingatkan pentingnya suatu pembaharuan di Indonesia, dan beberapa diantara sastrawan seperti WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohammad Emha Ainun Najib dan Wiji Tukul (sekedar menyebut beberapa nama) membacakan karangan-karangan mereka secara lantang, sehingga kadang membuat mereka berurusan dengan pihak berwajib. Namun semua itu adalah dalam tataran membentuk sebuah bangsa yang dinamis dan baru.
***
Tingginya sumbangan sastrawan terhadap perubahan kebangsaan Indonesia tidak sejajar dengan perhatian pemerintah, masyarakatt dan perubahan tingkat kelayakan hidup para sastrawan. Sastrawan makin terpinggirkan dalam berbagai proses kebijakan sosial, politik dan ekonomi. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap sastra tidak kian maju. Para sastrawan makin baik secara kuantitatif dan kwalitatif namun tetap tidak bergerak secara sosial dan ekonomi. Penghargaaan pemerintah dan masyarakat terhadap sastrawan jauh di bawah penghargaan terhadap dunia olah raga dan penyanyi dangdut. Dunia olah raga misalnya, bisa mendapatkan dana milyaran dan jaminan hidup dari negara. Penyanyi dangdut bisa dihargai masyarakat dengan tayangan khusus di televisi dengan bayaran puluhan juta sekali panggung. Sastrawan menerbitkan karyanya sendiri dan mendanai kegiatannya dengan jerih payah keringatnya. Mereka hidup secara swasembada, tetapi dipandang dengan “sudut mata kiri”.
Sejarah memang menunjukkan, menjadi sastrawan memang penuh dengan idealisme; hidup adalah berjuang dalam kesepian. Sementara, pada sisi lain, kapitalisme, akibat perkembangan pengetahuan dan tekonologi, makin maju. Dunia ini memang mengutamakan pasar ekonomi yang praktis: semua berujung pada uang dan materi. Produk sastra kadangkala dianggap sebagai barang tidak laku, walaupun ia telah membuktikan mampu mengubah dinamika dunia. Kapitalisme dan materialisme mencakar ke mana-mana sampai ke pojok kampung. Tawaran-tawaran kesenangan setiap hari bermunculan dan berdatangan di depan kehidupan manusia, termasuk pada sastrawan. Para sastrawan tidak bedanya dengan manusia lain, mereka membutuhkan kebutuhan pokok, biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan lainnya. Sementara kebutuhan tertier sudah begitu meruyaknya (umum) sedangkan kebutuhan pokok saja susah dipenuhi oleh sastrawan. Ini membuat mereka memang berjuang dengan sekuatnya: apakah mereka mengarang sekedar menghasilkan karya, kebenaran tanpa memperhatikan kehidupan keluarga ataukah untuk segalanya. Tampaknya rayuan materialisme sungguh tidak mungkin dielakkan.
Sekarang sastra (wan) dalam lingkaran kapitalisme dan materialisme pada satu sisi tersisihkan namun pada sisi lain telah diolah oleh pelaku kapitalis sebagai komoditi. Sebahagian lagi sastrawan sudah masuk pula dalam kegiatan “gerakan kebudayaan” yang bergantung pada dunia kapitalis. Sastra(wan) sudah menjadi komoditi yang bisa didagangkan dan ditawar. Dalam tataran ini terjadi juga persaingan antara sastrawan untuk memasuki pasar, karena dalam dunia kapitalisme yang kuat dan cepat akan menjadi subjek, maka yang lain akan menjadi objek. Kadangkala objek dimainkan dengan begitu “murahnya”,. Sehingga “gerakan kebudayaan” jatuh pada kegiatan tidak manusiawi: menjual sastra (wan). Dalam tataran ini hanya sastrawan yang mau mengikuti pasar dan dekat dengan pusat kekuasaan politik dan ekonomi yang akan muncul kepermukaan, sementara yang jauh dari orbit itu akan ketinggalan dan tidak diketahui. Di sini terlihat sastra Indonesia tidak muncul ke permukaan dengan fair dari segala potensi dan pelosok, bahkan sebahagian sastrawan dikorbankan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
***
Pada bahagian akhir ini saya hanya ingin menegaskan dan ikut bersambung pikiran dan perasan akan keprihatinan Ajip Rosidi, “ Indonesia merdeka sastrawan terlupa”. Karena itu saya ingin menanyakan perlukah satu gerakan sastrawan yang terpadu, menyeluruh dan simpati untuk membangkitkan perhatian pemerintah dan masyarakat? Dalam pikiran saya, sudah saatnya masyarakat sastrawan dan pecinta sastra Indonesia berjalan bersama, memberi pencerdasan pada pemerintah dan masyarakat demi majunya sastra dan sastrawan Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus digerakkan hatinya agar menyediakan perhatian kongkrit terhadap perkembangan sastra di masa depan.***
*Wannofri Samry, Penyair dan Peneliti pada Lembaga Kajian Starategi Budaya (Lekas Budaya), penulis pada berbagai media massa lokal dan nasional.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment